Bayangan di Balik Kursi
Kota kecil bernama Mandalasari selama ini dikenal sebagai daerah yang penuh harapan. Sawah membentang luas, sungai mengalir jernih, dan masyarakat hidup dengan sederhana. Namun, di balik kehidupan yang tampak tenteram itu, tersimpan luka yang tak kunjung sembuh: korupsi yang merajalela.
Pusat perhatian masyarakat Mandalasari adalah Bupati Rahman. Sejak awal menjabat, ia menampilkan diri sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Senyumnya terpampang di setiap baliho, jabat tangannya hangat setiap kali menghadiri acara desa, dan pidatonya selalu manis di telinga. Ia pandai memainkan kata-kata hingga membuat orang percaya bahwa masa depan Mandalasari ada di tangannya.
Namun, kebenaran yang tersembunyi akhirnya muncul perlahan-lahan.
Kehidupan Bak Raja Kecil
Bupati Rahman tinggal di sebuah rumah megah yang orang-orang sebut istana kecil. Dari luar, bangunannya berdiri angkuh dengan pilar tinggi berlapis marmer, air mancur di halaman depan, dan garasi yang dipenuhi mobil mewah.
Bagi sebagian orang, rumah itu adalah simbol kesuksesan. Tetapi bagi yang lebih peka, rumah itu menjadi tanda tanya besar: dari mana datangnya harta sebanyak itu, sementara rakyatnya masih menjerit karena sawah tergenang banjir dan sekolah rusak berat?
Di dalam istana itu, Rahman hidup seperti seorang raja. Ia dikelilingi oleh pengusaha yang selalu mencari muka, pejabat bawahan yang siap tunduk, dan bahkan sekumpulan orang yang dijuluki "selir politik". Bukan selir dalam arti harfiah, melainkan orang-orang yang dengan sukarela menjual kesetiaan mereka demi proyek, jabatan, atau sekadar bagian kecil dari kue kekuasaan.
Rahman menikmatinya. Dalam pikirannya, ia adalah pusat dunia. Ia merasa berhak mengatur siapa yang mendapat keuntungan, siapa yang harus menunggu, dan siapa yang pantas dijatuhkan.
Luka yang Terabaikan
Sementara itu, masyarakat Mandalasari hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan.
Proyek pembangunan sekolah mangkrak, hanya menyisakan dinding setengah jadi yang dipenuhi coretan.
Jalan raya penuh lubang, membuat kendaraan kerap terguling.
Puskesmas kekurangan obat, hingga pasien terpaksa membeli sendiri dengan harga mahal.
Semua itu terjadi karena anggaran yang seharusnya turun ke desa justru menguap entah ke mana.
Di warung kopi pinggir jalan, keluhan rakyat menjadi bahan obrolan sehari-hari.
"Katanya ada dana miliaran buat jalan ini. Tapi kok tetap begini?"
"Entahlah. Yang jelas, yang kaya makin kaya, yang miskin ya makin sengsara."
Masyarakat marah, tetapi tak berdaya. Kekuasaan Rahman terlalu kuat, seolah kebal dari hukum.
Jurnalis Muda Bernama Mira
Di tengah keputusasaan itu, muncullah Mira, seorang jurnalis muda dari media lokal. Ia baru dua tahun bekerja, tetapi semangatnya membara. Baginya, menjadi jurnalis bukan sekadar menulis berita, melainkan memperjuangkan kebenaran.
Mira mulai mencium kejanggalan saat meliput rapat anggaran daerah. Ia melihat angka-angka fantastis yang dialokasikan untuk proyek infrastruktur, namun di lapangan hasilnya tak pernah tampak. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang salah.
Diam-diam, Mira melakukan investigasi. Ia mewawancarai kontraktor kecil yang kecewa karena proyek selalu dimonopoli kelompok tertentu. Ia mengumpulkan foto-foto gedung mangkrak. Hingga suatu hari, keberuntungan berpihak padanya: ia mendapatkan dokumen transfer mencurigakan dari seorang pegawai bank yang geram melihat rekening pejabat penuh dengan dana proyek.
"Kalau kamu berani, ungkapkan ini. Tapi hati-hati, mereka berkuasa," kata sang pegawai dengan wajah tegang.
Mira tahu risikonya besar, tapi ia tak mundur.
Pesta Rahasia
Investigasi Mira mencapai puncaknya ketika ia berhasil menyusup ke pesta rahasia yang digelar di vila milik seorang pengusaha besar. Di sana, ia melihat dengan mata kepala sendiri: pejabat daerah, pengusaha, dan bahkan kontraktor duduk satu meja, tertawa, dan bersulang di atas uang rakyat.
Yang lebih mengejutkan, ia melihat bagaimana Rahman diperlakukan bak seorang raja. Orang-orang berebut mendekat, menyuapinya dengan pujian, bahkan menawarkan berbagai hadiah. Pemandangan itu membuat Mira teringat pada cerita sejarah: seorang raja dengan para selir77 yang selalu mengelilinginya, bukan karena cinta, melainkan karena kepentingan.
Malam itu, Mira memotret segalanya dengan kamera kecil yang ia sembunyikan. Ia tahu, bukti ini bisa mengguncang Mandalasari.
Ledakan Kebenaran
Seminggu kemudian, artikel panjang Mira terbit dengan judul:
"Bayangan di Balik Kursi: Mengungkap Korupsi di Mandalasari."
Artikel itu viral. Foto-foto pesta mewah, dokumen transfer, serta kesaksian kontraktor terpampang jelas. Nama Rahman terpajang di halaman utama media nasional. Rakyat pun turun ke jalan, menuntut keadilan.
Kantor bupati dipenuhi spanduk:
"Kami lapar bukan karena malas, tapi karena uang kami dirampas!"
"Jangan jadikan rakyat selir kekuasaan!"
Suasana semakin panas. Akhirnya, Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan. Rahman ditangkap dengan tangan terborgol, wajahnya yang dulu selalu tersenyum kini tampak pucat.
Pengkhianatan Selir Kepentingan
Di ruang tahanan, Rahman menunggu sidang dengan hati kalut. Ia menoleh ke sekeliling, berharap masih ada orang yang menemaninya. Namun semua "selir kepentingan" yang dulu setia di sisinya sudah lenyap. Mereka yang dulu menjilat, kini berpura-pura tak kenal.
"Beginilah nasib raja tanpa kerajaan," gumam Rahman lirih.
Ia akhirnya sadar bahwa kekuasaan yang ia banggakan hanyalah fatamorgana. Semua pujian, semua kesetiaan, hanya semu. Pada akhirnya, ia sendirilah yang harus menanggung akibatnya.
Epilog: Suara Rakyat
Beberapa bulan setelah penangkapan Rahman, Mandalasari perlahan mulai bangkit. Pemerintah pusat menunjuk pejabat sementara, proyek terbengkalai mulai dilanjutkan, dan rakyat merasakan secercah harapan baru.
Mira, yang kini dipuji sebagai pahlawan muda, menolak gelar itu. Baginya, ia hanya melakukan tugas jurnalis: menuliskan kebenaran. Dalam catatan terakhir di bukunya, ia menulis:
"Korupsi adalah tirani yang modern, dan selirnya adalah orang-orang yang rela menjual nurani demi secuil keuntungan. Namun satu hal pasti: kebenaran, meski lama, akhirnya akan menemukan jalannya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI