Mohon tunggu...
Isnani Qistiyah
Isnani Qistiyah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

mimpi jadi scriptwriter :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perasaan-perasaan Ganjil

21 Desember 2022   18:48 Diperbarui: 21 Desember 2022   19:05 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari adalah perjuanganku menaklukkan rasa cemas. Aku tahu persis awal mula gangguan kecemasan ini mulai mengakrabiku. Di suatu waktu, ketidakberuntungan menghampiriku dalam bentuk kecelakaan lalu lintas. Aku, entah bagaimana ceritanya bangun dengan keadaan sebelah kaki sudah diamputasi. Ketika membuka mata, yang pertama kali kutangkap adalah senyuman ibu. Meski begitu, mata ibu tidak bisa berbohong. Ada luka turut bersarang di tatapannya yang sayu.

"Tidak apa-apa, ya, Mas?" Suara parau ibu masih bisa kudengar meskipun samar-samar.

Aku hanya mengangguk. Perasaanku saja yang tidak bisa terjelaskan. Tapi, melihat ibu begitu tenang, aku percaya semua akan baik-baik saja. Meskipun akhirnya, aku menyadari telah kehilangan banyak hal setelah kejadian ini. Pekerjaan, teman-teman, bahkan tunangan yang sebentar lagi aku nikahi. Hanya ibu satu-satunya penguatku.

Hari-hari berat telah terlewat. Kini aku bisa kembali beraktivitas meski dengan keterbatasan fisik. Pekerjaan impian yang sempat kujalani sudah kurelakan lenyap. Sekarang aku hanyalah pria yang menyibukkan diri di dapur. Membuka usaha katering bersama ibu. Tidak masalah bagiku. Yang jadi masalah adalah aku hampir tidak pernah bersentuhan dengan dunia luar. Aku hanya di rumah, memasak dan membantu ibu mengemasi pesanan pelanggan. Selebihnya, ibu yang mengurus semuanya. Aku mulai disergap rasa hampa. Perasaan itu sepertinya sampai juga kepada ibu. Ibu paham akan situasi yang kuhadapi saat ini.

Aku ingin sekali menghirup udara di luaran sana. Bertemu dengan orang-orang dan bertukar cerita. Apalah daya, rasa khawatir akan penolakan atas kehadiranku lebih besar dari apa pun. Aku sadar telah membatasi duniaku sendiri. Konsekuensi dari itu semua adalah suwung yang berkepanjangan.

Pernah suatu kali aku sudah ada niatan untuk keluar rumah. Sekadar pergi ke toko buku. Sudah siap, tinggal pesan ojek online, berangkat. Tapi akhirnya kuurungkan. Mendadak dadaku berdebar tidak karuan. Cemas tanpa alasan yang jelas. Kemudian, aku berganti pakaian lagi, memilih mendengarkan musik sebagai penetralisir perasaanku.

***

Seorang perempuan muda datang ke rumah mengambil pesanan katering. Saat itu ibu sudah tidak ada di rumah. Ibu pergi mengaji bersama rombongan pengajiannya pagi-pagi tadi. Aku gugup menghadapi situasi ini. Padahal sebatas interaksi antara penjual dan pembeli. Namun bagiku, hal demikian membuatku ketakutan. Untuk membukakan pintu saja, aku butuh mengumpulkan keberanian. Tadinya mau pura-pura tidak dengar saja, supaya perempuan muda itu mengira rumahku kosong. Tapi tidak mungkin, kan? Akan dibilang apa katering ibuku nanti? Akhirnya aku menemui perempuan muda itu. Berharap ia tidak melihat bulir keringat yang merintik di dahiku karena gugup.

Aku mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti terjadi. Sepanjang hari setelah menyerahkan pesanan kepada perempuan muda tadi, aku didera rasa takut. Takut kalau kemudian ibu kehilangan pelanggan lantaran mengetahui bahwa 'pegawainya' ternyata cacat. Aku tahu mungkin ini tidak ada relasinya dan tidak masuk di akal. Namun, pikiran-pikiran demikian terus mengikutiku dan membuatku merasa bersalah. Selanjutnya aku memilih mengurung diri saja di kamar. Dan perlahan kehampaan kian mengerubung perasaanku.

Tidak ada yang bisa kulakukan. Niatan untuk tidur pun hanya sebatas ingin. Mata susah terpejam. Aku membuka laptop, mencari inspirasi desain untuk mengalihkan debar di dadaku. Tidak berhasil. Pikiranku masih berkeliaran tidak fokus. Aku mencoba menulis saja. Tetapi tulisanku ini tidak ada isi. Aku bingung mau melakukan apa lagi. Tidak ada gairah apalagi ambisi. Rasanya kosong sekali. Sampai akhirnya aku tertidur dengan sendirinya.

Beberapa hari setelahnya aku menemukan sebuah kebenaran. Ibu memang sengaja keluar rumah sebelum perempuan muda itu datang. Ibu secara tidak langsung memberi penawaran kepadaku supaya aku mau kembali berinteraksi dengan dunia luar. Ibu juga ingin aku bisa menemukan cara tersendiri untuk mengatasi kecemasanku sewaktu-waktu. 

Aku tahu ibu punya maksud baik, tapi entah mengapa pikiranku yang lain mengatakan kalau ibu sedang menunjukkan rasa malunya karena memiliki anak yang 'berbeda' sepertiku. Benar-benar tidak masuk akal, memang. Tidak mungkin, kan, ibuku sendiri seperti itu? Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk memastikan langsung bahwa anggapanku tentang ibu salah besar. Meskipun sempat maju-mundur, tapi akhirnya tersampaikan juga satu hal yang menggangguku itu.

Ibu terkejut, "Sama sekali Ibu tidak malu. Ibu justru bangga sama kamu, Mas. Kamu tidak menyerah. Selalu berusaha mencari cara untuk meminimalisir rasa cemasmu sendiri. Memang ada untungnya kalau Ibu malu? Apalagi malu karena kakimu itu." Ibu menggeleng pelan.

Aku tidak menjawab pertanyaan ibu. Seharusnya aku tidak sampai pada pikiran seperti itu. Apalagi sampai mengatakannya di depan ibu. Sekarang, aku yang justru sedang mempermalukan diri sendiri. Untung saja perasaan itu lekas pudar. Ibu merentangkan kedua tangannya dan memberiku pelukan hangat.

***

Demi mengusir rasa hampaku, iseng kurambah media sosial untuk mempromosikan katering ibu. Aku sendiri yang memfoto produk-produk katering ibu dan mempostingnya. Dari keisengan tersebut, pesanan katering ibu semakin hari semakin membludak. Kadang kami mengambil jeda beberapa hari untuk sekadar meregangkan otot-otot.

Pernah, sekali waktu di sela jeda itu, ibu menyampaikan satu keinginannya kepadaku. Ibu ingin melihatku segera menikah. Aku tertegun sesaat. Sebelumnya, ibu tidak pernah lagi membahas perihal tersebut setelah kegagalan pertunanganku dulu. Tiba-tiba aku merasa terdesak. Perihal pernikahan itu kemudian melekat di pikiranku begitu saja.

Ibu memutuskan untuk merekrut satu karyawan. Ibu merasa kalau dua tenaga saja tidak lagi mampu menopang banyaknya pesanan katering setiap hari. Awalnya aku tidak setuju dengan ide ibu menambah orang baru. Membayangkan ada orang asing masuk di tengah-tengah bisnis keluarga membuatku takut. 

Rasanya campur aduk. Cemas, khawatir, juga tegang. Aku tahu aku tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi esok. Entah akan untung atau justru buntung dibuatnya. Tapi bayanganku jika orang lain bergabung di katering ibu, rasanya, kecemasanku bisa semakin kronis. Aku sudah terlihat gugup dalam bayanganku sendiri. Tidak tahu apa yang membuatku demikian, rasanya takut sekali bertemu dengan orang baru itu.

Namanya Aqila, perempuan dengan lesung di pipi kanannya. Saat ini tervalidasi menjadi bagian dari bisnis katering ibu. Untuk pertama kalinya dalam jangka waktu yang lama, aku berinteraksi dengan orang lain selain ibu. Tidak mudah bagiku untuk bekerjasama dengan Aqila yang cekatan.

Perasaanku tegang, aku kaku dan semua yang kukerjakan menjadi berantakan. Akhirnya aku menarik diri dari dapur. Aku merasa bodoh. Aku jadi khawatir karena tingkah konyolku, Aqila berniat mengundurkan diri di hari pertamanya bergabung. Padahal susah payah ibu mencari orang terpercaya untuk membantu katering ini. Huh! 

Ya, kabar baiknya semua itu hanya kekhawatiranku saja. Dari Aqila, aku mulai memberanikan diri untuk keluar dari zona aman. Aqila cukup memberikan pengaruh di kehidupanku. Di luar tugasnya sebagai tim katering ibu, dia telah banyak menolongku. Aku seperti menjadi manusia baru, meskipun masih sering terkepung perasaan kosong di waktu-waktu tertentu.

***

Gerimis meraba jalanan yang macet. Lima belas menit lagi pesanan katering harus sudah sampai di tangan pelanggan. Sedangkan kalau dilihat dari maps, jarak ke lokasi pelanggan masih lumayan jauh. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak tegang. Tenang seperti Aqila yang duduk di kursi kemudi. Bahkan ketika pelanggan sudah beberapa kali menelpon, Aqila masih bisa menguasai dirinya untuk tidak panik. Aku mulai merasa keringatku bercucuran, meskipun pendingin di mobil dihidupkan.

"Ambil napas panjang dulu, Mas Arga. Tahan bentar, lepasin...." Aqila membaca gelagat keteganganku. Spontan saja aku langsung mengikuti apa yang Aqila katakan.

"Itu nggak apa-apa?" Aku memastikan kalau pelanggan katering kami bisa memaklumi. Aqila mengangguk dengan senyum melekat di wajahnya. Anggukan Aqila tidak berhasil membuat perasaanku lega, tetap saja ada rasa deg-degan di dada.

Benar saja, ketika sampai di lokasi dengan waktu karet lebih sebelas menitan, pelanggan katering masih bisa menjamu kami dengan begitu ramahnya. Malah kami sempat ditawari untuk mampir beristirahat. Tapi kami menolak, tidak enak kalau mengganggu proses persiapan acaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, Aqila memberiku banyak masukan. Rasanya lega sekali bisa bercerita banyak dengannya. Seorang pria sepertiku, apalagi mendekati usia kepala empat, memang semestinya bisa mengenali pemicu kecemasan itu sendiri. Selama ini aku memang belajar meminimalisir rasa cemasku. Tapi ternyata masih ada yang luput dari perhatianku. Aku semestinya mempelajari situasi yang bisa memancing kecemasanku.

Adanya Aqila membawa angin segar tersendiri untukku. Dia perempuan menyenangkan dan mempunyai wawasan yang luas. Cara bicaranya tidak menggurui meskipun dia tahu tentang banyak hal. Hari-hariku berwarna. Dalam benakku ada niatan mengenalnya lebih dari partner bisnis. Aku kira ibu sengaja menghadirkan Aqila memang untuk dikenalkan kepadaku. Alih-alih mencari partner bisnis, mungkin diam-diam ibu sekaligus mencarikan calon istri untukku.

Aku jadi suka menantikan saat-saat ayam berkokok. Menantikan pagi dimana Aqila datang dengan aura positif terpancar dari wajahnya. Berbasa-basi. Menjawab pertanyaan-pertanyaannya, ada menu apa dan kemana katering akan diantar hari ini, dan lain-lainnya. Tidak lagi aku mengenal apa itu suwung. Tapi, ya, agaknya manusia tidak boleh berlebihan dalam menanggapi suatu apa pun. Apalagi perihal perasaan terhadap seseorang. Sebab jika melesat dari harapan, kecewanya susah ditolong. Aqila tidak ada di dapur pagi ini. Kata ibu, Aqila sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.

"Maksud Ibu, gimana?" Aku mencoba menguasai diri. Duduk, menyenderkan tongkat keseimbanganku, dan menyeruput secangkir kopi. Menunggu penjelasan ibu. Ibu tak kunjung menjawab, asyik dengan kegiatannya memasak.

***

Suara azan subuh. Suara tadarus ibu. Suara kokok ayam. Udara menyentuh pagi. Perasaan-perasaan ganjil sempurna menyambut hari baru. Aku membuka gorden jendela kamar. Ibu menyirami tanaman-tanaman kesayangannya. Seorang anak kecil diantar sekolah oleh bapaknya. Tukang sayur siap dikerumuni ibu-ibu muda. Para pegawai kantoran sibuk menenteng tas kerja. Ibu masuk ke dalam rumah. Aku sudah menyeruput kopi di meja makan.

 "Ada pesanan katering masuk, Bu?"

Ibu menggeleng. Melanjutkan kebiasaannya mencuci potongan-potongan kain untuk mengelap kotoran yang menempel di meja atau di lantai. Aku kembali masuk ke kamar membawa secangkir kopi yang tidak utuh. Merebahkan tubuh. Menyusuri dinding-dinding kamar. Cecak-cecak sedang kawin. Nyamuk terbang kesiangan. Aku membuka laptop dan membiarkannya hidup begitu saja. Aku tertidur sampai pukul satu siang.

Aku terbangun. Tubuhku terasa lesu. Aku mencari ibu. Ibu di kamarnya, tertidur mengenakan mukena. Di meja makan sudah tersedia sayuran dan lauk pauk lainnya. Aku menyantap dengan perasaan ganjil. Pikiranku tidak menentu arahnya kemana dan kepada siapa. Tetapi, terkadang aku masih suka kepikiran Aqila. Andai ada satu hari lagi untuk dia bertugas di katering ibu, mungkin tidak muncul perasaan kosong seperti ini. Sebelumnya, aku telah belajar menyampaikan maksudku untuk melamarnya di depan ibu. 

Semua kuputuskan untuk terlambat saja sampai detik ini. Bisa saja aku menghubungi ponselnya. Sudah berkali-kali aku mencoba mengontaknya. Gemetar tanganku mengetik kalimat-kalimat yang berisi perasaanku. Akhirnya, kalimat-kalimat itu hanya tersimpan di draf saja. Aku ingin sekali bercerita kepada ibu. Ibu sepertinya sedang tidak berminat denganku, dengan masa depanku juga, mungkin.

Aku mengambil buku catatan. Menuliskan perasaan-perasaan ganjil. Di laptop mengalun lagu-lagu sendu. Seluruh kekuatanku hilang. Aku kembali ke semula. Menjadi pria kesepian, mengais sisa-sisa harapan yang masih bisa diselamatkan. Suatu ketika, aku akan memiliki kebiasaan baru. Relaksasi dan bersosialisasi.

            Catatan kuakhiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun