Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mustahil Kelompok Gay Bisa Mendominasi Kasus HIV/AIDS di Kota Depok

14 Maret 2025   08:36 Diperbarui: 14 Maret 2025   08:36 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: isha.sadhguru.org/us)

"Didominasi Kelompok Gay, Jumlah Penderita HIV di Kota Depok Capai 405 Orang" Ini judul berita di liputan6.com (13/5/2025).

Judul berita ini ngawur karena mustahil kelompok gay bisa mendominasi penularan HIV/AIDS di Kota Depok, Jabar. Dalam KBBI dominasi artinya penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya).

Nah, bagaimana cara laki-laki gay melarang laki-laki dan perempuan heteroseksual dan biseksual serta transgender untuk melakukan perilaku seksual yang bersiko tertular HIV/AIDS?

Cobalah berpikir jernih. Yang benar adalah kasus HIV/AIDS di Kota Depok paling banyak atau terbanyak terdeteksi pada kalangan laki-laki gay.

Yang lebih konyol lagi ada judul berita yang sebut IRT (ibu rumah tangga) mendominasi kasus HIV/AIDS. Duh, piyung .... IRT itu korban dan mereka pasif terkait dengan penularan HIV/AIDS karena mereka tertular dari suami melalui hubungan seksual penetrasi dalam ikatan pernikahan yang sah.

Pada lead berita disebutkan: Jumlah penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Kota Depok mengalami peningkatan di tiap tahunnya.

Ini tidak jelas. Yang meningkat atau bertambah kasus baru HIV atau jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS. Soalnya, cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru. Begitu setersnya, sehingga jumlah kasus kumulatif tidak akan pernah berkurang biarpun pengidap HIV/AIDS ada yang meninggal dunia.

Disebutkan pula: Menurutnya (Kepala Dinas Kota Depok, Mary Liziawati), jumlah penderita HIV perlu menjadi perhatian meskipun angkanya mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Dalam pernyataan ini tidak jelas yang turun jumlah kasus HIV-positif yang ditemukan (terdeteksi) atau jumlah kasus infeksi HIV baru.

Kalau jumlah kasus HIV yang ditemukan berkurang, maka perlu dipertanyakan mengapa hal itu terjadi. Bisa saja karena penjangkuan yang berkurang, sementara fasilitas kesehatan (Faskes) hanya pasif.

Jika yang dimaksud turun jumlah kasus infeksi HIV baru, maka perlu pembuktian yang akurat tidak hanya sekedar pernyataan. Harus ada indikatornya.

Ada lagi pernyataan: Dinas Kesehatan Kota Depok berusaha melakukan pemeriksaan HIV dan AIDS lebih luas kepada masyarakat. Hal itu yang membuat Dinas Kesehatan Kota Depok menemukan para penderita yang terpapar HIV.

Ini ngawur karena tidak semua orang (dalam masyarakat) mempunyai perilaku seksual atau nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Sejatinya, yang dianjurkan tes HIV adalah warga, terutama laki-laki dewasa:

  • yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (vaginal atau anal), di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS, dan
  • yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (vaginal atau anal) tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasanga, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung karena bisa saja salah satu dari PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Yang perlu diingat pekerja seks komersial (PSK) ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan. Tapi, sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua lokalisasi pelacuran di Indonesia sehingga lokaliasi pelacuran pun sekarang pindah ke media sosial. Transaksi seks pun dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekuasinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat. PSK langsung pun akhirnya 'ganti baju' jadi PSK tidak langsung.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu lagu, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek prostitusi online. Transaksi seks terjadi melalui berbagai cara, antara lain melalui Ponsel, sedangkan eksekusinya juga terjadi di sembarang tempat, rumah, kos-kosan, apartemen, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang.

Pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia bias gender terkait dengan mewajibkan ibu rumah tangga yang hamil untuk jalani tes HIV. Padahal, mereka tertular dari suaminya. Tapi, suami tidak jelani tes HIV. Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Sebaiknya Pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia membalik paradigma berpikir: pasangan suami istri dengan kondisi istri hamil menjalani konseling HIV/AIDS. Jika suami mempunyai perilaku seksual atau nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS, maka diminta tes HIV. Kalau hasil tes suami HIV-positif baru istrinya jalani tes HIV. Kalau suami HIV-negatif istri yang hamil tak perlu tes HIV, kecuali pernah menikah dengan laki-laki lain sebelumnya perlu jalani tes HIV.

Disebutkan pula: Dinas Kesehatan Kota Depok berusaha melakukan pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat.

Baca juga: Kota Depok Menunggu Perda untuk Menanggulangi HIV/AIDS (Kompasiana, 5 Oktober 2022)

Sejak pemerintah mengakui ada kasus HIV/AIDS di Indonesia (1987), sedangkan epidemi global tahun 1981, pemerintah sudah melakukan sosialisasi HIV/AIDS. Tapi, hasilnya big nothing (nol besar) karena informasi HIV/AIDS yang dikemas dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Akibatnya, yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Maka, selama KIE hanya berisi mitos selama itu pula masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang realistis melalui hubungan seksual.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi yang selanjutnya mereka menularkan ke orang lain sebagai silent disaster (bencana terselubung) ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' <>

* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022. (Kontak via e-mail: syaifulwh@gmail.com).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun