Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marah yang Baik

29 Desember 2017   18:15 Diperbarui: 29 Desember 2017   18:24 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Naha kieu sih? Kamu teh ... matakan tong ulin wae!"

(Kok gini? Makanya kamu jangan main terus!)

Ibu di hadapan saya melesakkan (dengan wajah sebal), raport yang baru saja ia terima ke dalam tas tangannya. Raport itu, tentu saja tidak bisa masuk, sebab ia berukuran F4, lebih panjang ketimbang tas si Ibu. Akhirnya ia jinjing sambil terus mengomeli pemuda tanggung di depannya.

Posisi saya ada di bangku kelas paling depan, sehingga sempat menyaksikan ini. Hari itu, hari pembagian raport. Saya datang untuk mengambil raport si sulung yang sudah duduk di kelas 11.

"Temen kaka juga banyak da yang takut dimarahi orangtuanya," kata kakak, saat saya mengisahkan perlakuan si Ibu tadi. Saat itu memang si sulung tidak duduk bersama dengan saya, hingga ia luput melihat temannya dimarahi ibunya di depan umum.

Setelahnya, saya tercenung, sebab masih teringat jelas pias wajah si pemuda tanggung yang dimarahi itu. Seandainya saya dan orang-orang tidak usah menyaksikan peristiwa itu, tentu ia bisa menyembunyikan rona malu wajanya dengan lebih baik.

Marah, menurut saya adalah hak orangtua. Sebab marahnya orangtua mengandung rasa sayang. Namun mestikah, diungkap di depan umum? Tidak bisakah menunggu sampai rumah? Atau minimal di tempat parkir yang agak sepi? Di dalam mobil?

Sempat terlupa saya menuliskan kisah ini. Hingga sore tadi, saya mendapat pesan tak terduga dari seorang gadis belasan tahun.

Tanpa tedeng aling-aling ia menulis,

"Tante, boleh request tulisan ga (?)"

Potongan-potongan percakapan dengannya saya sertakan dalam tulisan ini.

Kegundahan hatinya saya pahami betul. Sebab saya pernah seumur dengannya. Pernah merasa seperti yang ia rasakan. Pernah ingin berteriak,

"Hey! Kalau saya salah, dikasih tau dong, salahnya dimana dan harusnya bagaimana, bukan dikata-katain ..."

Pun begitu, sekarang saya ada di posisi berlawanan. I have crossed to the other (dark) side. Muahahahaha.

Saya sudah jadi orangtua. Dan jadi orangtua, artinya setiap hari harus rela didera pelbagai cobaan dari yang namanya anak.

Saya sangat tahu rasanya kesal pada anak, karena kesalahan yang (menurut saya) tidak seharusnya ia lakukan, sebab harusnya ia sudah tahu. Atau pada kesalahan yang berulang-ulang ia lakukan, padahal sudah diberitahu

Jadi ketika saya memasang wajah datar sambil memutar mata,

"Kak, please ..."

Anak-anak saya sudah tahu bahwa ibunya tak berkenan. Dan untuk itu, saya harus menahan sekuat tenaga untuk tidak 'tergoda' mengeluarkan kata-kata tak pantas.

Sebab ucapan ibu adalah doa.

Sebab ucapan ibu adalah doa

Sebab ucapan ibu adalah doa

Ketimbang mengeluarkan kata-kata yang kelak akan saya sesali, mendingan perbanyak istighfar saja.

Marah, menurut saya adalah hak orangtua. Sebab anak juga perlu tahu bahwa dunia bergerak pada porosnya. Semua ada aturannya. To be survive, you need to follow the rules.

Tapiiii ... yang sering terlupa adalah "marah dengan baik".

Apa itu?

Marahlah dengan semestinya. Tak lebih dan tak kurang.

Katakan padanya kita tidak setuju dengan tindakannya. Tunjukkan salahnya dimana. Pakailah bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti anak.

"Mama ga suka kalau kamu pulangnya telat. Takut terjadi apa-apa. Lain kali kalau sekiranya telat, kabari dulu, biar mama ga khawatir."

Tahanlah emosi untuk tidak bilang "Jam berapa ini sekarang??? Dasar ga tau waktu ... mau jadi apa sih kamu?"

Saya tahu rasanya menahan emosi dalam kondisi begini. Sementara kita di rumah khawatir, eh anaknya malah enak-enakan aja pulang cengengesan.

Tapi Bu, Pak. Sabar yah.

Dulu juga kita seceroboh itu, se-santai itu kok. Kalau ada yang sudah bisa rapi jali dari sejak kecil, dan tidak pernah melakukan kesalahan, itu bukan anak-anak namanya.

Saat marah, tahan untuk tidak bilang

"Kamu tuh yaaa, jaman mama seumur kamu ..."

STOP.

Perbedaan generasi tidak untuk dibandingkan. Setiap jaman memiliki tantangan dan godaan yang berbeda-beda.

Membandingkan jaman kita dulu tanpa kemajuan teknologi dengan jaman sekarang yang serba canggih ini tentu tidak apple to apple.

Jangan bandingkan anak kita dengan kakak atau adiknya.

"Lihat tuh kakak kamu! Ga pernah nyusahin ..."

Ini adalah kesalahan fatal. Selamanya anak akan merasa apa yang sudah ia perbuat tidak pernah bagus di matamu, bu. hiks hiks.

Apalagi membandingkan dengan anak orang lain,

"Coba lihat anaknya Pak/Bu ... pinter, membanggakan, ga kayak kamu!"

Duh, duh

Jangan salahkan anak kalau kemudian di dalam hatinya ia berkata, "Lah ... mendingan orangtuanya si ... ga pernah ngehina anaknya!"

Apalagi soal bagi raport. Kegiatan dua kali setahun itu jangan dijadikan ajang untuk menunjukkan kesalahan anak.

"Tuuuh kaaan ... udah dibilangin belajar, belajar  ... jadi gini kan hasilnyaaaa??!! ."

Cobaaa diingat-ingat lagi, jaman dulu kita gimanaaa. Jangan-jangan malah lebih malas dibanding anak kita.

Beban kurikulum untuk anak sekolah jaman sekarang berat loh. Ibu-ibu yang selalu memeriksa pelajaran anak-anaknya pasti tahu. Apalagi kalau sudah tingkat SMA, tumpukan PR sudah kayak jutaan kenangan yang enggan menghilang. Dikerjain capek, ga dikerjain malah tambah numpuk.

Saya percaya, bahwa anak-anak, asal kita motivasi dengan baik, pasti berusaha keras di sekolah. Siapa sih yang ga bangga kalau nilai raportnya bagus

Siapa sih yang ga mau dipuji oleh orangtuanya sendiri?

Semua anak mau

Masalahnya, tidak semua anak punya kecerdasan yang sama.

Ibu pikir, kalau semua cerdas matematika, lalu siapa yang jadi akuntan? Yang jadi penerjemah? Yang jadi jurnalis

Tempo hari saya baca ada orang yang menulis soal "fokus pada nilai tertinggi anak di raport" kira-kira begitu isinya

Kita (kita??) ini, cenderung selalu memeriksa nilai yang paling kecil. Sehingga kalimat pertama yang muncul adalah,

"Loh kok, IPA nya cuman 70?"

Padahal apa salahnya mencari nilai tertinggi, kemudian bilang,

"Weis ... bahasa Indonesianya 95! Keren banget sih,"

Nilai yang tertera di raport itu hasil kerja keras anak kita loh. 95 dan 70 itu mungkin secara angka berbeda. Namun bisa jadi memiliki nilai daya juang yang sama. Anak kita mendapat nilai 95 setelah berjuang dan memang dia berbakat dalam bahasa. Nilai 70 juga dia sudah berjuang, namun mentoknya ya di situ.

Seringkali, anak-anak (yang sering saya lihat) langsung sibuk membela diri di hadapan kedua orangtuanya.

"Ituuu nilainya kecil, soalnya aku pas itu jarang masuk"

"Hmm ... gurunya ga ngerti"

"Iya kecil, tapi teman-teman yang lain juga sama kok,"

Terkesan seperti membela diri ya. Kalau memang dapatnya kecil, ya kecil aja.

Tapi eh tapi.

Ada loh pelajaran yang kita sangka sih udah ngerti, eh gurunya yang suka bikin rumit.

Ada pelajaran yang gampang, lah gurunya galak macam komandan Pleton.

Ada pelajaran yang saking pelit gurunya ngasih nilai, bisa dapat 60 atau C aja megap-megap. Itu juga udah ditambal pakai tugas dan remedial. Duh.

Itu baru masalah pelajaran. Belum faktor-faktor lain. Faktor teman, faktor lawan jenis yang mulai mereka pikirkan saat akil baligh. Banyak.

Sesungguhnya, saat orang dewasa sering berpikir bahwa hidup mereka rumit, anak-anak dan remaja berpikir hal yang sama.

Seorang siswa saya, usia SMA pernah mengatakan bahwa hidup saya enak.

Enak??

Saya tercengang.

Lah saya kan ngajar dia ya. Dia bayar kursus tempat saya mengajar itu mahal harganya. Mestinya enakan dia dong.

"You're luckier than me, miss. You already have money, you have job, you don't have homework. You don't have parents who always scold at you. And you don't have to experience all these confusing things as teenagers."

(Miss lebih beruntung dari aku. Miss punya uang, punya kerjaan, ga usah ada PR. Miss ga punya orangtua yang selalu marah-marah. Dan ga usah merasakan segala hal yang membingungkan ini sebagai remaja)

Sedetik kemudian saya paham maksudnya. Iya, soalnya saya pernah ada di posisinya. Sebagai remaja yang serba bingung, dengan pelbagai tuntutan. Maju kena mundur kena, kalau kata Warkop mah.

Intinya, cobalah saling mengerti.

Bahwa anak juga sama; menghadapi hidup dengan berjuang, hanya ia ada di frekuensi dan jalur berbeda.

Komunikasikan segala sesuatu dengannya sebagaimana kita ingin diperlakukan. Pakailah kata-kata yang baik. Hargai pendapatnya sebagaimana kita juga ingin dihargai. Letakkan kepercayaan padanya, supaya ia bangga dan berjuang untuk memegang kepercayaan itu.

Ada satu kalimat dari mentor saya di pelatihan CELTA setahun yang lalu:

"Don't ever look down on your students"

(Jangan pernah meremehkan/merendahkan muridmu)

Ini berlaku pula pada hubungan orangtua dan anak. Jangan remehkan anak, mentang-mentang kita lebih tua dan hidup lebih duluan. Padahal, terkadang anak mengetahui lebih banyak hal yang kita tidak tahu.

Dalam teori psikologi yang  saya baca entah dimana:

"Jika berbicara dengan anak, posisikan diri Anda sejajar. Jika ia masih kecil, Anda harus jongkok supaya mata Anda selevel dengannya. Jika ia sudah besar, duduklah bersama dan ajak ia berbicara seperti Anda mengajak orang dewasa lainnya berbicara"

Ini penting sekali. Setidaknya untuk saya pribadi.

Yang pernah menjadi anak.

Dan sekarang sudah punya anak.

Untuk menghargai, sebagaimana kita ingin dihargai. Untuk memerlakukan, sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Si gadis usia belasan yang mengirim pesan pada saya, menutup pembicaraan dengan kalimat,

"... semoga lewat tante, mama dan orang tua lainnya bisa sadar."

Ah nak.

Mereka bukannya mabuk hingga perlu disadarkan.

Mereka hanya lupa rasanya menjadi anak.

Dan kau, tetaplah hormat pada kedua orangtuamu ya.

Sebab di balik semua caci maki yang tak kau sukai itu, ada lebih banyak cinta dan pengorbanan yang sudah mereka berikan untukmu.

Percayalah.

2-5a4622fbf1334436c072eb62.jpg
2-5a4622fbf1334436c072eb62.jpg
3-5a462363f1334438263aa693.jpg
3-5a462363f1334438263aa693.jpg
4-5a46236df133442fd46a7c35.jpg
4-5a46236df133442fd46a7c35.jpg
5-5a4623b0caf7db3dba0f8d62.jpg
5-5a4623b0caf7db3dba0f8d62.jpg
6-5a46236eab12ae35a37fc1d5.jpg
6-5a46236eab12ae35a37fc1d5.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun