Pertandingan terhenti, karena Marwan dan Joni tengah baku hantam di lapangan. Dan aku hanya dapat menghela nafas, kemudian melangkah pulang.Â
Kami tetap menang, meskipun pertandingan tidak dilanjutkan. Besok Marwan dan Joni pasti sudah baikan. Entah, kapan lagi kami bisa menang. Pikirku polos waktu itu.Â
"Nek, Bapak mau pulang?"Â
Aku bertanya pada Nenek. Beliau tengah menuangkan air panas ke dalam termos. Dan bila termos sudah diisi, berarti bapak akan segera pulang.Â
Hanya bapak yang memerlukan air panas di rumah ini. Biasanya untuk menyeduh kopi atau teh hangat di malam hari. Menemaniku belajar seperti mandor.Â
Bila kutanya soal pelajaran, beliau hanya menjawab, "Kamu kan bisa lihat di buku!"Â
Sejak bayi, aku diasuh oleh Nenek. Bapak bekerja sebagai sopir truk. Dan ibu sudah lama pergi entah ke mana. Nenek pernah berkata, ibu bekerja di luar negeri dan belum bisa pulang.
Malam itu bapak datang membawa seikat rambutan. Beliau tidak pernah pulang ke rumah dengan tangan kosong. Selalu ada barang atau makanan sebagai oleh-oleh.Â
Kadang aku berpikir, apakah aku kangen bapak atau menunggu buah tangan yang dibawa.Â
Suatu ketika, aku bertanya pada bapak. Kenapa namaku Sugih, bukan Hasan atau David. Dan beliau berkata, "Nama adalah do'a. Dan di keluarga kita belum pernah ada yang jadi wong sugih."Â
Keesokan harinya, bapak mengantarku ke sekolah. Sembari mengayuh sepeda, beliau bertanya, "Nak, apa kamu sudah punya cita-cita?"Â
"Ada Pak, aku mau jadi kenek truk."Â