Aku, Shaleh Muhammad, anak dari tanah tenang bernama Popenga, tempat orang-orang baik tumbuh dari ladang kasih sayang dan nilai-nilai luhur. Di sanalah aku belajar berjalan, bicara, dan mengenal makna kepercayaan---yang kini, sayangnya, telah ku khianati.
Hari ini, 8 September 2025, aku menulis bukan untuk mencari pembenaran. Bukan pula untuk menyentuh belas kasih siapa pun. Aku menulis karena ada luka yang harus kuterima, ada kesalahan yang harus kuakui, dan ada nama-nama yang harus kudatangi lewat kata: untuk meminta maaf.
Kepada keluarga, yang percaya padaku dengan harapan dan simpanan rejekinya---maaf. Aku gagal menjaga amanah. Uang yang kau titipkan, telah hilang bersama kebodohanku dalam usaha yang runtuh.
Untuk ayah dan ibuku, maafkan anakmu yang kini kotor oleh noda kesalahan. Anakmu ini bukan lagi seperti doa-doa yang kalian panjatkan dahulu. Aku telah mencoreng nama yang kalian jaga dengan darah dan peluh. Tapi masih, dari dasar hatiku yang remuk, aku berbisik: ampuni aku.
Kepada mertuaku yang bijak dan sabar, aku hanya bisa menunduk. Aku tahu aku tak layak. Tapi izinkan anakmu ini minta satu hal terakhir: ampunan, jika masih ada seujung ruang di hatimu.
Untuk sahabat-sahabatku, kalian yang tetap berdiri meski tanah di bawahku runtuh---terima kasih. Kebaikan kalian lebih hangat dari sinar pagi yang jatuh ke tanah lembab Popenga. Aku tak layak, tapi aku ingat semua kebaikan itu.
Untuk anak dan istriku, kalian adalah cahaya yang tak layu meski musim berganti. Maafkan aku, lelaki yang gagal menjadi sandaran. Maafkan ayah yang hanya bisa memberi luka saat seharusnya memberi perlindungan.
Tujuh hari dari sekarang, aku akan tahu nasibku: dipenjara atau masih ada jalan damai. Aku siap, karena beginilah seharusnya tanggung jawab dipikul---dalam diam, tanpa banyak alasan.
Untuk tanah leluhurku:
Pamoseang, Popenga, Rantebulahan, Batannato---ampuni anakmu ini. Aku telah mempermalukan nama yang dulu ditulis dengan kehormatan. Tapi percayalah, nilai-nilai yang kau wariskan tak pernah kutinggalkan. Hanya saja, aku tersesat di tengah jalan.
Jika minggu depan datang kabar baik, aku akan bersujud syukur.
Namun jika kabar buruk menjemput, aku hanya bisa berpesan: maafkan aku, jika kau masih sudi memberi maaf itu.
Aku tak pernah berniat menyakiti. Aku bukan malaikat, bahkan terlalu jauh untuk disebut manusia baik. Tapi satu yang pasti: aku sadar, aku salah.