Aspal Buton ditemukan pada tahun 1924, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sumber daya ini terbukti melimpah dan strategis bagi ketahanan infrastruktur nasional. Namun lebih dari satu abad, potensi itu seperti terkubur dalam diam. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa bangsa ini tetap mengimpor aspal seolah tidak memiliki harta karun sendiri?
Indonesia sudah 80 tahun merdeka, tetapi ketergantungan pada aspal impor masih melekat. Setiap tahun triliunan rupiah mengalir ke luar negeri hanya untuk menambal jalan kita sendiri. Ironi ini seperti menampar wajah kedaulatan ekonomi. Apakah ini bukti bahwa aspal Buton adalah kutukan, bukan berkah?
Padahal Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Aspal Buton adalah ciptaan-Nya yang sempurna, cadangan alam yang bisa menjadi tulang punggung pembangunan. Jika kekayaan ini belum membawa kemakmuran, kesalahannya ada pada manusia yang lalai. Terutama pada pemimpin yang enggan menyalakan obor kedaulatan.
Selama puluhan tahun, kebijakan pemerintah hanya memandang Buton sebagai catatan pinggir. Hilirisasi aspal Buton selalu kalah oleh lobi impor aspal yang menggiurkan. Kepentingan jangka pendek menutup mata pada kedaulatan jangka panjang. Ketakutan mengambil langkah berani membuat negeri ini berjalan di tempat.
Padahal teknologi ekstraksi dan pemurnian aspal Buton sudah tersedia. Penelitian bertahun-tahun menunjukkan kualitasnya mampu menandingi bahkan melampaui aspal minyak. Negara lain yang jauh lebih miskin sumber daya berani berdikari. Mengapa Indonesia, yang mengklaim diri sebagai negara besar, justru ragu?
Hilirisasi aspal Buton bukan sekadar proyek ekonomi, tetapi gerakan kedaulatan. Dengan kapasitas cadangan lebih dari 650 juta ton, kita dapat memenuhi kebutuhan nasional hingga ratusan tahun ke depan. Bayangkan multiplier effect: industri turunannya, lapangan kerja lokal, dan penghematan devisa. Semua itu hanya menunggu keputusan politik.
Keputusan politik itulah yang kini menjadi ujian terbesar. Presiden Prabowo Subianto memegang kunci untuk mengubah sejarah. Apakah ia berani mengeluarkan Keputusan Presiden Swasembada Aspal 2030? Atau membiarkan Buton tetap menjadi catatan kaki dalam buku kegagalan nasional?
Jika Pak Prabowo meyakini bahwa aspal Buton adalah berkah, maka keberanian adalah buktinya. Keppres Swasembada Aspal akan menandai lahirnya era baru infrastruktur nasional. Tanpa keberanian itu, kata "berkah" hanya menjadi jargon politik. Dan rakyat kembali menanggung biaya dari ketakutan pemimpinnya.
Selama ini, mafia impor aspal menguasai jalur distribusi dan kebijakan. Mereka menikmati rente dari setiap kapal tanker yang membawa aspal minyak. Setiap kebijakan yang menunda hilirisasi aspal Buton adalah hadiah bagi mereka. Dan setiap keterlambatan adalah kutukan bagi rakyat.
Buton sendiri telah menanti dengan sabar. Pulau ini memiliki tenaga kerja, lahan, dan semangat masyarakat yang siap menyambut investasi besar. Mereka hanya butuh kepastian arah dan dukungan negara. Namun yang mereka terima selama puluhan tahun hanyalah janji dan studi tanpa aksi.
Di hadapan sejarah, ketakutan untuk bertindak akan tercatat sebagai dosa publik. Indonesia tidak kekurangan ahli, teknologi, atau modal. Yang hilang hanyalah keberanian politik. Dan keberanian itulah yang membedakan pemimpin visioner dari sekadar pengelola status quo.
Kita tidak bisa terus menyalahkan masa lalu. Setiap era punya alasan, tetapi alasan tidak bisa menambal jalan berlubang. Rakyat membutuhkan solusi, bukan nostalgia. Hilirisasi aspal Buton adalah jawaban yang sudah lama tersedia.
Bahkan dunia internasional kini melirik Buton sebagai cadangan aspal alam terbesar. Investor asing siap datang jika pemerintah menunjukkan komitmen. Namun anehnya, bangsa pemiliknya justru ragu. Apakah kita menunggu negara lain mengklaimnya sebagai milik bersama?
Setiap hari yang terbuang adalah kerugian ganda: hilangnya peluang ekonomi dan rapuhnya kedaulatan. Jalan-jalan kita terus menjerit karena tambal sulam aspal impor yang mahal. Sementara emas hitam Buton tetap terkunci di perut bumi. Ini bukan hanya kebijakan lemah, tetapi pengkhianatan terhadap anugerah Allah.
Solusinya jelas: keluarkan Keppres Swasembada Aspal 2030. Bentuk badan khusus hilirisasi dengan mandat penuh. Dorong kemitraan antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta nasional. Dan jadikan Pulau Buton pusat riset dan industri aspal dunia.
Dengan langkah itu, Indonesia akan menghemat triliunan rupiah setiap tahun. Kedaulatan infrastruktur menjadi nyata, bukan lagi retorika. Rakyat merasakan manfaat langsung melalui jalan yang lebih tahan lama dan lapangan kerja baru. Dan dunia akan mencatat Indonesia sebagai pemimpin, bukan pengekor.
Jika keputusan ini diambil, aspal Buton akan tercatat sebagai berkah yang mensejahterakan generasi. Namun jika dibiarkan, ia akan menjadi kutukan yang sangat memalukan. Sejarah menunggu jawaban: apakah kita bangsa yang berani menjemput takdirnya? Atau bangsa yang rela kehilangan kedaulatan demi kenyamanan impor aspal?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI