Bapak menghentikan sepeda dan menjewer pelan kupingku. Beliau berkata, "Bapakmu ini sopir! Cari cita-cita yang lebih dari sopir!"Â
Bapak terkekeh, saat kupeluk dari belakang sembari tertawa. Dan beliau kembali mengayuh sepeda. Mungkin anggapannya, aku tengah berkelakar. Namun, aku benar-benar ingin menjadi kenek truk.Â
Aku ingin menemani kemanapun bapak bekerja. Beliau sering bercerita, pengalaman bepergian mengantar barang ke kota-kota besar. Melewati berbagai hal menyenangkan bersama keneknya. Dan aku ingin merasakan pengalaman yang sama.
"Nak, sekolah itu penting. Namun yang lebih penting dari sekolah adalah kejujuran. Bila kamu tak jujur, semua yang kamu raih takkan akan ada gunanya."Â
Bapak berbicara padaku sepanjang jalan ke sekolah. Nasehat beliau seperti tak ada habisnya. Meski hanya sedikit nasehat yang kuingat. Namun hari itu sangatlah berkesan.Â
Hari itu, adalah hari terakhir kebersamaan kami. Sebuah kecelakaan telah merenggut bapak dariku. Masa suram meninggalkan bekas mendalam. Bahkan, aku tak pernah mau mengingat-ingat perihal kepergiannya.Â
Tiga puluh tahun setelah hari itu. Kini aku sudah tak punya cita-cita. Keinginan menjadi kenek truk sudah sirna. Dan berganti menjadi sebuah usaha untuk mewujudkan do'a bapak atas namaku. Meskipun belum sesuai dengan harapan.Â
Namun ada satu hal yang belum sempat aku ungkapkan. Betapa menjadi orang sugih yang jujur, tidak semudah diucapkan. Meski telah kucari jawabannya di dalam buku-buku.
Kadang kurasa hidup itu tak adil. Aku tidak punya kesempatan dan kehidupan yang lengkap seperti anak-anak lain. Dan memulai start dari titik yang lebih jauh dari orang lain.
Ku teguk kopi yang sudah mulai dingin. Dan teringat kembali kata-kata bapak, saat kami menonton pertandingan sepak bola.Â
Dalam sebuah permainan, keadilan hanya milik Wasit. Kita boleh saja protes, tapi tak boleh punya peluit.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian