Siang yang malang.
Paras Fatima tampak gamang.
Berdiri tergopoh menengadah ke langit kelam.
Cahayanya redup tak lagi pernah terang benderang.
Berkilau pun ia enggan.
Lingkungan kini tak lagi ramah semenjak kecamuk perang.[1]Â
Menebarkan aroma bangkai dan serpihan selongsong misil kematian.
Hati kecilnya pun remuk redam diterjang badai perang.
Bak padang tandus nan gersang.
Â
Tak ada air bersih untuk sekadar mengusir dahaga.
Tak ada makanan meski sepotong roti
Sekadar mengganjal rasa lapar yang menikam.
Tak ada pakaian.
Obat-obatan, apalagi.
Mencarinya bagaikan jarum hilang di dasar samudera.
Hidup nestapa tak berkesudahan.
Â
Di balik tenda pengungsian.
Fatima memandang sekeliling dengan tatapan hampa.
Dihiasi reruntuhan bangunan yang porak-poranda.
Â
Meski sekadar puing-puing tak tersisa.[2]
Perempuan Gaza itu tertunduk lesuh.
Mengenang raut wajah buah hatinya, Aisyah.
Anak yang dilahirkan dari rahimnya setahun lalu.
Tak lagi bisa ia mendekapnya, meski hanya dalam mimpi.
Menyusul ayahnya yang terlebih dulu pergi.
Mendekam di balik jeruji besi Israel.
Â
Nasibnya pun tak jelas.
Entah ia masih hidup atau telah meregang nyawa.
Menjadi syahid, membela bangsa Palestina.
Netranya sembab.
Tak ada lagi linangan air mata yang bercucuran deras.
Pikirannya liar kacau tak karuan.
Kenangan bersama buah hatinya begitu sulit hilang dari ingatannya.
Â
Aisyah terbenam di bawah reruntuhan saat sedang bermain[3].
Bersama ratusan jiwa yang tak pernah mengerti alasan apa mereka dibunuh.
Hingga suatu ketika.
Fatima memandang boneka kayu milik Aisyah.
 "Ibu hanya rindu padamu, nak.
Teramat kejam dunia memperlakukanmu" bisiknya lirih.
Melampaui batas kekerasan nan tak bertepi.
 "Dunia akan tetap menjaga boneka kayu milikmu, nak
"Jika engkau ditemukan kelak.
Bermainlah kembali bersamanya" imbuhnya tegar sembari mendekap bonekanya.
Â
Asa tetap terjaga tak pernah pupus.
Hati perempuan Gaza itu teramat luas.
Seluas laut Mediterania.
Â
Selang satu jam setelahnya.
Serangan zionis kembali merenggut paksa segalanya.
Sesekali ia tersenyum getir.
Menyaksikan kamp pengungsian berubah menjadi puing.
Kepulan asap pekat membumbung di udara.
Laksana halilintar menyambar.
Membakar segala harapan.
"Aman katamu?
Kata siapa?" tanya Fatima dengan suara lantang.
Tak ada sejengkal pun tempat yang aman di sini.
Meski milik PBB sekalipun.
"Lantas, ke mana kita akan berlindung?
Astagfirullah...Allahu Akbar ...!!! pekiknya lantang sambil menyeka pelupuk matanya.
Â
Fatima sejenak terlupa.
Ia tak lebih perempuan lemah tak berdaya.
Terlupa, Â padahal ia masih memiliki Allah.
Tuhan yang maha melindungi.
Fatima tak lagi sempat menghitung.
Tanah tempat kakinya berpijak terus diguncang gempa.
Bom dan rudal menari-nari tanpa henti.
Burung besi dan drone meraung-raung di angkasa.
 Membidik siapapun yang bergerak.
Â
Entah ratusan, ribuan bahkan jutaaan kali.
Terdengar dentuman yang memecahkan gendang telinga.
Batinnya berteriak lantang:
"Ke mana kalian wahai pembesar muslim?"
"Ke mana kalian wahai penggiat hak azasi manusia?"
"Ke mana kalian wahai pembela umat Muhammad?"
"Ke mana kalian wahai pembela Aqsa?"
Â
Dunia diam membisu.
Menyaksikan genosida telanjang di depan mata.
Boneka kayu simbol cinta dari seorang ibu.
Kini terpanggang bersama.
Bersimbah darah.
Bermandikan derita.
Jemari yang terkulai lemah itu perlahan tak bergerak lagi.
Senyum simpul di wajahnya
Menyiratkan kebahagiaan yang tak terkira.
Kematiannya telah dipersiapkannya.
Jauh sebelum malaikat maut datang menghampirinya.
Â
Rudal yang diluncurkan militer zionis.
Telah merenggut nyawa Fatima.
Meski raga hangus tak bertuan.
Takkan mampu memisahkan cinta.
Bersemayam abadi di haribaan-Nya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI