Mohon tunggu...
INTAN DWI RAHMAWATI
INTAN DWI RAHMAWATI Mohon Tunggu... Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswi Pendidikan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Begitu Banyak Anak Muda Ingin Menghilang?

27 Juni 2025   22:55 Diperbarui: 27 Juni 2025   22:55 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

LATAR BELAKANG

Pada suatu petang yang tampak biasa, suara tawa terdengar dari sudut-sudut ruang kelas. Jadwal kuliah terisi, tugas diserahkan, percakapan di grup WhatsApp mengalir tanpa jeda. Di permukaan, kehidupan tampak berjalan seperti seharusnya. Namun saat malam menyelimuti, ketika layar gawai akhirnya direbahkan dan lampu kamar diredupkan, ada kekosongan yang tak bisa diredam. Ia tidak keras, tidak histeris—namun menyusup halus, menusuk perlahan. Dalam sunyi, satu kalimat berbisik dalam hati: "Apakah aku satu-satunya yang merasa lelah hidup seperti ini?"

Itulah suara lirih yang hari ini digaungkan banyak anak muda, bukan di forum-forum resmi, bukan pula dalam diskusi kampus, tetapi di linimasa media sosial. Mereka menulisnya dalam deskripsi video TikTok, dalam unggahan anonim di Twitter/X, dalam lirik-lirik buatan sendiri yang tersebar dalam bentuk konten yang tak pernah berhenti diputar. Kalimat-kalimat seperti “aku ingin tidur lebih lama,” “lelah jadi kuat,” atau “ingin menghilang saja” bukan lagi keluhan individu. Ia telah menjadi bahasa kolektif generasi.

Di tengah perkembangan teknologi dan keterhubungan digital yang nyaris tanpa batas, paradoks besar muncul: semakin luas jaringan, semakin dalam kesunyian. Anak muda hari ini tumbuh dalam dunia yang menjunjung produktivitas, memuja performa, dan mengaburkan batas antara ruang personal dan publik. Mereka dituntut untuk terus bergerak, untuk selalu “berhasil,” bahkan dalam hal-hal yang paling personal sekalipun. Namun tekanan semacam itu tidak datang tanpa biaya batin.

Laporan World Mental Health Report dari WHO (2022) menyebutkan bahwa lebih dari 13 persen remaja dunia mengalami gangguan kesehatan mental, terutama depresi dan kecemasan. Di Indonesia, 6,1 persen penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional menurut data Riskesdas 2018. Bahkan, survei Katadata Insight Center dan Jakpat (2022) menemukan bahwa lebih dari 51 persen Gen Z Indonesia merasa stres dan cemas terhadap masa depan, dengan tekanan sosial sebagai penyebab utama.

Fakta ini tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang membentuk kehidupan sehari-hari mereka. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi bebas, justru menjadi ruang komparasi yang tidak sehat. Di sana, pencapaian orang lain menjadi hantu yang terus menghantui. Di sana pula, ketidaksempurnaan diri terasa makin jelas. Maka, dalam diam, muncul bentuk perlawanan yang tidak frontal: lelucon tentang depresi, meme tentang burnout, dan unggahan murung dengan caption ambigu. Di sinilah gejala sosial mulai tampak.

Namun yang lebih memprihatinkan, sistem pendidikan formal yang seharusnya menjadi penopang dan ruang aman justru seringkali menjadi salah satu sumber tekanan itu sendiri. Alih-alih menjadi tempat pembinaan karakter dan pemulihan mental, pendidikan hari ini terlalu sibuk mengejar angka, akreditasi, dan output. Kesehatan mental, bila pun dibahas, sering kali hanya menjadi topik seminar musiman—belum menjadi bagian dari kebijakan struktural.

Di titik inilah sosiologi memainkan perannya. Fenomena kelelahan psikis ini tidak bisa dimaknai sekadar sebagai urusan kejiwaan individu. Ia adalah produk dari ketegangan antara struktur sosial dan agensi personal. Dalam esai ini, penulis akan menggunakan perspektif sosiologis untuk membedah fenomena tersebut. Dengan pendekatan teori anomie Émile Durkheim, alienasi Karl Marx, serta konsep dramaturgi Erving Goffman, kita akan melihat bahwa kelelahan ini bukan kelemahan, melainkan bentuk resistensi yang muncul dari tekanan sistemik yang terlalu lama diabaikan.

ANALISIS SOSIOLOGI

Ada hal yang aneh tapi nyata dalam kehidupan anak muda hari ini: mereka tidak sedang berteriak, tapi kita tahu mereka lelah. Kita tidak melihat darah, tapi kita tahu ada yang luka. Bahasa luka itu muncul samar, dalam bentuk unggahan bernada datar, dalam video dengan caption seperti “capek jadi kuat” atau “aku cuma pengin tidur lama.” Di permukaan, ini mungkin terlihat sepele—sekadar tren konten melankolis—tapi jika dilihat lebih dalam, ini adalah gejala sosial yang pantas untuk dicemaskan.

1. Durkheim dan Anomi

Émile Durkheim menyebut keadaan seperti ini sebagai anomie—situasi di mana norma-norma yang seharusnya memberi arah hidup justru menjadi kabur. Di tengah gempuran informasi, perubahan zaman, dan ekspektasi sosial yang tidak masuk akal, banyak pemuda kehilangan pegangan. Hidup seperti kapal kecil yang hanyut di laut tenang, tapi tak tahu arah. Mereka mungkin tidak sedang kelaparan, tapi mereka kekurangan makna. Kita bisa menyebut ini sebagai generasi yang “baik-baik saja secara kasat mata”—rapi, produktif, aktif organisasi—tapi rapuh secara eksistensial. Karena ketika standar kesuksesan berubah menjadi angka-angka, ranking, likes, dan CV, yang hilang bukan hanya waktu, tapi juga hubungan dengan diri sendiri.

2. Karl Marx dan Alienasi

Di titik inilah gagasan alienasi dari Karl Marx menjadi relevan. Ia pernah berkata bahwa manusia bisa terasing bukan hanya dari pekerjaannya, tapi dari dirinya sendiri. Dan itulah yang kini dialami banyak anak muda: mereka bisa sibuk seharian, tapi tidak merasa hidup. Mereka bisa tampil percaya diri di depan umum, tapi menangis dalam diam di malam hari. Mereka seperti mesin yang diharapkan terus berjalan, tanpa sempat bertanya: “apakah aku bahagia?”

3. Erving Goffman dan Dramaturgi

Media sosial—yang katanya ruang ekspresi—sering justru memperparah keadaan. Di sana, semua orang terlihat berhasil. Di sana, kesedihan pun bisa dikurasi agar tetap enak dilihat. Ini membawa kita pada pemikiran Erving Goffman tentang dramaturgi: bahwa kehidupan sosial adalah panggung, dan kita semua adalah aktor yang memainkan peran. Masalahnya, panggung hari ini tidak pernah gelap. Lampu sorot menyala terus-menerus, dan kita dituntut tampil baik tanpa henti. Lama-lama, kita lupa siapa diri kita ketika tirai ditutup.

Salah satu hal yang paling menyedihkan dari semua ini adalah: banyak pemuda tidak tahu bahwa perasaan lelah mereka bukan salah mereka. Mereka menyalahkan diri sendiri karena tidak cukup kuat, padahal sistemlah yang membuat mereka terus berlari tanpa istirahat. Mereka tidak tahu bahwa lelucon tentang depresi yang mereka bagikan itu sebenarnya bukan sekadar jokes—itu semacam doa yang tidak tahu harus dikirim ke mana. Dan ini bukan hanya tentang individu, ini tentang masyarakat. Ketika banyak anak muda merasa hampa, kita tidak bisa hanya menyuruh mereka “bersyukur” atau “lebih dekat pada Tuhan.” Kita perlu menata ulang sistem sosial, ekonomi, dan pendidikan yang selama ini terlalu keras pada mereka.

REFLEKSI KEPENDIDIKAN ATAS MASALAH YANG TERJADI

Jika ada satu institusi yang paling dekat dengan kehidupan anak muda selain keluarga, maka itu adalah sekolah dan kampus. Namun sayangnya, justru institusi ini sering kali gagal menjadi ruang yang aman dan memanusiakan. Pendidikan di Indonesia, secara struktural dan kultural, masih sibuk mengejar angka dan citra, alih-alih menciptakan ruang hidup yang sehat dan bermakna bagi peserta didiknya.

Dalam banyak kasus, sekolah dan perguruan tinggi menjadi tempat produksi kecemasan massal. Target akademik yang tidak realistis, kurikulum yang kaku, minimnya pendekatan afektif dari guru dan dosen, serta budaya kompetisi yang membabi buta membuat siswa dan mahasiswa hidup dalam tekanan berlapis. Mereka tidak sedang didorong untuk berpikir, tapi dipaksa untuk bertahan. Ini bukan pendidikan yang membebaskan, ini sistem yang membentuk kepatuhan tanpa makna.

Kesehatan mental masih dianggap urusan pribadi, bukan tanggung jawab institusi. Padahal, sistem pendidikan ikut menciptakan atmosfer yang membuat banyak anak muda merasa gagal hanya karena tidak sesuai dengan standar ideal akademik. Ketika seorang mahasiswa merasa depresi karena tidak bisa memenuhi tuntutan tugas, nilai, atau ekspektasi sosial, respons institusi sering kali normatif: “Coba lebih disiplin,” “manajemen waktu,” atau bahkan, “itu hanya kurang ibadah.” Masalah struktural justru disimplifikasi menjadi kelemahan individu.

Sementara itu, pendekatan kurikulum masih belum berubah banyak: berorientasi pada konten, padat teori, tapi miskin ruang dialog. Tidak ada waktu untuk refleksi diri, tidak ada ruang untuk gagal tanpa hukuman. Padahal, manusia berkembang bukan hanya lewat keberhasilan, tetapi justru melalui kegagalan yang dimaknai. Dalam sistem yang terlalu menekankan performa, tidak ada tempat bagi keraguan, kecemasan, atau kebingungan eksistensial. Semua harus disembunyikan agar tidak dianggap lemah.

Jika pendidikan benar-benar ingin menjadi jalan bagi pembebasan generasi muda, maka ia harus bersedia berubah secara radikal. Bukan hanya menyisipkan materi tentang kesehatan mental di satu mata kuliah atau seminar, tapi menjadikan kesejahteraan psikis sebagai bagian tak terpisahkan dari desain institusional. Layanan konseling harus tersedia dan bekerja, bukan hanya formalitas. Tenaga pendidik perlu dibekali sensitivitas sosial, bukan hanya keahlian menyampaikan materi.

Lebih dari itu, ukuran keberhasilan pendidikan harus diredefinisi. Pemuda yang bisa mengakui kelemahan, berani meminta bantuan, jujur dan bertanggung jawb saat melakukan kesalahan serta memiliki empati sosial seharusnya mendapat tempat yang sama terhormatnya dengan mereka yang punya IPK tinggi. Karena pada akhirnya, pendidikan tidak sedang mencetak buruh untuk sistem, melainkan membentuk manusia utuh yang bisa berpikir, merasakan, dan berdiri di tengah masyarakat yang semakin kompleks. Tanpa perubahan paradigma ini, institusi pendidikan hanya akan terus melahirkan generasi yang terlatih secara kognitif tapi kosong secara batin. Dan dari kekosongan itulah, lahir keinginan untuk menghilang.

PENUTUP

Generasi ini tidak sedang mencari perhatian dengan bersuara tentang kelelahan mental. Mereka sedang mencari ruang untuk tetap waras dalam sistem yang sering kali membuat manusia kehilangan arah. Mereka bukan lemah—mereka hanya hidup dalam masyarakat yang terlalu keras, terlalu sunyi, terlalu cepat, dan terlalu mengabaikan. Mereka dibesarkan dalam bayang-bayang standar ideal yang tak pernah memberi waktu untuk ragu, apalagi gagal. Dan ketika mereka mulai mempertanyakan semua itu, dunia justru menertawakannya sebagai “terlalu sensitif.”

Sistem pendidikan kita tidak sekadar lalai. Ia turut menyumbang luka. Di ruang kelas, anak-anak muda dilatih untuk bersaing sejak dini, dikejar angka, dibatasi kurikulum, dan dituntut kuat tanpa diberi hak untuk jujur pada kelemahan. Mereka belajar untuk diam, untuk taat, dan untuk tampil baik di atas panggung statistik. Tak banyak ruang yang tersisa untuk bertanya: siapa aku sebenarnya?

Narasi kesehatan mental memang kerap diangkat, tetapi lebih sering sebagai kosmetik institusional ketimbang kesadaran struktural. Seminar demi seminar digelar, slogan-slogan empati disebar, namun sistem nilai tetap tidak berubah. Kelelahan dianggap biasa. Kecemasan dianggap hal lumrah. Ketika seorang mahasiswa memilih bunuh diri, yang disorot sering kali hanya kasusnya—bukan atmosfer panjang yang melingkupinya. Kita gagal mengakui: sistem ini membuat banyak anak muda diam-diam ingin berhenti hidup, bukan karena mereka tidak kuat, tapi karena mereka tidak pernah diberi ruang untuk menjadi manusia seutuhnya.

Jika pendidikan masih terus memahami keberhasilan sebagai akumulasi nilai dan kompetisi, maka yang akan lahir bukan manusia merdeka, melainkan individu yang tersesat dalam pencarian makna yang tak kunjung usai. Kita tidak sedang kehilangan generasi. Kita sedang mengabaikan mereka—satu per satu, dalam diam yang dipoles dengan senyum palsu dan indeks prestasi.

Sudah saatnya institusi pendidikan melihat dirinya dalam cermin yang jujur. Bukan hanya bertanya, “Apakah mereka cerdas?”, tetapi juga, “Apakah mereka bahagia?” "Apakah ada kesulitan yang mereka hadapi saat ini?" "Apakah kami bisa membantu sedikit?" Sebab jika jawaban atas yang kedua itu tidak pasti, maka semua pencapaian akademik itu hanyalah kemenangan semu. Dan jika sistem ini tidak berubah, maka hilangnya satu generasi bukanlah kecelakaan—melainkan konsekuensi.

Referensi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-lain/Laporan-Riskesdas-2018-Nasional.pdf

Katadata Insight Center. (2023). Studi Kesehatan Mental Generasi Muda Indonesia: Suara Sunyi yang Kian Nyaring. Jakarta: Katadata. [Ringkasan diakses dari media online].

World Health Organization. (2017). Depression and Other Common Mental Disorders: Global Health Estimates. Geneva: WHO. https://www.who.int/publications/i/item/depression-global-health-estimates

Tempo.co. (2023, Maret 15). Fenomena “Ingin Menghilang” di Kalangan Gen Z: Bukan Tren, Tapi Tanda Bahaya. https://www.tempo.co/

Kompas.com. (2024, April 9). Laporan Kesehatan Mental: Lonjakan Depresi di Kalangan Mahasiswa Indonesia. https://www.kompas.com/

Yulius, H. (2020). Mental Health dan Anak Muda: Mengapa Kita Harus Bicara? Jakarta: Buku Mojok.

Durkheim, E. (1897). Le Suicide: A Study in Sociology. Paris: Félix Alcan. [Reprint, 2006]. New York: Routledge.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton & Company.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun