Proyek pembangunan sekolah mangkrak, hanya menyisakan dinding setengah jadi yang dipenuhi coretan.
Jalan raya penuh lubang, membuat kendaraan kerap terguling.
Puskesmas kekurangan obat, hingga pasien terpaksa membeli sendiri dengan harga mahal.
Semua itu terjadi karena anggaran yang seharusnya turun ke desa justru menguap entah ke mana.
Di warung kopi pinggir jalan, keluhan rakyat menjadi bahan obrolan sehari-hari.
"Katanya ada dana miliaran buat jalan ini. Tapi kok tetap begini?"
"Entahlah. Yang jelas, yang kaya makin kaya, yang miskin ya makin sengsara."
Masyarakat marah, tetapi tak berdaya. Kekuasaan Rahman terlalu kuat, seolah kebal dari hukum.
Jurnalis Muda Bernama Mira
Di tengah keputusasaan itu, muncullah Mira, seorang jurnalis muda dari media lokal. Ia baru dua tahun bekerja, tetapi semangatnya membara. Baginya, menjadi jurnalis bukan sekadar menulis berita, melainkan memperjuangkan kebenaran.
Mira mulai mencium kejanggalan saat meliput rapat anggaran daerah. Ia melihat angka-angka fantastis yang dialokasikan untuk proyek infrastruktur, namun di lapangan hasilnya tak pernah tampak. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang salah.
Diam-diam, Mira melakukan investigasi. Ia mewawancarai kontraktor kecil yang kecewa karena proyek selalu dimonopoli kelompok tertentu. Ia mengumpulkan foto-foto gedung mangkrak. Hingga suatu hari, keberuntungan berpihak padanya: ia mendapatkan dokumen transfer mencurigakan dari seorang pegawai bank yang geram melihat rekening pejabat penuh dengan dana proyek.
"Kalau kamu berani, ungkapkan ini. Tapi hati-hati, mereka berkuasa," kata sang pegawai dengan wajah tegang.