Perlu diingat, kalau suatu negara mengalami defisit anggaran, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat secara luas.
Tempo.co (10/7/2025) menuliskan penjelasan Sri Mulyani yang mengungkapkan bahwa defisit APBN 2025 diperkirakan mencapai Rp 662 triliun, atau setara dengan 2,78 persen dari PDB.
Angka ini menunjukkan pembengkakan dibandingkan dengan target awal pemerintah yang menetapkan defisit sebesar Rp 616 triliun atau 2,53 persen dari PDB (yang juga telah disinggung di bagian awal artikel ini).
Agar defisit tertutupi, Sri Mulyani mengajukan permohonan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar sisa anggaran lebih (SAL) senilai Rp 85,6 triliun dapat dipakai.
SAL merupakan dana cadangan pemerintah berupa akumulasi sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA) dari tahun-tahun anggaran sebelumnya, yang penggunaannya diatur untuk pembiayaan anggaran, stabilisasi fiskal, dan kebutuhan kas sementara.
“Dengan demikian, kenaikan defisit tidak seluruhnya harus ditutup melalui penerbitan surat utang, melainkan juga dapat memanfaatkan kas yang tersedia,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Defisit pada umumnya dapat diartikan sebagai kondisi kekurangan atau minus, khususnya dalam konteks anggaran belanja.
Istilah defisit tidak hanya lazim dalam membahas anggaran negara, baik tingkat pemerintah pusat maupun daerah, namun juga dapat terjadi pada anggaran keuangan perusahaan, organisasi, dan bahkan individu.
Seperti dikutip dari laman akuntansi.uma.ac.id, defisit merupakan kondisi keuangan di mana pengeluaran melebihi pemasukan, nilai impor lebih besar daripada ekspor, serta jumlah kewajiban melampaui total aset yang dimiliki.
Dalam konteks ilmu ekonomi makro, terdapat dua jenis defisit yang umum terjadi, yaitu defisit anggaran pemerintah dan defisit neraca perdagangan dari suatu negara.
Defisit anggaran terjadi bila pengeluaran pemerintah melampaui pendapatan yang diterima pemerintah selama tahun tertentu.