Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada 4 Alasan Mengapa Cerita Perjodohan Tradisional di Flores Tinggal Kenangan

20 Mei 2021   18:07 Diperbarui: 20 Mei 2021   19:46 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perjodohan tradisional di Flores: Gambar diambil dari: hipwee.com

Penyebaran penduduk dari lingkup kehidupan masyarakat tradisional kepada lingkup kehidupan baru yang lebih luas, terbukti sangat memengaruhi wawasan dan cara pandang baru seseorang. 

Cerita tentang perjodohan merupakan kenyataan sosial budaya yang akrab dengan dunia percintaan. Hubungan antara perjodohan dan percintaan itu bukan saja sekarang, tetapi sejak dulu. 

Sekurang-kurangnya saya sudah mendengar cerita perjodohan itu sejak tahun 80-an. Perjodohan yang pernah saya dengar dan akhirnya tahu ceritanya lebih terkait dengan konteks perjodohan di lingkaran daerah saya, bahkan lebih dalam lagi dalam konteks suku.

Perjodohan dan percintaan dalam konteks ulasan ini tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional yang dimaksudkan adalah sekelompok masyarakat yang hidup pada suatu wilayah atau daerah di bawah pengaruh pranata hukum adat.

Hukum adat yang diwariskan dari generasi ke generasi itu dipelihara, tanpa sering direfleksikan atau bahkan tanpa ada koreksi dalam kaitan dengan tuntutan kehidupan yang lebih baik, bahkan dalam kaitan dengan peradaban modern, etika dan kemanusiaan.

Pada tahun 1980-an, saya masih mendengar cerita ibu saya tentang masa kecilnya terkait perjodohan. Itu berarti budaya perjodohan secara tradisional masih hidup dan tentu masih menjadi tren pada tahun 1960-an. 

Bahkan mungkin masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1945-1980-an adalah masa puncak dari perjodohan yang cerita-ceritanya masih dikenang hingga sekarang.

Pada masa-masa itu, perjodohan dilakukan tanpa ada aturan dan hukum tertulis. Hukum adat mungkin lebih berkaitan dengan proses selanjutnya setelah seseorang menemukan jodoh.

Artinya perjodohan itu bisa dilakukan siapa saja dan umumnya melalui jalur hubungan orang tua. Paling populer adalah anak laki-laki dari ibu dijodohkan dengan anak perempuan dari saudaranya ibu. 

Perjodohan yang seperti itu dikenal dengan sebutan hingga sekarang "dijodohkan dengan anak om", hingga pada sebutan "pernikahan anak om." Memang ada perbedaan perjodohan zaman dulu dengan zaman sekarang.

Pada zaman dulu, anak om yang masih usia anak-anak pun sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Saya masih ingat serpihan cerita tentang seorang ibu yang menyisipkan sebatang gading gajah pada potongan-potongan kayu api yang dijunjungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun