Sedangkan defisit neraca perdagangan muncul kalau nilai barang dan jasa yang diimpor oleh suatu negara melebihi nilai barang dan jasa yang diekspor negara tersebut dalam kurun waktu tertentu.Â
Saat memberi penjelasan di depan Badan Anggaran DPR RI, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa membesarnya defisit APBN 2025 dipicu oleh potensi tidak tercapainya target penerimaan negara.Â
Kementerian Keuangan memproyeksikan pendapatan negara tahun ini hanya mencapai Rp 2.865,5 triliun atau 95,8 persen dari target Rp 3.005,1 triliun.
Baik penerimaan pajak maupun penerimaan nonpajak sama-sama diperkirakan realisasinya akan berada di bawah target.Â
Penerimaan pajak diprediksi mencapai 94,9 persen dari target, dan penerimaan nonpajak lebih rendah lagi, yakni hanya 92,9 persen dari target.Â
Bertolak belakang dengan sisi penerimaan, sisi pengeluaran atau realisasi belanja negara justru diperkirakan lebih tinggi persentase pencapaiannya, yakni 97,4 persen dari target.Â
Defisit anggaran sebetulnya bukan sesuatu yang tabu. Kebijakan defisit anggaran hingga level tertentu malah diperlukan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi melalui kenaikan belanja pemerintah.Â
Nah, level tertentu itulah yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam hal ini, batas maksimal defisit APBN adalah 3 persen dari PDB.Â
Batas itu sangat dibutuhkan karena defisit anggaran yang besar juga punya risiko yang besar, jika tidak mampu dikelola dengan baik.Â
Menarik untuk mencermati, dengan proyeksi defisit yang melebar pada tahun ini, bagaimana dengan efektivitas instruksi Presiden Prabowo Subianto pada awal tahun 2025 ini tentang efisiensi anggaran?Â
Seperti diketahui, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 adalah tentang efisiensi belanja  kementerian/lembaga (K/L) dan transfer ke daerah (TKD).Â