Mohon tunggu...
Hobby

Resensi Buku "Gelap-Terang Hidup Kartini" (2013)

6 Januari 2019   16:02 Diperbarui: 23 April 2021   17:37 6619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.tokopedia.com/

Lalu ada lagi yaitu Estelle Zeehandelaar, seorang aktivis feminis pembela hak-hak perempuan, anak-anak, kaum miskin, binatang, dan rakyat jajahan. Stella, demikian Kartini memanggilnya berusia lima tahun lebih tua daripada Kartini. 

Lewat perkenalan Kartini dengan Marie Ovink dan Stella membuka jalur perkenalannya dengan tokoh feminis dan pendukung Politik Etis lain, seperti Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Abendanon-Mandri serta anak mereka, E. C. Abendanon. 

Dalam suratnya, Kartini membahas berbagai topik, di antaranya yaitu tentang tradisi perjodohan, poligami, opium, agama, bahasa Belanda sebagai pembuka pintu pengetahuan, nasib perempuan Jawa yang tertindas, kebijakan politik kolonial yang merugikan pribumi, keinginannya membangun sekolah, dan rencananya yang ingin bersekolah di Belanda.

Buku ini juga menceritakan tentang masa kecil Kartini. Sejak kecil, Kartini tak bisa diam. Ia lincah, usil terhadap guru-gurunya, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena sikapnya yang lincah, gesit, pandai, dan mudah bergaul membuat Kartini sangat menonjol di sekolahnya di Europeesche Lagere School. 

Selain mendapat pendidikan formal dan pendidikan bahasa Jawa, Kartini kecil memperoleh pendidikan membaca Al-Quran. Pada 1892, saat usia Kartini memasuki umur 12 tahun 6 bulan, Kartini sudah tidak boleh lagi melanjutkan pelajarannya. Ia sudah dianggap cukup besar untuk dipingit, dikurung di dalam rumah tanpa hubungan dengan dunia luar sampai ada seorang pria yang melamarnya. 

Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartini menceritakan kesedihannya. Betapa Ia memohon sambil menangis dan bersujud kepada ayahnya agar diperbolehkan melanjutkan sekolah ke Hogere Burger School atau Sekolah Menengah Umum di Semarang.    

Pada 1903, Kartini berhasil untuk mendirikan sekolah untuk gadis Jawa pertama di Hindia Belanda. Kartini menyulap beranda rumahnya menjadi sekolah bagi gadis pribumi. Awalnya, sekolah tersebut hanya diikuti oleh satu orang saat dibuka pertama kali. Akan tetapi, karena kegigihannya, hari demi hari jumlah murid di sekolahnya semakin bertambah. 

Kartini selalu menghubungi para orang tua yang mempunyai putri untuk dididik di sekolah yang Ia dirikan bersama adik-adiknya itu. Selain belajar baca-tulis, murid-muridnya diajari budi pekerti, kerajinan tangan, dan memasak. Sekolah rintisan itu dibuka empat hari dalam seminggu, dari pukul 08.00 hingga 12.30. 

Kartini juga membantu para pengukir Jepara dengan menciptakan motif macan kurung, motif pahatan kayu yang masih bertahan hingga kini. Ia menghubungi perkumpulan Oost en West untuk menghidupkan kerajinan tangan Hindia Belanda. Perkumpulan itu beberapa kali menggelar pameran kerajinan dan menarik perhatian publik di Nederland.

Walaupun Kartini sangat membenci dan menolak poligami. Pada akhirnya Ia menjadi korban dari tradisi tersebut. Ketika harus memilih apakah berkukuh pada pendiriannya atau menunjukkan rasa sayang kepada ayahnya, Kartini menyerah. 

Ia setuju untuk menjalani poligami dengan menerima pinangan Bupati Rembang semata demi memulihkan martabat ayahnya. Bupati Rembang, Adipati Djojoadiningrat sendiri adalah lelaki dengan tiga selir dan tujuh anak. Lamaran kepada Kartini diajukan setelah istri utama sang Bupati meninggal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun