Mohon tunggu...
Isnani Qistiyah
Isnani Qistiyah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

mimpi jadi scriptwriter :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perasaan-perasaan Ganjil

21 Desember 2022   18:48 Diperbarui: 21 Desember 2022   19:05 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya, kabar baiknya semua itu hanya kekhawatiranku saja. Dari Aqila, aku mulai memberanikan diri untuk keluar dari zona aman. Aqila cukup memberikan pengaruh di kehidupanku. Di luar tugasnya sebagai tim katering ibu, dia telah banyak menolongku. Aku seperti menjadi manusia baru, meskipun masih sering terkepung perasaan kosong di waktu-waktu tertentu.

***

Gerimis meraba jalanan yang macet. Lima belas menit lagi pesanan katering harus sudah sampai di tangan pelanggan. Sedangkan kalau dilihat dari maps, jarak ke lokasi pelanggan masih lumayan jauh. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak tegang. Tenang seperti Aqila yang duduk di kursi kemudi. Bahkan ketika pelanggan sudah beberapa kali menelpon, Aqila masih bisa menguasai dirinya untuk tidak panik. Aku mulai merasa keringatku bercucuran, meskipun pendingin di mobil dihidupkan.

"Ambil napas panjang dulu, Mas Arga. Tahan bentar, lepasin...." Aqila membaca gelagat keteganganku. Spontan saja aku langsung mengikuti apa yang Aqila katakan.

"Itu nggak apa-apa?" Aku memastikan kalau pelanggan katering kami bisa memaklumi. Aqila mengangguk dengan senyum melekat di wajahnya. Anggukan Aqila tidak berhasil membuat perasaanku lega, tetap saja ada rasa deg-degan di dada.

Benar saja, ketika sampai di lokasi dengan waktu karet lebih sebelas menitan, pelanggan katering masih bisa menjamu kami dengan begitu ramahnya. Malah kami sempat ditawari untuk mampir beristirahat. Tapi kami menolak, tidak enak kalau mengganggu proses persiapan acaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, Aqila memberiku banyak masukan. Rasanya lega sekali bisa bercerita banyak dengannya. Seorang pria sepertiku, apalagi mendekati usia kepala empat, memang semestinya bisa mengenali pemicu kecemasan itu sendiri. Selama ini aku memang belajar meminimalisir rasa cemasku. Tapi ternyata masih ada yang luput dari perhatianku. Aku semestinya mempelajari situasi yang bisa memancing kecemasanku.

Adanya Aqila membawa angin segar tersendiri untukku. Dia perempuan menyenangkan dan mempunyai wawasan yang luas. Cara bicaranya tidak menggurui meskipun dia tahu tentang banyak hal. Hari-hariku berwarna. Dalam benakku ada niatan mengenalnya lebih dari partner bisnis. Aku kira ibu sengaja menghadirkan Aqila memang untuk dikenalkan kepadaku. Alih-alih mencari partner bisnis, mungkin diam-diam ibu sekaligus mencarikan calon istri untukku.

Aku jadi suka menantikan saat-saat ayam berkokok. Menantikan pagi dimana Aqila datang dengan aura positif terpancar dari wajahnya. Berbasa-basi. Menjawab pertanyaan-pertanyaannya, ada menu apa dan kemana katering akan diantar hari ini, dan lain-lainnya. Tidak lagi aku mengenal apa itu suwung. Tapi, ya, agaknya manusia tidak boleh berlebihan dalam menanggapi suatu apa pun. Apalagi perihal perasaan terhadap seseorang. Sebab jika melesat dari harapan, kecewanya susah ditolong. Aqila tidak ada di dapur pagi ini. Kata ibu, Aqila sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.

"Maksud Ibu, gimana?" Aku mencoba menguasai diri. Duduk, menyenderkan tongkat keseimbanganku, dan menyeruput secangkir kopi. Menunggu penjelasan ibu. Ibu tak kunjung menjawab, asyik dengan kegiatannya memasak.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun