Mohon tunggu...
INTAN DWI RAHMAWATI
INTAN DWI RAHMAWATI Mohon Tunggu... Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswi Pendidikan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Begitu Banyak Anak Muda Ingin Menghilang?

27 Juni 2025   22:55 Diperbarui: 27 Juni 2025   22:55 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika pendidikan benar-benar ingin menjadi jalan bagi pembebasan generasi muda, maka ia harus bersedia berubah secara radikal. Bukan hanya menyisipkan materi tentang kesehatan mental di satu mata kuliah atau seminar, tapi menjadikan kesejahteraan psikis sebagai bagian tak terpisahkan dari desain institusional. Layanan konseling harus tersedia dan bekerja, bukan hanya formalitas. Tenaga pendidik perlu dibekali sensitivitas sosial, bukan hanya keahlian menyampaikan materi.

Lebih dari itu, ukuran keberhasilan pendidikan harus diredefinisi. Pemuda yang bisa mengakui kelemahan, berani meminta bantuan, jujur dan bertanggung jawb saat melakukan kesalahan serta memiliki empati sosial seharusnya mendapat tempat yang sama terhormatnya dengan mereka yang punya IPK tinggi. Karena pada akhirnya, pendidikan tidak sedang mencetak buruh untuk sistem, melainkan membentuk manusia utuh yang bisa berpikir, merasakan, dan berdiri di tengah masyarakat yang semakin kompleks. Tanpa perubahan paradigma ini, institusi pendidikan hanya akan terus melahirkan generasi yang terlatih secara kognitif tapi kosong secara batin. Dan dari kekosongan itulah, lahir keinginan untuk menghilang.

PENUTUP

Generasi ini tidak sedang mencari perhatian dengan bersuara tentang kelelahan mental. Mereka sedang mencari ruang untuk tetap waras dalam sistem yang sering kali membuat manusia kehilangan arah. Mereka bukan lemah—mereka hanya hidup dalam masyarakat yang terlalu keras, terlalu sunyi, terlalu cepat, dan terlalu mengabaikan. Mereka dibesarkan dalam bayang-bayang standar ideal yang tak pernah memberi waktu untuk ragu, apalagi gagal. Dan ketika mereka mulai mempertanyakan semua itu, dunia justru menertawakannya sebagai “terlalu sensitif.”

Sistem pendidikan kita tidak sekadar lalai. Ia turut menyumbang luka. Di ruang kelas, anak-anak muda dilatih untuk bersaing sejak dini, dikejar angka, dibatasi kurikulum, dan dituntut kuat tanpa diberi hak untuk jujur pada kelemahan. Mereka belajar untuk diam, untuk taat, dan untuk tampil baik di atas panggung statistik. Tak banyak ruang yang tersisa untuk bertanya: siapa aku sebenarnya?

Narasi kesehatan mental memang kerap diangkat, tetapi lebih sering sebagai kosmetik institusional ketimbang kesadaran struktural. Seminar demi seminar digelar, slogan-slogan empati disebar, namun sistem nilai tetap tidak berubah. Kelelahan dianggap biasa. Kecemasan dianggap hal lumrah. Ketika seorang mahasiswa memilih bunuh diri, yang disorot sering kali hanya kasusnya—bukan atmosfer panjang yang melingkupinya. Kita gagal mengakui: sistem ini membuat banyak anak muda diam-diam ingin berhenti hidup, bukan karena mereka tidak kuat, tapi karena mereka tidak pernah diberi ruang untuk menjadi manusia seutuhnya.

Jika pendidikan masih terus memahami keberhasilan sebagai akumulasi nilai dan kompetisi, maka yang akan lahir bukan manusia merdeka, melainkan individu yang tersesat dalam pencarian makna yang tak kunjung usai. Kita tidak sedang kehilangan generasi. Kita sedang mengabaikan mereka—satu per satu, dalam diam yang dipoles dengan senyum palsu dan indeks prestasi.

Sudah saatnya institusi pendidikan melihat dirinya dalam cermin yang jujur. Bukan hanya bertanya, “Apakah mereka cerdas?”, tetapi juga, “Apakah mereka bahagia?” "Apakah ada kesulitan yang mereka hadapi saat ini?" "Apakah kami bisa membantu sedikit?" Sebab jika jawaban atas yang kedua itu tidak pasti, maka semua pencapaian akademik itu hanyalah kemenangan semu. Dan jika sistem ini tidak berubah, maka hilangnya satu generasi bukanlah kecelakaan—melainkan konsekuensi.

Referensi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-lain/Laporan-Riskesdas-2018-Nasional.pdf

Katadata Insight Center. (2023). Studi Kesehatan Mental Generasi Muda Indonesia: Suara Sunyi yang Kian Nyaring. Jakarta: Katadata. [Ringkasan diakses dari media online].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun