15 Maret 2045
Kepada Bu Ratna yang terhormat,
Saya tidak tahu apakah Ibu masih ingat saya. Saya Tuminah. Murid Ibu tahun 2033-2036 di SMA Bangsa. Anak beasiswa dari keluarga miskin yang selalu duduk di pojok belakang kelas. Yang bajunya hanya itu-itu saja. Yang tidak pernah ikut studi tour karena tidak punya uang.
Saya menulis surat ini dari kantor saya di Singapura. Saya sekarang menjabat sebagai Director of Operations di perusahaan multinasional. Gaji tujuh belas juta sebulan. Tinggal di apartment mewah district 10. Setiap hari pakai mobil Mercedes. Kehidupan yang dua puluh tahun lalu tidak pernah berani saya bayangkan.
Ibu pasti bangga, kan? Ini semua berkat Ibu. Berkat beasiswa yang Ibu rekomendasikan. Semua ini berkat bimbingan Ibu.
Tapi Bu, ada yang harus saya ceritakan. Sesuatu yang sudah dua belas tahun menggerogoti perasaan saya setiap malam.
Ibu ingat Kevin Prasetya? Anak Pak Direktur yang selalu duduk di depan? Yang rumahnya di Menteng. Yang selalu diantar-jemput pakai Alphard. Yang uang sakunya sejuta sehari?
Kami berdua sama-sama pintar, Bu. Nilai rapot kami selalu bersaing di ranking satu atau dua. Tapi ada perbedaan yang memisahkan dunia kami, dia punya segalanya, saya tidak punya apa-apa.
Tahun 2036, ada kompetisi Olimpiade Sains Nasional. Hadiah juara satunya beasiswa penuh ke Singapura, termasuk biaya hidup. Ini kesempatan emas bagi saya untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.
Kevin juga ikut, Bu. Baginya kompetisi ini bukan untuk mendapatkan beasiswa, hanya karena gengsi semata.