Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Adikku, Bersahabat dengan Wong Samar dan Hantu

5 Oktober 2020   12:29 Diperbarui: 23 Oktober 2020   03:33 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pexels/Gabby K)

Kata ayah saya lagi, daerah permukiman mereka biasanya tersembunyi agak jauh dari jalan manusia. Dengan pepohonan yang lebat dan secara gaib mampu menghilang dari pandangan mata manusia dan adang.

"Adakah tanda-tanda lain?" tanyaku.

"Ya ada," kata ayah. "Tanda-tandanya, kadang ada kondisi yang aneh, misalnya sayup-sayup terdengar suara anak-anak yang sedang bermain, sedang berantem, menangis, tertawa.

Di saat lainnya, seperti ada kegiatan masyarakat yang tengah melakukan transaksi jual-beli di pasar. Suaranya riuh-rendah dalam frekuensi yang hanya bisa ditangkap oleh telinga halus yang meditatif. Begitulah ayahku berpesan.

Ketika itu aku sempat bertanya pada ayah, tempat seperti apakah kampung mereka? Punyakah solidaritas? Ayah selalu mengatakan tentu ada, oleh karena itu hati-hatilah kalau lewat, di manapun tempat itu.

Aku bengong dengan uraian ayah. Ia tidak memberikan tempat spesifik agar kami tidak takut. Ayah mengatakan bahwa perkampungan mereka umumnya ada di pantai, sungai, lembah, danau, atau pegunungan.

Dia tidak memberikan spesifik lokasi tempat kami menyabit rumput. Tampaknya dia khawatir aku tidak mau ke tempat itu lagi untuk menyabit rumput.

Dahulu pinggir sungai masih penuh semak belukar dan pematang sawahnya penuh dengan aneka tumbuhan. Memang eksotik.

Namun kini sudah beberapa tahun kemudian tempat itu disulap menjadi tempat pendidikan, Sekolah Menengah Kejuruan itu. Sungguh beruntung adikku yang dahulu yang diajak nyabit rumput itu mau sekolah, bahkan dia bisa menjadi guru di lokasi itu.

Kisahnya menarik. ketika kelas 1 SD adikku tidak mau sekolah karena sering melihat sesuatu di jalan sepi. Dia harus berhenti setahun, menunggu adik kami di bawahnya sekolah. Jadi ada yang bisa diajak bersama ke SD, yang jaraknya jauh.

Singkat cerita, saya melanjutkan pendidikan di IKIP. Jadilah guru, dan kini dia ditempatkan di sekolah dimana kami menyambit rumput dahulu, yang kata ayahku ada komunitas wong samarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun