Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Adikku, Bersahabat dengan Wong Samar dan Hantu

5 Oktober 2020   12:29 Diperbarui: 23 Oktober 2020   03:33 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pexels/Gabby K)

Manusia memang banyak menampilkan sisi misteri. Semuanya tak pernah tuntas dijelaskan dengan nalar manusia. Kandungan misteri itu, kerap membawa manusia selalu penasaran.

Penasaran membuncah menjadikan dimensi kehidupan manusia penuh warna. Bak aneka bunga di taman, yang samar itu lebih memesona dalam pencarian, dan kerap tak masuk akal dalam benak. Itulah kehidupan.

Di dimensi tak masuk akal itulah, narasi dibangun bahwa berbagai lapis kehidupan yang melingkupi tak tersentuh oleh mata dan indria manusia, karena satu hal metode ilmiah belum mampu menumbus tembok terjal fenomena alam semesta. Misteri itu, memberikan suasana magis, masih tersisa hingga kini.

Di Bali, kondisi itu dipercayai, bahwa kehidupan mahluk lain ada, namun manusia harus rukun dan harmoni dengan mereka yang tak kasat mata. Pesannya hanya satu, berlaku sopan dan saling tidak mengganggu. Kunci yang selalu ditawarkan oleh tradisi.

Eksistensi mereka diakui sebagai "wong samar" (sosok yang tak kelihatan). Walaupun menggunakan mikroskop yang super canggih pun tetap saja nihil.

Konsepsi wong samar, hantu, memedi, adalah mahluk yang tak bisa dilihat oleh orang kebanyakan, namun sejatinya tetap menguras sisi emosi manusia dan diyakini ada, sehingga memiliki wilayah, atau bertempat dalam komunitas yang tertata.

Kadang kehidupan dengan aktivitasnya beririsan, sehingga bisa dipertemukan antara manusia nyata dengan mereka para wong samar itu.

Kisah-kisah yang menarik itu selalu menjadi pijakan dalam beraktivitas, sehingga tidak sembarang lokasi bisa menjadi hunian manusia. Itu dulu, kini zaman berubah, manusia berbiak, maka lokasi-lokasi tebing, dan pinggiran desa banyak disulap menjadi fasilitas wisata.

Ketika suasana manusia gaduh, diduga tempat wong samar sudah diambil alih. Maka mereka diyakini gentayangan, dan masuk ke wilayah manusia, sehingga perilaku manusia banyak yang aneh-aneh. Mana yang benar? Entahlah.

*****

Siang itu, udara persawahan selalu berdesir sejuk, aku lewat di lokasi itu. Terkenang dalam benak bahwa lokasi di pinggir sungai, seakan menjadi kenangan yang sulit dilupakan, tersapu oleh bangunan-bangunan rumah, permukiman, dan lebih khusus lain adalah berdiri gagah sekolah menengah kejuruan (SMK).

Aku memiliki riwayat panjang di lokasi tepat di SMK itu. Aku bersama adikku, yang kini menjadi guru di sekolah itu, banyak punya kenangan berpuluh-puluh tahun silam.

Ketika kecil kami selalu disuruh ayah untuk menyabit rumput, seperti orang-orang lain, petani di desaku. Anak-anak yang telah menginjak SMP, diberi tanggung jawab memelihara anak sapi (godel), bebek, atau ayam.

Itulah yang biasa dilakukan para tetua di Bali, khususnya di desaku. Cara melatih keterampilan, menumbuhkan sikap tanggung jawab, dan disiplin. Kini metode itu sudah mulai ditinggalkan, lenyap bersama hadirnya zaman modern yang menggerus budaya agraris.

Kalau hari Minggu atau hari libur, aku sudah menyabit rumput pagi-pagi, setelah itu mencuci pakaian sekolahku. Namun saat hari-hari sekolah, aku menyambit rumput sore hari dan sebagian rumput disisakan untuk sarapan pagi para godel peliharaanku.

Tempatku tinggal memang agak jauh dengan tempat untuk menyabit rumput itu. Lokasinya pinggir sungai, banyak ditumbuhi bambu. Ada tebing terjal di arah barat tapi di arah timur hamparan sawah. Orang menyebutnya "subak jumpung". Indah banget.

Kini subak itu sudah tak ada, habis menjadi kawasan permukiman penduduk. Sawah-sawah subur dikavling dan areal untuk fasilitas publik sekolah pun dibangun.

Ya... memang tak ada pelarangan lahan subur untuk rumah, tapi sesungguhnya inilah kekeliruan kita. Sesungguhnya banyak tanah kering dan tegalan yang bisa untuk itu. Entahlah...

Sejak subak ini dibelah oleh jalan by pass, orang-orang berduit pada ramai membangun ruko di pinggir jalan. Tempat itu jadi pusat perekonomian strategis. Aku tak tahu ke manakah wong samar yang dahulu. Seakan lenyap. Benarkah? Sebuah pertanyaan yang tak mudah menjawabnya.

Di lokasi di tebing itu, ada wong samar yang aku tahu dari ayah. Dia menjelaskan setelah aku mengadu kepadanya, karena melihat adikku berbicara di rimbunnya pohon padahal tak ada orang yang aku lihat. Aneh.

Adikku laki-laki nomor 3 memang bisa melihatnya dengan jelas.

Saat itu aku mengajaknya untuk mencari rumput di situ, tempat yang memang biasa jadi tujuanku menyabit. Selama menyabit, adikku tertawa dan sering bercakap-cakap dengan seseorang. Padahal tempat itu sepi, tidak ada orangnya selain kami.

Dia berkata, "Menjauhlah, jika engkau muncul kakakku takut nanti."

Adikku berbicara sendiri. Aku tidak tahu siapa sosok yang juga melakukan kegiatan di sana. Namun setelah sampai di rumah dia berbicara panjang bahwa di lokasi itu dia bertemu dengan seseorang yang rambutnya gimbal dan berwarna merah.

Ayahku menyebut makhluk tersebut dengan wong samar atau memedi. Ayahku sadar bahwa salah satu anaknya memiliki kemampuan untuk melihat wong samar.

Ayah berkata, adik berdiskusi dengan wong samar. Menyebut itu saja, bulu kudukku seakan berdiri tegak, seperti senjata tentara yang siap berperang. 

Ayahku ternyata memahami seluk beluk wong samar, hantu, dan mahluk tak kelihatan. Namun ayah tak pernah mengatakannya, khawatir aku tak mau menyabit lagi.

Wong samar, begitu kata ayahku, memberikan gambaran bahwa ada salah satu ciptaan Tuhan yang tidak nampak oleh mata kita (manusia). Mereka ada di dimensi lain di dunia ini, hidup bersama kita, dan harus selalu harmonis. Karena dia membantu masyarakat.

Ayahku menambahkan, walaupun tidak bisa melihatnya, tetapi perkataan dan perbuatan mereka kadang-kadang terdengar dan terasa oleh kita. Seperti rasa merinding, bulu kuduk berdiri, suara-suara aneh, bayi menangis, dan lain-lain.

Kata ayah, makhluk halus adalah makhluk-makhluk yang berada dalam sifat kebodohan (tamasika). Makhluk-makhluk halus ini adalah korban kecelakaan, bunuh diri, atau mati penasaran dengan cara yang tidak wajar.

Ayahku mengutip kitab suci Weda, para makhluk halus tersebut harus menderita selama 60.000 tahun sebelum mendapat kesempatan untuk lahir kembali menjadi makhluk yang lebih tinggi.

Pelaku bunuh diri pasti menjadi hantu dan menderita selama itu pula. Karena itu, bunuh diri adalah perbuatan berdosa yang sangat besar, termasuk membunuh ibu hamil, membunuh janin, atau membunuh brahmana (pendeta), katanya lagi penuh semangat.

Pikiranku terbuka saat itu, bahwa ada mahluk lain yang tak kelihatan.

Apabila kita mengajak bayi ke lokasi hunian wong samar, maka sang bayi pasti menangis ketakutan. Aku kaget... wah menarik.

Ayah juga menambahkan bahwa anjing akan menggonggong seperti melihat orang asing. Berarti tandanya lokasi itu adalah perkampungan wong samar.

Pesannya, hindarilah hari seperti pada malam Kajeng-Kliwon, tilem, purnama, dan hari khusus lainnya. Kamu akan melihat kadang-kadang nampak ada banyak lampu yang kelap-kelip, bau makanan, suara anak-anak bermain, percakapan orang dewasa, atau suara kidung dan gamelan yang membuat bulu kuduk merinding.

"roh-roh demikian kalau sering mendapatkan doa atau prasadam akan cepat diangkat dari sifat kegelapan dan mencapai bentuk kehidupan yang lebih baik," ujar ayah.

Ayahku percaya reinkarnasi. Dijelaskan bahwa para makhluk halus dapat langsung menjadi manusia jika mereka masuk ke dalam rahim seorang wanita yang melakukan hubungan suami-istri tidak sah dan pada waktu dan tempat yang tidak tepat.

Misalnya, (saat senja hari) ketika terjadi pembuahan, anak-anak yang dilahirkannya berwatak raksasa dan kejam. Itu sebabnya, jangan berzina. Jikapun bersama pasangan sah, lakukanlah pada hari-hari yang baik. Jangan lupa berdoa sebelum melakukan kewajiban suami-istri.

Aku mengerti, kadang rasa isengku ingin membuktikan kata-kata ayah. Suatu ketika aku membawa anjingku, ras kintamani. Sempol namanya.

Ketika diajak menyambit rumput, ekornya selalu bergerak. Sampai di tempat untuk menyabit rumput itu, benar saja, dia menggonggong dan melolong karena pasti melihat aktivitas itu. Mendengar suaranya memang membuat bulu kuduk berdiri. Aku segera menyudahi mencari rumput di situ dan segera pergi ke lokasi lain.

"Si Sempol menggogong terus, apakah itu ada kerumunan wong samar?" tanyaku pada ayah.

Ayahku menyahut, "Wong samar hidup berkelompok sekitar 100 Kepala Keluarga (sekampung), dan membentengi lingkungan banjar mereka dengan tembok maya-maya (gaib) yang membuatnya tidak nampak oleh mata manusia umumnya."

Ayah berpesan agar selalu hormat dan berkata sopan. Mohon izin terlebih dahulu, bilang "nyelang margi", maka mereka tidak akan menganggu kita. Itulah yang aku pegang, dan sampai kini nasihat ayahku selalu mengiang dalam benak.

Kata ayah saya lagi, daerah permukiman mereka biasanya tersembunyi agak jauh dari jalan manusia. Dengan pepohonan yang lebat dan secara gaib mampu menghilang dari pandangan mata manusia dan adang.

"Adakah tanda-tanda lain?" tanyaku.

"Ya ada," kata ayah. "Tanda-tandanya, kadang ada kondisi yang aneh, misalnya sayup-sayup terdengar suara anak-anak yang sedang bermain, sedang berantem, menangis, tertawa.

Di saat lainnya, seperti ada kegiatan masyarakat yang tengah melakukan transaksi jual-beli di pasar. Suaranya riuh-rendah dalam frekuensi yang hanya bisa ditangkap oleh telinga halus yang meditatif. Begitulah ayahku berpesan.

Ketika itu aku sempat bertanya pada ayah, tempat seperti apakah kampung mereka? Punyakah solidaritas? Ayah selalu mengatakan tentu ada, oleh karena itu hati-hatilah kalau lewat, di manapun tempat itu.

Aku bengong dengan uraian ayah. Ia tidak memberikan tempat spesifik agar kami tidak takut. Ayah mengatakan bahwa perkampungan mereka umumnya ada di pantai, sungai, lembah, danau, atau pegunungan.

Dia tidak memberikan spesifik lokasi tempat kami menyabit rumput. Tampaknya dia khawatir aku tidak mau ke tempat itu lagi untuk menyabit rumput.

Dahulu pinggir sungai masih penuh semak belukar dan pematang sawahnya penuh dengan aneka tumbuhan. Memang eksotik.

Namun kini sudah beberapa tahun kemudian tempat itu disulap menjadi tempat pendidikan, Sekolah Menengah Kejuruan itu. Sungguh beruntung adikku yang dahulu yang diajak nyabit rumput itu mau sekolah, bahkan dia bisa menjadi guru di lokasi itu.

Kisahnya menarik. ketika kelas 1 SD adikku tidak mau sekolah karena sering melihat sesuatu di jalan sepi. Dia harus berhenti setahun, menunggu adik kami di bawahnya sekolah. Jadi ada yang bisa diajak bersama ke SD, yang jaraknya jauh.

Singkat cerita, saya melanjutkan pendidikan di IKIP. Jadilah guru, dan kini dia ditempatkan di sekolah dimana kami menyambit rumput dahulu, yang kata ayahku ada komunitas wong samarnya.

Kini, ketika aku pulang ke desa, aku bertanya masihkah sekolah itu ada wong samarnya?

Adikku tertawa lebar. "Wah, aku pikir kakak lupa tentang mahluk begituan. Sebab kakak sudah lebih bergelut dengan dunia realita, bukan dunianya paranormal," tukasnya.

Yah.... Aku tanya tentang sesuatu yang ada kaitannya puluhan tahun silam, adakah masih tersisa jejaknya.

Oh.... adikku dengan tangkas menjawab banyak kejadian aneh di sini. Dia menuturkan, kejadian aneh di sekolah itu.

"Aku bisa melihatnya, tapi aku tak mau lanjutkan kemampuan tersebut. Takut diajak masuk ke dunianya. Kalau pas ketemu, hanya sepintas bertegur sapa," jawabnya singkat.

Sesungguhnya, kata adik berusaha memberikan gambaran padaku, wong samar yang pernah ditemuinya, dan juga dengar dari masyarakat di daerah tersebut ada pula yang baik.

Wong samar yang baik adalah yang hidup layaknya seperti kita, sering berinteraksi dan ikut kegiatan masyarakat. Seperti belanja di pasar, jalan-jalan di mall, ikut sembahyang di pura, dan malah sering menolong manusia yang tersesat.

Adikku mengatakan bahwa sekolah tempatnya kerja demikianlah adanya. Kejadian-kejadian aneh selalu ada saja. Pernah adikku di ruang komputer sering diganggu, listrik mati dan selalu membuat penampakan. Ada anak-anak di sana.

Banyak orangtua mengadu, anaknya kehilangan uang SPP yang harus dibayarkan. Atau bawa HP, hilang... Tak keruan. Ada juga siswa yang kecelakaan dan meninggal sering berada di kelas. Temannya pulang dia sendiri di kelas itu, aku lihat sepintas.

Adikku yang bisa melihatnya, biasanya dibisiki agar memberikan sesuatu. Di sekolah adikku itu, dia cukup senang diberi makanan "laklak tape", (mirip surabi manis dan tape ketan).

Lalu dia menceritakan lagi, ketika ada lomba, siswa dan guru bekerja siang malam di sekolah. Maka agar aman, dia memberikan tips sederhana, kasih permen dan banten pejati di pojok itu, sudah dapat menetramkannya.

"Pernah tidak melakukan itu, maka komputer yang sedang menyala mati mendadak padahal data belum disimpan. Wah panik dong. Kursor pun bergerak sendiri. Itu sudah biasa di sekolahku," katanya.

Hidup manusia memang diliputi banyak hal misteri, aku senang bisa bertutur kisah itu dengan adikku. Kini dia selalu bahagia bisa mengajar dengan tenang, kalau kita harmoni dan selalu sopan terhadap lingkungan maka hal-hal aneh tak terjadi, gangguan itu bisa dikurangi.

Aku tersenyum, diskusi dengan adikku sungguh menarik. Tak diduga, telpon berdering, petugas sekolah mengabarkan bahwa ada seorang siswa berteriak histeris.

"Oh..... wong samar beraksi kembali," kata adikku. Dia bergegas ke sekolah itu.*****

Artikel rujukan: Berbagai Kisah Seputar Wong Samar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun