Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Adikku, Bersahabat dengan Wong Samar dan Hantu

5 Oktober 2020   12:29 Diperbarui: 23 Oktober 2020   03:33 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pexels/Gabby K)

Aku memiliki riwayat panjang di lokasi tepat di SMK itu. Aku bersama adikku, yang kini menjadi guru di sekolah itu, banyak punya kenangan berpuluh-puluh tahun silam.

Ketika kecil kami selalu disuruh ayah untuk menyabit rumput, seperti orang-orang lain, petani di desaku. Anak-anak yang telah menginjak SMP, diberi tanggung jawab memelihara anak sapi (godel), bebek, atau ayam.

Itulah yang biasa dilakukan para tetua di Bali, khususnya di desaku. Cara melatih keterampilan, menumbuhkan sikap tanggung jawab, dan disiplin. Kini metode itu sudah mulai ditinggalkan, lenyap bersama hadirnya zaman modern yang menggerus budaya agraris.

Kalau hari Minggu atau hari libur, aku sudah menyabit rumput pagi-pagi, setelah itu mencuci pakaian sekolahku. Namun saat hari-hari sekolah, aku menyambit rumput sore hari dan sebagian rumput disisakan untuk sarapan pagi para godel peliharaanku.

Tempatku tinggal memang agak jauh dengan tempat untuk menyabit rumput itu. Lokasinya pinggir sungai, banyak ditumbuhi bambu. Ada tebing terjal di arah barat tapi di arah timur hamparan sawah. Orang menyebutnya "subak jumpung". Indah banget.

Kini subak itu sudah tak ada, habis menjadi kawasan permukiman penduduk. Sawah-sawah subur dikavling dan areal untuk fasilitas publik sekolah pun dibangun.

Ya... memang tak ada pelarangan lahan subur untuk rumah, tapi sesungguhnya inilah kekeliruan kita. Sesungguhnya banyak tanah kering dan tegalan yang bisa untuk itu. Entahlah...

Sejak subak ini dibelah oleh jalan by pass, orang-orang berduit pada ramai membangun ruko di pinggir jalan. Tempat itu jadi pusat perekonomian strategis. Aku tak tahu ke manakah wong samar yang dahulu. Seakan lenyap. Benarkah? Sebuah pertanyaan yang tak mudah menjawabnya.

Di lokasi di tebing itu, ada wong samar yang aku tahu dari ayah. Dia menjelaskan setelah aku mengadu kepadanya, karena melihat adikku berbicara di rimbunnya pohon padahal tak ada orang yang aku lihat. Aneh.

Adikku laki-laki nomor 3 memang bisa melihatnya dengan jelas.

Saat itu aku mengajaknya untuk mencari rumput di situ, tempat yang memang biasa jadi tujuanku menyabit. Selama menyabit, adikku tertawa dan sering bercakap-cakap dengan seseorang. Padahal tempat itu sepi, tidak ada orangnya selain kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun