Mbah Tedjo sejenak berpikir, kemudian mantap menjawab, "tiga juta rupiah!"Â
Samijan menggaruk kepala, sembari mengusap-usap kuping. Bukan karena nada suara Mbah Tedjo, yang memang selalu berteriak. Namun harga yang diminta kakek tua ini, sudah di luar kemampuan.Â
Ia tahu betul, nasib miris yang dialami Mbah Tedjo. Veteran perang yang terlupakan. Hidup sebatang kara dan serba kekurangan.
Dan baru tahun ini ia mendengar, Mbah Tedjo mau berkurban kambing. Setelah harta dan masa muda ia korbankan untuk negara.Â
"Mbah tinggalkan saja dulu. Nanti kalau ada yang beli, kuantar uangnya ke rumah."
Mbah Tedjo kembali mengayuh sepeda tua pulang ke rumah, setelah memberikan arloji tua miliknya. Menyerahkan kepercayaan dan harapan pada Samijan. Berdo'a agar hari ini arloji satu-satunya itu dapat laku terjual.Â
"Mas, ini harganya berapa?"Â
Matahari terik bersinar, tepat di atas kepala. Dan pertanyaan gadis muda yang hendak membeli barang, terdengar sejuk di telinga. Samijan melihat timbangan badan yang disentuh sang gadis. Menatap barang bekas itu dan seolah berhitung.Â
"Tiga puluh ribu saja, Mbak," jawabnya.Â
Timbangan badan itupun dicoba oleh sang gadis, dan dia berkata, "apa ada yang sudah rusak, Mas? Ini masih bagus."
Samijan terheran-heran mendengar permintaan gadis itu. Biasanya, pembeli datang mencari barang bekas yang masih berfungsi. Baru kali ini ia mendengar, ada pembeli yang menginginkan barang rusak.Â
Karena tak mau mengecewakan pembeli, ia akhirnya mengambil timbangan badan yang sudah rusak. Timbangan badan bekas, dengan jarum yang tak bergerak dari angka empat puluh.Â