AKU hanya lulusan SMA yang tidak punya uang untuk kuliah. Kerja di warnet pinggir jalan, di daerah Cibinong. Gaji sebulan dua juta. Pas-pasan. Mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan.
Sampai akhirnya Bang Rizal datang suatu sore. Dia kakak kelasku dulu waktu SMP. Sekarang naik mobil Honda Jazz. Kemejanya bagus sekali. Jam tangannya besar dan kinclong.
Mungkin itu yang disebut takdir, entah angin dari mana yang membawanya tiba-tiba muncul di warnet kecil di pinggir jalan ini. Katanya ada yang memberikan informasi kalau aku kerja di sini.Â
"Mustofa, lo mau kerja nggak? Gampang. Duduk di rumah. Modal HP sama laptop. Gaji lima juta sebulan. Kalau rajin bisa sampai sepuluh juta," katanya sambil nyodorin kartu nama.
Lima juta. Dua kali lipat gaji sekarang.
"Kerja apa, Bang?"
"Admin medsos. Gampang. Lo bikin konten, post di Twitter, Facebook, Instagram. Gue kasih arahan, lo eksekusi. Gitu-gitu aja, gampang kan?"
Kedengarannya mudah. Aku langsung setuju. Tidak perlu berpikir panjang.
Seminggu kemudian, aku sudah punya sepuluh akun Twitter palsu. Sepuluh akun Facebook. Lima akun Instagram. Semua dengan nama dan foto yang berbeda-beda. Ada yang pakai nama Budi Santoso. Ada yang Sri Wahyuni. Ada yang Joko Prasetyo.
Bang Rizal memberikan aku berkas dalam format Excel. Di dalamnya ada ratusan narasi yang harus aku posting. Jadwalnya juga sudah ditentukan. Jam berapa. Hari apa. Pakai akun mana.