Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Raya Nyepi, Inisiasi Penyeimbangan Makrokosmos dan Mikrokosmos

13 Maret 2021   00:51 Diperbarui: 1 April 2021   09:28 2049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Minggu, tanggal 14 Maret 2021, umat Hindu  merayakan hari raya Nyepi tahun Saka, 1943. Hari Raya nyepi adalah hari penting umat Hindu untuk menyambut Tahun baru Saka . 

Hari Nyepi  sesuai dengan KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 3 TAHUN 1983,  dinyatakan dan diakui sebagai hari  libur nasional  hingga  kini. Kondisi ini merupakan bentuk pengakuan negara pada umat Hindu di Indonesia.  

Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang dirayakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tileming kesanga pada penanggal 1 sasih Kedasa. Peralihan dari tahun lama ke baru. 

Umat Hindu memandang masa peralihan itu merupakan hal sensitif, saat yang mudah mendatangkan bahaya atau hal-hal yang tidak diinginkan sehingga pada masa peralihan itu perlu diadakan upacara inisiasi, untuk menyeimbangkan alam mikrokosmos dan makrokosmos.

Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia=mikrokosmos ) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya= makrokosmos). Artinya keseimbangan antara  badan manusia dalam kediriannya dengan alam lingkungannya , haruslah terjadi relasi saling menguntungkan, sesuai dengan hukum kekekalan massa, masa tidak dapat diciptakan, dan tidak dapat dimusnahkan. Artinya ketika manusia kemaruk, maka alam akan meminta dengan massa yang sama, untuk menyeimbangkan lingkungan.

Pada saat ini  Nyepi sudah kali  kedua,  dilaksanakan saat pandemi COvid-19, sehingga pelaksanaan Nyepi menggunakan protokol kesehatan, artiya  mengurangi kegiatan perayaan pengumpulan  orang banyak.  Maka untuk kedua kalinya, pula perayaan tanpa kehadiran  OGOH-OGOH. Ini dilakukan, untuk menghindari terbentuknya kluster baru 'penyebaran  Covid-19. Nyepi tanpa Ogoh-ogoh juga pernah terjadi saat kampanye pemilu, karena ditengarai dapat  melahirkan anarkisme antar pendukung kandidat.

Dalam ruang terbatas ini, ada baiknya hal-hal yang perlu diungkapkan, yaitu  (1) makna hari raya Nyepi bagi umat Hindu,  (2) (sejarah Hari Raya Nyepi, (3) Catur Brata penyepian dalam suasana terkini, dan (4) bagaimanakah perayaan nyepi saat New Normal.

SEJARAH PERAYAAN NYEPI 

Nyepi  merupakan  ritual Hindu, yang mengakar kuat pada tradisi di  India, yang merupakan sumber agama Hindu dengan Kitab Suci- Weda-nya. Para Rsi membawa agama Hindu ke Indonesia, dan negara -negara lain. Agama Hindu  mengalami akulturasi  sehingga  menjadi sangat kaya tradisi. Tradisi Hindu di India memang berbeda namun esensi nya tetap sama dengan Hindu yang berkembang di Nusantara.

Perayaan Nyepi dengan Tahun  Saka, tidak bisa lepas dengan kejadian di India. Pada  saat itu, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian antar suku-suku bangsa, terjadi  seperti Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya, perang yang menghasilkan pihak yang menang dan  kalah silih berganti., terjadi ketidak seimbangan kehidupan masyarakat ketika itu.

Akibatnya, gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambing nya kehidupan beragama itu. Tak pelak, pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena ke pengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini. Konflik terus terjadi dan tidak terelakkan.

Bangsa Saka  menjadi contoh karena arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Pendekatan itu sangat berhasil,  maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.

Mulai tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi, berkuasaan di India, dinasti Kushana ini, juga terinspirasi dengan pendekatan yang dilakukan bangsa Saka, yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Maka, perubahan pun terjadi, yaitu,  kekuasaan tidak lagi digunakan untuk  menghancurkan suku bangsa lainnya, namun dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara). Walaupun demikian dunia selalu menampilkan sisi gelap dan terang, perkelahian dan peperangan masih kerap terjadi.

Suku Saka akhirnya menjadi pemenang, dibawah komando  Raja Kaniskha I,  Belaiu naik tahta obatkan tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi, lalu diperingati sebagai  pergantian tarikh saka, karena  hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I, dalam hal menyatukan bangsa yang sebelumnya saling bertikai karena  paham keagamaan yang saling berbeda, namun setelah itu menjadi sangat harmoni. Sejak saat itu ( tahun 78 Masehi)  itulah ditetapkan tarikh /perhitungan  tahun Saka, satu tahun  memiliki 12 bulan. Caitramasa sebagai bulan pertama, sama dengan  bulan Maret tarikh Masehi, serta  tarikh Jawa dan Bali di Indonesia sama dengan sasih kesanga.  

Mulai saat itu iklim beragama menjadi kondusif, tatanan masyarakat dibangun dengan harmoni. Oleh sebab itu,  tonggak perubahan itu diperingati sebagai Tahun baru Saka. Sebab kebangkitan, kebersamaan , toleransi  muncul. Kebaikan itu disebarkan ke seluruh  India, asia termasuk Indonesia.

Lalu bagai manakah perkembangan  kalender saka, sampai di Indonesia? Sistem itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.

Digambarkan bahwa Sang Aji Saka di samping telah berhasil menyosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, dengan sebuah kisah menarik dua pengiringnya  atau caraka  beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Dua orng pengiring yang diceritakan sama sakti, sama-sama tangguh , sama setia, dan keduanya menjadi mayat. Sebuah rangkai huruf-huruf yang penuh makna yang membuat penduduk melek huruf, untuk memasuki zaman sejarah dengan memperkenalkan huruf Jawa, sebuah pendekatan yang luar biasa dari Sang Pandita Aji Saka.

Pada zaman Majapahit, aktivitas kerajaan berdasarkan kelender Tahun Saka, sehingga dapat dikatakan bahwa kalender  tersebut  benar-benar telah eksis. Oleh karena itu  pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpul, seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat. Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII.

Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan  Perayaan Hari raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala.

 

RANGKAIAN HARI RAYA NYEPI 

Proses pelaksanaan rangkaian upacara Nyepi di Bali dikoordinasikan dan diawasi oleh masing-masing Kepala Desa Adat bersama stafnya dengan berpedoman pada pedoman umum yang dibuat oleh Parisada Hindu Dharma  pusat maupun daerah.

 Hari Raya Nyepi memiliki beberapa rangkaian , dimana Umat Hindu melakukan beberapa aktivitas ritual baik dalam penyambutan, pelaksanaan , maupun setelah itu. Adapun Rangkaian hari raya Nyepi dapat diutarakan sebagai  berikut:   (1) melasti, (2) pecaruan, atau tawur,  (3) pelaksanaan catur brata penyepian, (4) ngembak Geni.

MELASTI.

Upacara Melasti dilaksanakan setiap 1 tahun sekali, di Bali. Proses penyucian diri maupun alam semesta (buana agung dan buana alit), dan air atau danau menjadi tempat tujuan melasti itu.

Upacara melasti atau mekiis, dan juga disebut upacara melis, umumnya   dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum pelaksanaan Nyepi, yang merupakan rangkaian dari Hari raya Nyepi. Adapun fungsi upacara melasti ini adalah untuk melakukan penyucian peralatan upacara dan personal masing-masing umat yang akan melaksanakan ritual catur brata penyepian pada hari Nyepi. Peralatan, sarana serta pretima  diarak  ke pantai ke pantai atau sungai.  Masyarakat berduyun-duyun  menuju laut ataupun mata air untuk melaksanakan ritual pembersihan. Selain membawa prasarana persembahyangan, masyarakat juga mengusung pretima (benda atau patung yang disakralkan) untuk dibersihkan secara sekala dan niskala. 

Dan  semuanya menuju sumber mata air, lalu apakah yang mendasari pemilihan tempat ini? Melasti merupakan proses meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata dan manifestasi Tuhan, yang bertujuan untuk menghilangkan mala atau penderitaan," Namun, kebanyakan warga Bali yang beragama Hindu memiliki   keyakinan bahwa laut, danau, atau sungai, sumber inspirasi yang suci yang dapat menghilangkan kekotoran, sehingga menjadi suci. Faktanya memang, mandi  di air laut  dapat mengatasi jamur, atau melarutkan lemak pada  daki di kulit, akan larut dengan mudah pada larutan garam yang encer seperti yang ada di lautan. 

Ada dua manuskrip (lontar ) pelaksanaan melasti ini, yaitu Lontar Sunarigama dan Sanghyang Aji Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno menyebutkan " Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana"

Melasti = melelasti = nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta. Menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Segara (laut) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Pelaksanaan melasti  dilakukan  2-3 hari sebelum Hari Raya Nyepi dimulai, akan diadakan upacara Melasti sebagai bentuk meraih kesucian hati para umat Hindu.  Melasti memiliki pengertian simbolis bahwa  upacara ini dilaksanakan dengan menghanyutkan hal-hal buruk dengan menggunakan air, sebagai sumber kehidupan dalam segala aspek

Lebih lanjut , paling tidak  ada 5  tujuan melasti antara lain : Pertama, "ngiring prewatek dewata", ini artinya upacara melasti itu hendaknya didahului dengan memuja Tuhan dengan segala manifestasinya' Dewa  adalah sinar suci  dari Tuhan. Dengan berbagai simbol upacara dan simbol yang mampu mengarah pikiran  kearah ketuhanan, dan prosesi melasti ke arah lautan, atau danau, merupakan rangkaian perjalanan yang melalui berbagai desa, dan jalan -jalan yang dilalui  atau umat yang rumahnya dilalui oleh iring-iringan melasti itu menghaturkan sesaji  atau banten ayaban, dan juga aturan pada pengayah atau abdi  yang mengikuti prosesi itu, proses ini adalah bakti, bersedekah pada pengiring, dan perasaan dan keyakinan untuk merasakan bahwa beliau Tuhan yang maha kasih hadir di sekitar tempat  tinggalnya. Penghayatan demikian adalah sebuah panggilan jiwa bahwa   prosesi demikian 'mengajak umat Hindu" merasakan secara bathin kehadiran Tuhan dimana-mana, dan termasuk berstana dalam hatinya. 

Kedua, "Anganyutaken laraning jagat" artinya  melepaskan dan menghayutkan penderitaan masyarakat dan keletehan /kekotoran yang ada dalam masyarakat, termasuk juga yang ada dalam diri sendiri, secara individu. tempat penyucian itu menuju air , daam hal ini yang dituju adalah laut atau danau.  Pada sisi itu, maka  "Melasti" merupakan bentuk simbol yang nyata, untuk menatap diri, bahwa diri  manusia  rentan untuk kotor, oleh karena itu perlu dijaga dengan baik. Maka, dengan memahami hakikat melasti, mulai membersihkan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik, sehingga bisa terlepas dari penyakit sosial masyarakat, seperti kesenjangan , permusuhan dan intoleransi. Pikiran yang tenang secara biologis memberikan kemampuan pengendalian penyakit, karena kekebalan tubuh manusia tetap terjaga. Oleh karena itu melasti, atau membersihkan diri, tidaklah hanya ritual belaka, dan sesungguhnya itu bisa dilakukan setiap saat, membersihkan diri  lewat puasa pikiran untuk tidak berpikir buruk. 

Ketiga "Papa klesa"  artinya, melasti dapat menghindarkan   rintangan yang menyebabkan kesengsaraan, secara individual diharapkan umat Hindu menyadari rintangan-rintangan dalam hidupnya yang selalu hadir mana kala tidak awas. Ada lima yang menyebabkannya, yaitu (1) Awidya, A= tidak, widya= ilmu, orang tidak berilmu, maka dia berada dalam kegelapan, cara mengatasi adalah 'belajar terus sepanjang hayat", (2)   Asmita  sama dengan egois, mementingkan diri sendiri. Orang yang selalu menganggap dirinya paling benar, akibatnya tidak suka mencari ilmu, maka orang seperti itu tidak akan bisa maju (3) Raga :  mementingkan jasmani, membiarkan panca idria liar  dan proses pengumbaran hawa nafsu terjadi secara masif, (4)  Dwesa : sifat pemarah dan pendendam, sifat ini harus sangat disadari, karena marah kerap menjadikan bingung, (5)  Adhiniwesa : cemas, atau  rasa takut tanpa sebab, (rasa takut mati). Kelima hal itu disebut klesa harus dihindari, agar dapat menjadi bahagia di dunia ini. 

Keempat, "Letuhing Bhuwana" artinya alam yang kotor, maksudnya upacara melasti bertujuan untuk menyadarkan umat Hindu agar peka pada lingkungan, melestarikannya. Intinya menghilangkan sifat-sifat manusia yang mengeksploitasi  berlebihan pada lingkungan , tanpa memperhatikan daya lenting dan daya dukung lingkungan. 

Kelima, "Ngamet sarining amerta ring telenging segara" , artinya belajar dari lautan yang selalu menerima apapun yang dikirimkan kepadanya, tanpa mengubah sifatnya, Airnya tetap asin, walaupun banyak sungai bermuara ke laut. Pelajaran penting adalah jadilah manusia  biasa, tak mudah terpengaruh oleh pikiran-pikiran jahat. Upacara melasti sejatinya membangunkan kesadaran manusia Hindu, menjaga keseimbangan lahir dan bathin. 

MECARU DAN PENGERUPUKAN 

Tahap kedua adalah, Mecaru atau Tawur.  Tawur yang dilaksanakan di pura Besakih disebut Tawur agung. Tawur  dilaksanakan pada hari Tilem Sasih Kesanga (Bulan mati ke 9) yaitu sehari sebelum Nyepi. Mengapa dipilih sasih sasih kesanga? Pertanyaan ini menarik sebab  tawur dilakuan pada sasih kesanga dan  hara Raya Nyepi (sipeng, ngebleng) dilakukan pada sasih  sasih kedasa.

Makna Sasih Kasanga dan Sasih Kadasa pada rangkaian Nyepi Upacara pangrupukan dalam rangkaian Hari Raya Nyepi dilaksanakan pada bulan mati (Tilem) sasih kesembilan (Sasih Kasanga) dapat dijelaskan sebagai berikut:  pada hari ini (Tilem) merupakan hari yang bertepatan dengan bulan mati. Pada hari Tilem merupakan hari baik terakhir melakukan upacara bhuta kala, kemudian beralih ke hari baik untuk melakukan upacara dewa yadnya (korban suci kepada Dewa).

Makna filosofis  upacara pangrupukan yang jatuh pada hari Tilem Sasih Kasanga itu, memiliki makna  sangat dalam bagi umat Hindu di Bali, yaitu kasanga berarti kesembilan. Angka sembilan merupakan angka terakhir untuk selanjutnya berganti dengan angka yang mengandung nol (0), misalnya setelah sembilan akan disusul oleh angka sepuluh, setelah sembilan belas akan disusul oleh dua puluh, dan seterusnya. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah sembilan akan terjadi peralihan perhitungan. Kecuali itu, menurut kosmologi umat Hindu bahwa angka sembilan juga mengacu kepada ke sembilan penjuru arah mata angin. Masyarakat Hindu di Bali percaya bahwa di sembilan arah mata angin itu bersemayam para Dewata, yaitu di arah timur Dewa Iswara, di tenggara Dewa Maheswara, di selatan Dewa Brahma, Dewa Rudra di barat daya, Dewa Mahadewa di arah barat, Dewa Sangkara di barat laut, Dewa Wisnu di arah utara, Dewa Sambu di timur laut, dan Dewa Siwa bersemanyam di tengah-tengah. Hal ini lazim dikenali dengan istilah Dewata Nawa Sanga (artinya sembilan dewa yang bersemanyam di masing-masing arah mata angin).

Pada sisi lain, juga berarti bahwa, Masyarakat Hindu di Bali juga mengenal konsep "Kala Ya Dewa Ya" waktu itu bisa bersifat negatif (kala) dan  Baik (dewa). Maka, konsep ini mengandung makna bahwa kala atau waktu itu terdiri atas waktu (hari) baik dan waktu buruk. Oleh karena itu manusia haruslah cerdas dalam memanfaatkan perbedaan waktu ini.

Hari baik dikaitkan dengan  para Dewa, sedangkan hari buruk  diyakini masih  berkeliarannya para Bhuta Kala, cara berpikir umat Hindu yang mengasosiasikan konsep baik (Dewa) dan jahat / buruk  oleh bhuta kala).  Oleh karena itu, di samping di sembilan arah mata angin itu bersemanyam para dewa, juga di sembilan arah mata angin itu dihuni para Bhuta Kala.

 Hari baik dihubungkan dengan turunnya para Dewa, sedangkan hari buruk diasosiasikan dengan berkeliarannya para Bhuta Kala. Oleh karena itu, di samping di sembilan arah mata angin itu bersemanyam para dewa, juga di sembilan arah mata angin itu dihuni para Bhuta Kala. Dimana ada kebeurukan pasati ada kebaikan tersembunyi disana, Rwa Bhinneda.

Umat Hindu memetakan sisi alam mikrokosmos, yakni tubuh manusia, para Dewa itu juga dapat bersemanyam di dalam tubuh manusia; Dewa Wisnu di empedu, Dewa Sambu di pancreas, Dewa Iswara di jantung, Dewa Maheswara di paru-paru, Dewa Brahma di hati, Dewa Rudra di usus, Dewa Mahadewa di ginjal, Dewa Sangkara di limpa, dan Dewa Siwa ditumpukan hati. Dengan demikian, pada hari raya Nyepi, para dewa itu disemayamkan dan dipuja pada diri manusia.

Berangkat dari keyakinan umat Hindu, Dewa itu merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha  Esa/Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam personifikasi- dan peran-Nya masing-masing, sedangkan Bhuta kala  adalah makhluk halus ciptaan Tuhan yang dapat mengganggu keharmonisan alam semesta (bhuana agung) maupun  manusia (bhuana alit).

Ditinjau dari dimensi waktu bahwa pada hari Tilem Kasanga bertepatan dengan waktu pergantian tahun menurut aka. Pada hari tilem kasanga ini menjadi peralihan tahun aka menurut perhitungan Hindu di Bali. Hari Nyepi merupakan tahun aka baru jatuh pada Sasih Kadasa. Kata kadasa  yakni sasih  ke sepuluh, dan juga bermakna 'kedas'  berarti bersih. Oleh karena itu, Hari Raya Nyepi diadakan pada paroh terang pertama (penanggal pisan) masa kesepuluh (sasih kadasa), merupakan hari pertama yang dipandang hari bersih untuk memulai dengan lembaran hidup baru pada tahun baru aka.

 Aktivitas ritual  ini dilakukan berjenjang dari tingkat provinsi akan dilaksanakan di Pura Penataran Agung Besakih, kemudian di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa hingga rumah tangga. Dan, merupakan rangkaian yang terkait dan tidak dapat dipisahkan dari hari Raya Nyepi. Dan semua itu adalah simbol-simbol yang kaya makna. 

Hari Raya Nyepi,  salah satu  simbol itu bentuk  penyucian diri  (buana alit) dan alam semesta (buana agung), keduanya dalam relasi yang seimbang, dalam diri manusia diwujudkan dengan berpikir, berkata dan berbuat yang benar , ketiga merupakan proses penyucian dalam diri, penyucian dalam diri  sekaligus penyucian dunia makro (Buana Agung), maka akan memunculkan keharmonisan dalam kehidupan. Pemberian sesajen  ( banten caru), simbol  pengorbanan sifat binatang dalam diri manusia, sesungguhnya pikiran negatif, yang dapat mengudar vibrasi negatif ke alam semesta, serta mempengaruhi kehidupan lain. Banten caru pengorbanan binatang dalam banten itu yang disebut upacara "Buta Yadnya". Tempat yang digunakan adalah catus pata (perempatan jalan,).  Perempatan adalah simbol  sesorang untuk meniti jalan, orang akan bingung dihadapkan pada pilihan jalan mana yang harus ditempuh. Dengan mengorbankan sifat binatang, maka jalan kebajikan akan dengan lapang dapat dilalui. 

 

Upacara bhuta yadnya itu masing-masing bernama Paca Sata (kecil), Paca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda (Buta Kala), dan segala "leteh" (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. 

Melihat dari aspek komponen pada banten "Caru" ada di rumah-rumah, terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti Ayam Brumbun (berwarna-warni) disertai "tetabuhan" arak/tuak. Bhuta yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat. Simbol,ketika individu masuk suka mabok sesungguhnya dalam dirinya masih berstana bhuta kala, dan dari simbol ini sesungguhnya 'haruslah dihindari ' minum-minuman keras itu, apa lagi sampai mabuk.

 

Beberapa urutan melakukan mecaru biasanya ditingkat rumah tangga dapat dilakukan sebagai berikut :

Banten Nyepi untuk Rumah Tangga:

  1. Ring Pamrajan / Sanggah / tempat bersembahyang keluarga; Menghaturkan Banten Pejati, yaitu Pras, Ajuman, Daksina, Ketipat kelanan, Canang Lengawangi Buratwangi.
  2. Di Natar Mrajan / Sanggah ; Menghaturkan segehan / nasi putih kuning atanding. Di Jaba / Lebuh / bagian luar sebelum masuk ke halaman rumah: Mendirikan/nanceb sanggah cucuk disebelah kanan kori / pemedalan, disanggah cucuk munggah banten Daksina, Pras, Ajuman, Dandanan, ketipat kelanan, Sesayut penyeneng, janganan kajang panjang, pada sanggah cucuk digantung ketipat kelanan, sujang/cambeng berisi tuak, arak, brem dan air tawar.
  3. Dibawah sanggah cucuk menghaturkan segehan Manca Warna (segehan dengan 9 warna, sesuai arah pangider-ideran sebanyak 9 tanding). Lauknya olahan ayam Brumbun atanding, disertai dengan tabuhan arak, Brem, Tuak serta air tawar, di haturkan kehadapan Sang Bhuta Raja dan Sang Kala Raja.

Segehan nasi cacahan 108 tanding dengan ulam jajron matah serta dilengkapi dengan segehan agung asoroh, serta tetabuhan arak, tuak, brem, Air tawar, di haturkan kehadapan Sang Bhuta Bala dan Sang Kala Bala, semua sarana diatas di haturkan di bawah, pada waktu sandhi kala.

Pada malam pangrupakan ini, biasanya di Bali, baik tua-muda maupun pria--perempuan bersuka ria merayakan pangrupukan ini, ada yang berjalan-jalan di lingkungan wilayah banjar atau desanya sambil mengarak ogoh-ogoh. Ada juga sebagian yang duduk di pinggir-pinggir jalan sambil menonton pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh sampai dini hari. Biasanya arak-arak ogoh-ogoh terjadi saling balas-balasan antara banjar satu dengan banjar lainnya, atau desa satu dengan desa lainnya.

 

HARI NYEPI 

Sehari setelah proses pecaruan, maka dilaksanakan Nyepi,, Nyepi berasal dari kata sepi. Kata sepi di sini mengandung arti hening, senyi-senyap, "sipeng".  Hari Nyepi dirayakan pada tanggal 1 bulan ke 10 Caka, atau dengan sebutan lain "Penanggalan Apisan Sasih Kedasa. Pada saat Nyepi inilah umat Hindu melaksanakan 'Catur brata penyepian"

Catur Brata Penyepian merupakan  empat (4) pantangan yang harus dijalankan saat melaksanakan Hari Raya Nyepi dalam rangka menyambut warsa anyar yang dilaksanakan setiap tahun sekali. Ketika merayakan hari raya nyepi itu, umat Hindu di Bali memperoleh pembelajaran untuk mengendalikan diri dengan cara tidak bepergian, tidak beraktivitas/bekerja, berpuasa (tidak makan dan minum), tidak melakukan aktivitas yang dapat mencemarkan badan.

 Keempat Catur Brata Penyepian dalam makna etika Upacara Nyepi untuk pengendalian diri ini disebutkan sebagai berikut :

  • Amati Geni, Dalam bahasa Bali, geni artinya api. Dengan demikian, amati geni berarti tidak menyalakan api atau lampu dan tidak mengumbar/mengobarkan hawa nafsu.  Pada aspek ini, ketika dijalani dengan puasa, aka aktivitas yang lain bisa diminimalis.
  • Amati Lelanguan, Kata lelungan berasal dari bahasa Bali, yakni dari akar kata lunga yang berarti pergi. Oleh karena itu, amati lelungan mengandung arti tidak berpergian kemana-mana, melainkan senantiasa mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan, dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya) yang telah disemayamkan di dalam organ-organ manusia sepeti telah disebutkan di atas.  untuk mulat sarira atau mawas diri. 
  • Amati Karya, Kata karya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti kerja. Amati karya berarti tidak melakukan kerja/kegiatan fisik, tidak bersetubuh, melainkan tekun melakukan penyucian rohani Artinya juga,   tidak melakukan aktifitas pekerjaan dan evaluasi diri dalam kaitan dengan karya (kerja menurut swadharma kita masing-masing) merenung hasil kerja dalam setahun, setelah itu sebagai membuat resolusi untuk tahun  pelaksanaan tahun berikutnya.
  • Amati Lelungan / Lelungaan, sejatinya adalah, kata lelungan berasal dari bahasa Bali, yakni dari akar kata lunga yang berarti pergi. Oleh karena itu, amati lelungan mengandung arti tidak berpergian kemana-mana, melainkan senantiasa mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan, dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya) yang telah disemayamkan di dalam organ-organ manusia seperti telah disebutkan di atas
  •  
  • Dengan melaksanakan catur brata penyepian ini, umat Hindu  bisa konsentrasi atau fokus dengan tenang dan khusuk untuk kembali ke jati diri, yang ditempuh dengan cara meditasi, shamadi, perenungan diri sendiri di suasana yang sunyi-senyap atau "keheningan. Itu sebabnya suasana di Bali sepanjang hari menjadi sunyi senyap, dan pada malam harinya gelap gulita. Tidak ada orang yang lalu lalang, semua orang tinggal di rumahnya masing-masing menjalani brata penyepian sampai menjelang matahari terbit besok harinya, tepatnya pada hari mulai Ngembak Geni.

  • Prosesi itu dilakukan sehari dalam setahun,  adakalanya kita diam, tidak melakukan aktivitas, merenungi diri dan melakukan evaluasi atas segala pekerjaan yang telah kita lakukan. Setelah itu 
  • sebagai individu, umat Hindu  dengan kesadaran baru dan kebersihan  pikiran memasuki  kehidupan  manusia dalam hiruk pikuk dunia, diharapkan mampu mengarungi kehidupan lebih baik.   Jika kita dengan sungguh-sungguh menjalankannya, melalui Catur Brata Penyepian saat perayaan Nyepi ini, kita diingatkan/disadarkan dan diharapkan untuk mengaplikasikan esensi-esensi luhur ini menuju kehidupan yang lebih baik

NGEMBAK GENI 

Hari Ngembak Geni ini yang dirayakan pinanggal ping kalih (tanggal 2) Sasih Kadasa (bulan X), yaitu pada ini Tahun Caka ini memasuki hari kedua. Hari Ngembak Geni sebagai  jeda berakhirnya  catur brata penyepian. Pada hari ngembak geni umat Hindu melaksanakan acara saling mengunjungi keluarga/kerabat, teman dekat, teman seprofesi, dan yang lainnya untuk saling memaafkan atas segala kekhilafan dan kesalahn yang telah atau mungkin terjadi sebelumnya.

Pada Hari Ngembak Geni umat Hindu memohon maaf atas kesalahannya dan memaafkan kesalahan orang lain yang dialami pada tahun sebelumnya. Melalui kesempatan itu tercipta hubungan keseimbangan dan keselarasan yang berlandaskan kemanusiaan. Di samping itu, hari Ngembak Geni memiliki makna  psikologis untuk  memperoleh kekuatan baru dalam meniti dan merajut  lembaran hidup baru. Hal ini dapat memberikan sumbangan untuk mencapai keseimbangan atau keharmonisan sistem kehidupan masyarakat yang beragama Hindu khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Di beberapa daerah di Pulau Bali ada yang memiliki atraksi-atraksi yang sudah mentradisi sejak dahulu kala, secara khusus hanya dipertunjukkan atau digelar pada Hari Ngembak Gni. Misalnya, pertama di Banjar Kaja, Desa Adat Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar melaksanakan ritual, yaitu suatu pertunjukan yang disebut dengan nama omed-omedan. Jadi, ritual omed-omed ini yang hanya ada di desa tersebut hanya bisa disaksikan setahun sekali, yaitu sehari setelah Hari Raya Nyepi.

 Kedua, atraksi yang telah mentradisi yang dilaksanakan di Desa Adat Kedonganan yang bernama mebuug-buugan. Tradisi membuugbuugan ini dilaksanakan atau digelar setelah prosesi Hara Raya Nyepi.  Yang terlibat dalam pelaksanaan tradisi mebuug-buugan ini adalah 1000 orang dari enam Desa Adat Kedonganan Kecamatan Kuta Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Mereka melakukannya di hutan mangrove di sebelah timur dengan cara memolesi diri dengan lumpur sebagai tanda raga dan jiwa yang masih kotor. Sesudah  semuanya memolesi dirinya dengan lumpur, acara selanjutnya adalah mengelilingi  Desa Adat Kedonganan dan bergerak kearah ke barat atau menyucikan diri  ke Pantai Pemeliasan. Ini merupakan simbolis, lumpur adalah kekotoran dalam diri yang berada di timur kemudian dibersihkan ke arah barat.  

Jadi, makna yang terkandung dalam tradisi mebuug-buugan ini, yaitu lumpur diumpamakan sebagai perlambang keburukan yang dibuat, kemudian masyarakat setempat menutupnya atau membasuh keburukan untuk ke dapannya. Artinya, tradisi mebuug-buugan tersebut adalah bentuk  ritual pembersihan diri, dalam rangka menyongsong kehidupan penuh harapan di Tahun Caka yang baru.

BAGAIMANA PERAYAAN NYEPI DALAM KONDISI NEW NORMAL?

Hari Raya Nyepi Caka 1943, atau   jatuh pada hari Minggu 14 Maret 2021. Di tengah pandemi Covid-19, perayaan Nyepi akan sangat berbeda dengan perayaan pada tahun-tahun sebelumnya, meski pada tahun 2020, umat Hindu di Bali sudah pernah merasakan berhari raya Nyepi di tengah pandemi. 

Di Bali pelaksanaan  hari raya Nyepi  mengikuti Surat Edaran Bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Nomor 009/PHDI-Bali/I/2021, Nomor 002/MDA-Prov Bali/I/2021 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Rangkaian Hari Raya Suci Nyepi Tahun Saka 1943 di Bali, 

Ada beberapa poin yang  perlu diketahui, pertama bahwa pawai ogoh-ogoh ditiadakan ( poin 6 tahun 2021). Artinya Nyepi tahun ini tidak akan ada gelar ogoh-ogoh, karena ini akan menyedot perhatian masyarakat sehingga  terjadi kerumunan.  Situasi  Covid-19 masih menjadi kekhawatiran semua pihak.

Rangkaian upacara menjelang Nyepi seperti melasti, Pelaksanaannya disesuaikan dengan desa adat setempat dan diatur oleh prajuru desa masing-masing, tanpa mengurangi esensi nya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. 

 Prosesi Tawur tawur kesanga,  yang dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, dilakukan dengan  nunas tirta (meminta air suci) dan nasi tawur oleh perwakilan masing-masing kabupaten/kota ke Pura Besakih,  Di Pura ini upacara tawur agung dipusatkan  untuk provinsi Bali. Tirta dan nasi tawur itu disebarkan dan diperciki ke wilayah masing-masing.

Tawur Labuh Gentuh jenis tingkat upacara di Kabupaten/kota, sedangkan di masing-masing kecamatan menggunakan tingkatan  upacara Caru Panca Sanak Pelaksanaannya di catus pata (perempatan jalan), jam 13.00  Kegiatan di banjar atau desa menggunakan upacara Caru Eka Sata dan dilaksanakan  di catus pata pada waktu sandi kala (menjelang malam).

Perayaan di lingkungan keluarga, upacara dilaksanakan di merajan atau sanggah dengan menghaturkan banten pejati sakasidan. Di natar palinggih cukup menghaturkan segehan agung satu tanding atau segehan cacahan 11/33 tanding dan ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari. Di halaman atau natah rumah, menghaturkan segehan manca warna 9 tanding, mulai dari olahan ayam brumbun disertai tetabuhan tuak, arak, brem, dan air yang ditujukan kepada Sang Kala Bhucari.

Upacara agama di skala rumah akan dilanjutkan dengan pangrupukan (mabuu-buu) dengan berkeliling rumah 3 kali, dengan sarana api seprapak (meobor-obor), bunyi-bunyian (kulkul bambu atau yang lain), bawang putih, mesui dan jangu (Triketuka).

Setelah itu, dilanjutkan dengan perayaan hari raya Nyepi pada Minggu 14 Maret 202 selama 24 jam sejak 06.00 Wita sampai 06.00. Sementara itu, sehari setelah Nyepi ada tradisi Ngembak Geni. "Saat Ngembak Geni ini, ngelebar brata penyepian dan melakukan simakrama, dharma santi (silaturahmi) dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. 

Kesimpulan 

  •  Hari Raya Nyepi tahun   Baru Saka, dengan rangkaian ritual  yang kompleks, serta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara biologis, sosial, maupun psikologis dan memberikan sumbangan untuk mencapai harapan ideal dan tujuan hidup umat Hindu yang harmonis dan seimbang.
  • Hari  raya Nyepi sebagai rangkaian upacara nyepi fungsinya untuk mengadakan pengendalian diri (catur brata penyepian). Pada Hari Raya Nyepi umat yang beragama Hindu memuja dan menyemayamkan Dewa-Dewi (manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa) di dalam organ-organ tubuhnya, serta menerima ilham-ilham dan petunjuk-petunjuknya untuk mengarungi lembaran hidup baru
  • Pelaksanaan ritual Nyepi dalam agama Hindu dipandang sebagai gejala budaya yang dipelajari melalui analisis simbol, ritus, dan praktik-praktik religius yang dapat dikatakan sebagai jembatan antara kehidupan  sejahtera di bumi (jagatdihita )  dengan tujuan pencapaian kesejahteraan akhirat (mokshartham).
  • Perayaan Hari raya Nyepi di era New Normal tetap berlangsung, dengan mengurangi pelibatan umat untuk berkumpul, dengan tetap menggunakan protokol kesehatan. Dan, pengerupukan dengan tanpa   ogoh-ogoh  tidak mengurangi esensi perayaan Hari raya Nyepi itu. 

Selamat Hari raya Nyepi Caka 1943. Moga damai selalu  ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun