Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fatamorgana, Catatan Vania

25 November 2020   22:03 Diperbarui: 25 November 2020   22:09 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Pixabay

Malam ini aku tak bisa tidur Om, selalu saja kenangan itu hadir disaat aku mencoba memejamkan mata.

~ Vania

Selesai membaca sebuah cerpen berjudul "Saranghae, Oedipus Guido," aku sempat berpikir apa makna Oedipus dalam judul cerpen tersebut.

Oedipus Complex, ternyata sebuah istilah, untuk kecenderungan anak lelaki yang tertarik dengan lawan jenis yang berusia lebih tua atau setara ibunya.

Huft.. anak lelaki, syukurlah aku seorang anak perempuan, oh bukan, aku adalah wanita dewasa yang sedang bertumbuh dan sudah merayakan my sweet seventeen setahun lalu.

Berarti, kasih sayangku pada Om Teo bukanlah sebuah kelainan tentunya, sungguh aku lega mengetahui hal ini.

Sudah lama aku berpikir tentang hal ini, sejak terakhir kali aku bertemu dengan om Teo di akhir tahun lalu.

Ya, Akhir tahun lalu, dimana sebuah momen hadir dan akan selalu aku kenang sepanjang hidupku, momentum terbaik dari semua yang terbaik yang pernah ku rasakan.

Jakarta, 26 November 2019

"Vania, sarapan dulu sayang," panggil Mami Vero memecah pagi dengan suara indahnya.

"Iya Mami, sebentar," jawab Vania.

Vania yang baru saja menyelesaikan goresan lipstik pada bibir mungilnya, buru-buru memasukan alat make-up tersebut kedalam tas sekolahnya.

"Lagi apa, sayang?" Panggil Mami Vero kembali, beliau sudah selesai menghidangkan sarapan pagi itu.

"Iya, mami i'm comming," jawab Vania, seraya mencium pipi Mami Vero yang sudah menunggu dimeja makan.

"Vani, besok kamu mau kado apa sayang?" Tanya Mami Vero.

"Vania mau ayah baru, boleh mam?" Jawab Vania, seraya mengambil nasi dari atas meja makan.

"Ngaco ah," ucap Mami Vero pelan.

"Ini ambil, paha ayam spesial untuk anak mami yang cantik," lanjutnya, seraya memberikan sepotong paha ayam keatas piring Vania.

Vania yang menyadari bahwa sang ibu sedang tidak berselera bercanda atau membicarakan tentang sosok ayah, segera mencoba mencairkan suasana.

"Enak mam, kerasa banget rempah-rempahnya gitu," ucapnya, terlihat lahap sekali ia makan.

"Mami ikutin resep Mba Siti Nazar loh, temen arisan mami yang jago masak," jawab Mami Vero antusias.

Merekapun seperti biasanya melewati pagi dengan sarapan bersama, sambil membicarakan hal-hal seputar prestasi belajar Vania, atau hanya melepaskan candaan dan tawa.

"Mam, aku sayang mami," ucap Vania.

"Aku janji tak akan lagi bicara soal ayah, maaf almarhum ayah," lanjutnya.

"Sini" jawab Mama Vero pelan, iapun menarik tangan dan mencium kening anak gadisnya itu lalu memeluknya dengan erat.

Vania, adalah gadis ceria yang ramah dan suka bergaul dengan siapa saja, yang pasti ia terkenal pintar dan selalu juara kelas.

Sejak umur 3 tahun, ia tidak lagi dapat bertemu dengan ayahnya, sang ibu Mami Veronika tidak pernah menjelaskan kemana perginya sang ayah, meskipun terkadang memanggil sosok ayah dengan nama depan "almarhum".

Jika setiap berangkat sekolah, Vania diantar oleh ibunya maka saat pulang sekolah ia biasa dijemput oleh Om Teo atau nebeng dengan Alfian teman sekolah namun berbeda kelas.

"Vania cantik, Abang anter yuk!" Ujar Abdul teman sekelas, dengan genit menggoda Vania.

"Abang? abang bakso!" Ketus Vania.

"Ih Vania, gemesin kalau jutek gitu deh," ucap Abdul, kali ini genitnya makin menjadi-jadi.

"Najong ih, sini kalo mau yang lebih gemes," gumam Vania, seraya mengangkat kepalan tangannya kearah Abdul.

Alfian yang kebetulan melintas, menghampiri Vania dan mengusir Abdul yang usil.

"Dul, sana ah! Gangguin yayang Aa ajah!" Ucapnya.

"Huh," ketus Abdul, yang terlihat kecewa dan pergi meninggalkan mereka berdua didepan sekolah.

"Van, nungguin siapa?" Tanya Alfian

"Aku nungguin Om Teo, biasanya ga pernah telat," jawab Vania.

Alfian melihat sekeliling halte, memastikan tak ada seorangpun yang akan mengganggu Vania, lalu ia pun berkata, "kalau dia ga dateng, aku yang antar ya, tinggal miscall aja."

"Iyaaa, yantoo," jawab Vania.

"Udah ah sana, Om Teo galak loh," lanjutnya

Alfian pun memacu sepeda motornya dan berlalu, ia mengenal Vania sejak duduk di bangku SMP, sejak itu pula ia berteman cukup dekat, Vania pun memanggilnya Yanto, plesetan nama panjang Alfian yakni Alfianto.

Saking dekatnya, Alfian sering menjadi alasan Vania pada Mami Vero untuk bermain dengan teman-temannya ke mall atau pulang larut malam, padahal ia hanya singgah menitipkan tas dan buku-buku.

Tak lama, sebuah Camry hitam berhenti didepan Vania, menurunkan kaca jendela dan seseorang didalamnya yang bernama Om Teo, membuat Vania mengembangkan senyum.

"Hei, Vania nunggu lama ya," sapa Om Teo.

"Ngga Om, aku juga baru sampe," jawab Vania, setengah berbohong.

Vania diantar pulang oleh Om Teo, ia terbiasa menunggu dihalte depan sekolah atau janjian ditempat lain, sesuai waktu yang ditentukan Om Teo.

Om Teo adalah sahabat dari kedua orang tua Vania, ia mengenalnya sejak 7 tahun lalu, tepatnya pada ulang tahun Vania ke 10 dan sejak saat itu, kehadiran Om Teo terbiasa dirasakan oleh Vania.

"Bagaimana Mami kamu, sehat?" Tanya Om Teo.

"Mami, ya gitulah Om," jawab Vania singkat.

"Gimana belajarnya, lancar?" Tanya Om Teo kembali.

"Lancar Om, kaya jalan toll!" Canda Vania sambil tersenyum.

"Bagus, itu baru ponakan Om," ucap Om Teo.

Om Teo mengarahkan mobilnya pada sebuah mall, ia mulai memasuki parkiran dan kembali memulai pembicaraan.

"Kita makan siang dulu ya, mami kamu pasti masih lembur dikantor," ucapnya.

"Emang, Om kok bisa tahu?" Tanya Vania

Om Teo pun menjawab, "kamu belum lahir, Om sama mami papi kamu udah kenal dekat dan tahu kelakuannya, Van."

"Emang, Om kenal papi aku?" Tanya Vania.

Menyadari ucapannya salah, Om Teo pun mengalihkan pembicaraan dengan berkata, "makan dimana ya?"

Setelah makan, Om Teo mengantarkan Vania pulang dan pergi tanpa berniat untuk turun berkunjung kerumah Vania.

Beliau sepertinya segan bertemu dengan Mami Vero, entah apa yang menyebabkan itu terjadi, namun sejak Om Teo menikah diam-diam dengan Tante Sun, hubungan Mami Vero dan Om Teo terkesan agak renggang.

Malam itu, Vania meminta ijin kepada Mami Vero untuk belajar bersama dan pulang telat kerumah, padahal ia sebenarnya ada janji bertemu Om Teo.

Seperti biasa, Alfian yang ditumbalkan sebagai alasan, tentunya dengan menyebut nama Firda, Fira ataupun Luna.

Mami Vero mempercayai Vania, karena memang belajar bersama adalah kebiasaan anak gadisnya sejak kecil, itu terlihat dari prestasi belajarnya yang tak pernah mengecewakan.

Hingga, terlihat Alfian didepan pagar rumah Vania dan ia pun ditemui oleh Mami Vero.

"Tante, Vania ada?" Tanya Alfian dari depan pagar.

"Loh, lagi belajar bersama, tadi bilangnya," jawab Mami Vero, yang bingung melihat Alfian yang malah berkunjung ke rumahnya.

"Oh ini Tante, tasnya Vania," ucap Alfian, seraya menyerahkan tas merah muda milik Vania.

"Loh, ko bisa sama kamu tasnya," ucap Mami Vero bertambah bingung.

"Tadi titipin ke aku Tante, tapi besok aku sama keluarga mau berangkat ke Bandung," jawab Alfian.

"Takutnya besok Vania cari, aku tak ada di rumah," terang Alfian, seraya berlalu.

"Oh, iya makasih ya," tutup Mami Vero, beliau pun masih bertanya-tanya, kemana Vania sebenarnya.

Malam itu, Vania dan Om Teo bertemu disebuah cafe yang terletak disekitaran daerah Kemang.

"Apa ini, Om?," Senyum Vania berseri, saat menerima sebuah kado ulang tahun dari Om Teo.

"Buka aja, Van," ucap Om Teo.

"Terima kasih, Om," ucap Vania, seraya membuka kado tersebut.

Sebuah sepatu high heels merah jambu, ia pandangi dengan ceria, Vania pun berkata, "aku suka banget, Om."

Refleks Vania mencoba memeluk Om Teo, ia seakan lupa bahwa mereka sedang berada ditempat umum, terlebih Om Teo adalah orang tua.

"Ehh, malu," ucap Om Teo, seraya menahan tangan Vania.

"Kenapa, Om," keluh Vania.

"Kamu sekarang sudah gede, emang dulu Om peluk sambil diterbang-terbangin," jawabnya sambil terkekeh.

"Ah, Om," ketus Vania.

"Sini," ucap Om Teo, seraya mencium kening Vania.

"Aku sayang Om," ucap Vania, pelan.

Tiga kata itu cukup mengagetkan Om Teo, diapun terhenyak dan berpikir, apakah yang dilakukannya selama ini salah?.

Belum sempat Om Teo menjawab, handphone Vania berdering-dering dan membuatnya harus menunda jawaban atas pernyataan Vania.

"Vania, kamu dimana sih?" Tanya Mami Vero dari ujung telepon.

"Ini Alfian, anterin tas kamu ke rumah!" Seru Mami Vero menegaskan.

Vania yang menyadari bahwasanya Mami Vero menginginkannya pulang, maka ia pun menjawab, "iy..iya.. mami, Vania pulang sebentar lagi."

Kali ini Vania bergegas meninggalkan Om Teo, ia terlihat terburu-buru beranjak dan tak lupa membawa hadiah dari Om Teo.

"Om, besok jemput lagi Vania ya!," teriak Vania dari jauh.

"Iya siap, sampaikan salam Om buat mami," jawab Om Teo.

Vania akhirnya tiba dirumah, ia melihat Mami Vero dengan wajah yang sedih, matanya berkaca-kaca karena khawatir atas keselamatan Vania dimalam itu.

"Om Teo titip salam, mam," ucap Vania, berharap Mami Vero tak terlalu marah.

"Jadi, kamu pergi sama Om Teo?" Tanya Mami Vero, seperti tak percaya.

"Iya, sebentar aja ko," jawab Vania, seraya memeluk Mami Vero.

"Beliau ngasih aku kado dong, mam," lanjutnya, seraya memperlihatkan sepasang sepatu High heels merah jambu.

"Iya, sayang," jawab Mami Vero, ia pun menahan air matanya seraya menarik nafas dalam-dalam.

WhatsApp Chat

Teo, kamu tak usah lagi temui Vania

Kenapa?

Dia salah menilai kasih sayang kamu,Teo!

Salah bagaimana, kamu yang terlalu khawatir?

Aku ibunya, Teo!

Dan aku ayahnya, ayah biologisnya dan bukan Rudy!

Sudah Teo, cukup!

Veronika, aku hanya ingin dekat dengannya, hanya itu.

Untuk saat ini, tolong dengarkan aku!

Jauhi Vania, tolong Teo!

Baiklah!

Hari itu, Vania masih terpaku dihalte depan sekolah, menunggu Om Teo sudah cukup lama, ia pun berharap Alfian datang seperti Biasanya.

"Eh, Dul kemana Alfian?" Tanya Vania, yang melihat Abdul lewat begitu saja didepannya.

"Dih, masa ga tau?" Jawab Abdul

"Bilang aja Dul, kemana," ucap Vania menegaskan.

"Ya hayu, kemana kita?" Ucap Abdul, genit.

"Dul, belum pernah dilempar sepatu ya?" Seru Vania kesal.

"Alfian pergi ke Bandung, Van!" Jawab Abdul ketakutan.

"Ngapain?" Ucap Vania pendek.

"Dih, kan udah pindah sekolah juga," jelas Abdul.

"Oh, makasih Dul," ucap Vania dingin.

Melihat Vania yang tak seperti biasanya, kali ini Abdul tak berselera untuk menggoda, ia pun pergi begitu saja.

"Om Teo mana ya, kok WhatsApp cuma centang satu," tanya Vania dalam hati.

Ia masih berpikir tentang perasaannya pada Om Teo, dan apa yang dirasakannya apakah sama dengan apa yang dirasakan Om Teo selama ini.

Sebuah kisah cinta, kasih sayang biasa, ataukah hanya fatamorgana belaka?

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

(Indra Rahadian, 11/25/20)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun