Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada 4 Alasan Mengapa Cerita Perjodohan Tradisional di Flores Tinggal Kenangan

20 Mei 2021   18:07 Diperbarui: 20 Mei 2021   19:46 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perjodohan tradisional di Flores: Gambar diambil dari: hipwee.com

Kayu dan gading itu dibawa ke rumah saudaranya sebagai tanda cinta dan perjodohan sejak kecil. Rupanya, kenyataan perjodohan itu diterima masyarakat suku, namun untuk melakukannya secara terang-terangan, apalagi sejak anak-anak mereka masih kecil, itu merupakan tindakan yang memalukan.

Itulah alasannya, mengapa gading gajah sebagai tanda cinta itu dibawa bagaikan barang selundupan. Tanda cinta pada zaman itu bukan saja gading gajah, tetapi barang lain juga bisa menjadi tanda cinta, seperti emas dan perhiasan lainnya.

Dasar pemikiran tradisional apa yang menjadi latar belakang budaya perjodohan itu

Dari kacamata masyarakat modern, mungkin sulit dipahami, mengapa orang tua pada masa itu bisa berpikir demikian picik. Namun, itulah kenyataan yang pernah terjadi.

Alasan untuk menjaga hubungan darah dalam satu garis keturunan itu menjadi alasan utama. Suka atau tidak suka, cinta atau tidak cinta, tidak menjadi alasan yang bisa diperhitungkan. 

Tampak betapa sempit konsep tentang hubungan manusia, rumah tangga dan tentang keluarga. Keluarga pada masa itu dimengerti terkait dengan hubungan darah. 

Masyarakat tradisional punya ketakutan jika perkawinan tidak dengan orang dalam satu garis keturunan atau kalau bukan dengan anak om. Ketakutan itu, rupanya berkaitan dengan prinsip adat mereka sendiri. 

Ada istilah yang bisa saja menjadi prinsip mereka terkait perjodohan itu: Mbuzu ndu wesa senda, yang berarti kurang lebih punya hak yang sudah diakui secara otomatis dalam keluarga.

Prinsip itu tampak sangat materialistis, mengapa? Hal ini karena perjodohan itu sendiri berkaitan langsung dengan urusan adat dan belis. Belis atau mas kawin diatur seperti punya jata dalam keluarga.

Sederhananya seperti ini, sebut saja Marthin punya saudari kandung namanya Sophie. Sophie dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak dari saudari papanya Sophie. Selanjutnya, pihak bibi atau saudari dari papanya Sophie harus memberikan mas kawin yang secukupnya.

Tuntutan mas kawin itu, tidak lain dengan perhitungan agar proses perjodohan Marthin nanti bisa berjalan dengan baik. Jadi, mas kawin dari saudarinya Sophie itu akan menjadi mas kawin lagi dari Marthin untuk diberikan kepada pihak perempuan yang akan menjadi istrinya Marthin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun