"Waduh. Kasian ya. Mana masih sekolah. Yaudah, mpok. Mau masak dulu." Responku ingin cepat-cepat pergi karena sudah lapar.
"Iya udah, jangan bawa cewek lu ke kontrakan. Ntar kayak si Ono, noh. Digrebek."
"Iya..." sambil meninggalkan warung dan berjalan menuju kontrakan.
***
Siang terik, baju-baju sehari-hari aku jemur. Sambil masih membilas baju kantor. Siang begitu panas di kota besar. Efek rumah kacanya semakin menembus lapisan ozon sehingga bumi ini semakin panas. Modernisme merusak ini semua. Omong kosong apa tentang modernism, aku menikmatinya. Menjadi budak korporasi dan bermimpi jadi salah satu penguasanya.Â
Di hari minggu begini, memang paling enak mengenang zaman kuliah. Sewaktu masih ikut organisasi jurnalistik mahasiswa, aku sering meliput mencari berita di hari minggu. Kadang datang ke galeri seni yang baru saja melangsungkan pameran.Â
Kota besar seperti ini sangat asik membicarakan kesenian, apalagi realisme. Aku paling suka aliran itu. Oh, sial, baju kantorku jatuh. Aku harus membilasnya lagi. Aku harus berhadapan dengan pakaian jatuh karena jepitan baju sudah tidak kuat lagi untuk menjepi baju.
Duduk, bersandar di tembok kontrakan berpetak-petak yang berwarna hijau ini membuatku nyaman. Di depannya ada pemandangan jemuran para penghuni kontrakan, mulai dari mahasiswa sampai kelas pekerja dan yang berumah tangga.Â
Tapi sayang, mahasiswa yang di kontrakan Mr. Jona, ini tidak pandai bergaul. Akhirnya, membuat aku berasumsi bahwa dia adalah mahasiswa kupu-kupu. Yang kalau di kelas paling aktif bertanya kepada dosen untuk tujuan mengejar nilai.
Ku nyalakan, rokok Dji Sam Soe. Sebuah buku Sepotong Senja Untuk Pacarku tidur dipahaku. Dendangan dari speaker bluetooth yang mengeluarkan suara merdu dari Band Rumah Sakit. Dia nyanyikan, indahnya duniawi, menyejukan hati. Di hari minggu begini, ngerokok, sedikit membaca tulisan romansa dan kopi hitam diseduh bahagia plus ditemani musik.Â
Musik bagi aku adalah pemersatu jiwa yang meronta-ronta, apalagi saban hari harus bermuram durja karena kerja. Ngomong-ngomong aku hanya dapat jatah satu hari dalam seminggu. Kapitalisme sungguh menyerapku untuk sayang pada kerjaan dan melupakan duniawi. Tapi, buat apa libur dua hari, toh, siapa yang mau aku kencani di malam minggu.