Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Sebuah Cita-cita

11 Agustus 2021   12:11 Diperbarui: 11 Agustus 2021   22:24 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak melepaskan lampion (Foto: pixel2013 Via Pixabay)

Desir angin berhembus di sore yang teduh. Anak-anak bermain kelereng, lompat tali dan layang-layang. Di tanah lapang di tepi sawah. Masa kecil adalah masa paling indah. Masa penuh keceriaan dan sukacita.

Sore itu, kami menerima tantangan dari anak-anak desa tetangga untuk bermain sepak bola. Meskipun tak pernah menang melawan mereka. Namun kami tak pernah kalah semangat. 

Bapak pernah berkata, "Bermain itu untuk bersenang-senang. Bila sudah tidak menyenangkan, ya jangan main lagi."

Kami berkumpul di tengah lapangan untuk memilih kapten tim. Marwan dan Joni, berebut posisi itu sampai bertengkar. Namun teman-teman lain, malah memilihku sebagai pemimpin. 

"Papihku Kapten! Jadi aku yang cocok jadi Kapten!" Seru Joni, bersungut-sungut. 

Marwan yang tidak terima, memicingkan mata lalu berkata, "Eh, Ayahku Kolonel! Akulah yang lebih cocok jadi kapten!" 

Hingga bola diletakkan di tengah lapangan, mereka berdua masih saja bertengkar. Tim lawan sampai kebingungan. Bertanya-tanya, kapan bolanya mau ditendang. 

Aku malas menimpali ocehan mereka berdua, karena bapakku hanya sopir truk. Tetapi aku ingat, pada perlombaan tujuh belas Agustus tahun lalu. Bapak pernah bertugas sebagai pemimpin pertandingan sepak bola antar kelurahan. 

"Sudah jangan bertengkar! Bapakku Wasit!" 

Dari tengah lapangan, kutendang keras-keras bola ke depan. Dan tak disangka, sebuah gol bersarang di gawang lawan. Namun tak ada selebrasi. 

Pertandingan terhenti, karena Marwan dan Joni tengah baku hantam di lapangan. Dan aku hanya dapat menghela nafas, kemudian melangkah pulang. 

Kami tetap menang, meskipun pertandingan tidak dilanjutkan. Besok Marwan dan Joni pasti sudah baikan. Entah, kapan lagi kami bisa menang. Pikirku polos waktu itu. 

"Nek, Bapak mau pulang?" 

Aku bertanya pada Nenek. Beliau tengah menuangkan air panas ke dalam termos. Dan bila termos sudah diisi, berarti bapak akan segera pulang. 

Hanya bapak yang memerlukan air panas di rumah ini. Biasanya untuk menyeduh kopi atau teh hangat di malam hari. Menemaniku belajar seperti mandor. 

Bila kutanya soal pelajaran, beliau hanya menjawab, "Kamu kan bisa lihat di buku!" 

Sejak bayi, aku diasuh oleh Nenek. Bapak bekerja sebagai sopir truk. Dan ibu sudah lama pergi entah ke mana. Nenek pernah berkata, ibu bekerja di luar negeri dan belum bisa pulang.

Malam itu bapak datang membawa seikat rambutan. Beliau tidak pernah pulang ke rumah dengan tangan kosong. Selalu ada barang atau makanan sebagai oleh-oleh. 

Kadang aku berpikir, apakah aku kangen bapak atau menunggu buah tangan yang dibawa. 

Suatu ketika, aku bertanya pada bapak. Kenapa namaku Sugih, bukan Hasan atau David. Dan beliau berkata, "Nama adalah do'a. Dan di keluarga kita belum pernah ada yang jadi wong sugih." 

Keesokan harinya, bapak mengantarku ke sekolah. Sembari mengayuh sepeda, beliau bertanya, "Nak, apa kamu sudah punya cita-cita?" 

"Ada Pak, aku mau jadi kenek truk." 

Bapak menghentikan sepeda dan menjewer pelan kupingku. Beliau berkata, "Bapakmu ini sopir! Cari cita-cita yang lebih dari sopir!" 

Bapak terkekeh, saat kupeluk dari belakang sembari tertawa. Dan beliau kembali mengayuh sepeda. Mungkin anggapannya, aku tengah berkelakar. Namun, aku benar-benar ingin menjadi kenek truk. 

Aku ingin menemani kemanapun bapak bekerja. Beliau sering bercerita, pengalaman bepergian mengantar barang ke kota-kota besar. Melewati berbagai hal menyenangkan bersama keneknya. Dan aku ingin merasakan pengalaman yang sama.

"Nak, sekolah itu penting. Namun yang lebih penting dari sekolah adalah kejujuran. Bila kamu tak jujur, semua yang kamu raih takkan akan ada gunanya." 

Bapak berbicara padaku sepanjang jalan ke sekolah. Nasehat beliau seperti tak ada habisnya. Meski hanya sedikit nasehat yang kuingat. Namun hari itu sangatlah berkesan. 

Hari itu, adalah hari terakhir kebersamaan kami. Sebuah kecelakaan telah merenggut bapak dariku. Masa suram meninggalkan bekas mendalam. Bahkan, aku tak pernah mau mengingat-ingat perihal kepergiannya. 

Tiga puluh tahun setelah hari itu. Kini aku sudah tak punya cita-cita. Keinginan menjadi kenek truk sudah sirna. Dan berganti menjadi sebuah usaha untuk mewujudkan do'a bapak atas namaku. Meskipun belum sesuai dengan harapan. 

Namun ada satu hal yang belum sempat aku ungkapkan. Betapa menjadi orang sugih yang jujur, tidak semudah diucapkan. Meski telah kucari jawabannya di dalam buku-buku.

Kadang kurasa hidup itu tak adil. Aku tidak punya kesempatan dan kehidupan yang lengkap seperti anak-anak lain. Dan memulai start dari titik yang lebih jauh dari orang lain.

Ku teguk kopi yang sudah mulai dingin. Dan teringat kembali kata-kata bapak, saat kami menonton pertandingan sepak bola. 

Dalam sebuah permainan, keadilan hanya milik Wasit. Kita boleh saja protes, tapi tak boleh punya peluit.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun