"Nah, cocok!" seru Sang Gadis.Â
Timbangan badan laku terjual. Sang gadis dengan raut wajah gembira, berjalan keluar dari Pasar Maling. Ia menenteng barang sambil bersenandung. Lega dalam hatinya.Â
Di Idul Adha kali ini, ia berharap tak ada lagi yang berkata miring tentang bentuk dan berat badannya. Bahan candaan musiman yang terkesan biasa. Namun baginya, acap kali menyakitkan. Karena selalu diejek dan disamakan dengan hewan kurban.Â
Foto dan video saat ia memakai barang itu, akan disebar ke media sosial. Dan berharap, tak ada lagi teman atau keluarga yang berpikir untuk melempar candaan menyakitkan.Â
"Mbah, nasibmu Mbah."Â
Desah nafas Samijan terdengar lirih. Ia menatap arloji tua zaman Jepang yang belum laku terjual.Â
Hari menjelang petang, dan lapak mulai sepi. Pembeli datang dan pergi. Namun belum ada pembeli kakap, yang mau menukar uang tiga juta rupiah untuk sebuah arloji tua.Â
Samijan pasrah dan bergegas menutup lapak. Ia berencana untuk mengembalikan arloji dan memberi uang sekedarnya untuk Mbah Tedjo. Mungkin tahun ini bukan rezeki bagi kakek bekas pejuang tersebut.Â
Di tengah perjalanan menuju rumah Mbah Tedjo, Samijan melihat Kang Dadang tengah berjalan menuntun kambing.Â
"Kang Dadang, mau kemana?" sapa Samijan.Â
Kang Dadang berhenti sejenak, melihat Samijan menghentikan laju motornya. Ia tak menjawab apapun. Hanya menunjuk sebuah nama yang tercantum di badan kambing.Â
"Kambing Mbah Tedjo?" tanya Samijan.Â