Mohon tunggu...
Indira Isvandiary
Indira Isvandiary Mohon Tunggu... Freelancer

Instagram: @indiraisva

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Onte

30 September 2025   18:51 Diperbarui: 30 September 2025   22:13 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2016.

"Berarti enak ya, Bu, nikah sama orang Betawi. Punya tanah luas, bisa keisi beberapa rumah. Terus, kontrakannya juga berpintu-pintu. Kalo bosen sama rumah sendiri, tinggal pindah sesuka hati, gratis pula," kataku terkekeh.

Malam itu, aku sedang berbincang dengan Ibu, sekaligus mendiskusikan perihal giliran Eyang Putri menginap di rumah kami setelah sebelumnya di rumah Onte, tanteku. Mereka adalah keluarga dari pihak bapakku.

"Ya, nggak gitu juga, Ra," ujar Ibu lalu menyeruput susu hangatnya dari mug. "Tapi, Om kamu emang kaya banget, sih. Turun temurun."

Aku teringat beberapa rumah Onte yang telah kami singgahi, termasuk yang baru ini.

Saat pertama kali berkunjung ke sana, aku tak bisa mengira-ngira ukuran rumah Onte, tetapi itu lebih dari sekadar kata luas untuk ditempati sebuah keluarga yang hanya beranggotakan 7 orang. Onte dan Om memiliki lima anak, yang dua terakhirnya kala itu masih TK dan balita.

Kami sekeluarga turun dari mobil usai Bapak memarkirkannya di halaman. Pagar besar dan tinggi itu langsung ditutup oleh seorang pria, pekerja Onte. Sebagian cat putih pagar tersebut sudah mengelupas dan berkarat.

Tanah halaman ini dipasang batu conblock berbentuk segilima. Di sela-selanya tumbuh rerumputan tipis. Selain semak, di pinggiran halaman itu juga tersebar pot-pot tanaman beraneka ukuran, dan pohon-pohon yang menjulang tinggi.

Desir angin sesekali meniup dan menggoyangkan pepohonan, mengalahkan suara riuh kendaraan yang melintas di jalan raya depan rumah Onte---memberi kesan asri dan teduh, tetapi di sisi lain juga menciptakan suasana abnormal untuk ukuran rumah yang terletak di Timur kota Jakarta.

Pandanganku lalu tertuju pada rumah utama yang sejajar agak jauh dari gerbang. Sebenarnya tak ada yang salah, tetapi saat melihatnya terlalu lama, seperti ada sesuatu yang memandang balik dari jendela. Atmosfernya sepi, tetapi terasa berat seolah menekan dada. Sesak.

Onte bilang itu kosong, karena mereka bertujuh menempati rumah yang berada di sisi kiri rumah utama. Di halaman belakang ada rumah lagi, kosong juga.

"Ya ... pokoknya, kamu sama Rin beberes kamar, deh. Gimana caranya supaya kamar kalian yang kayak kapal pecah itu, layak ditempatin Eyang Putri," kata Ibu lagi lalu berdiri. "Ibu mau bersih-bersih terus tidur. Ngantuk. Titip cuciin gelas, ya."

"Hmm." Aku berdeham, malas karena harus rapi-rapi meja, ganti seprai, dan menurunkan beberapa bingkai foto yang tertempel di dinding kamar---Eyang paranoid sama gambar dan patung.

Bukannya tak suka Eyang menginap, tetapi rumah kami ini pas-pasan. Kamarnya hanya ada tiga. Pertama, ditempati orang tuaku. Kedua, punyaku dan Rin, adik perempuanku. Terakhir milik Fandy, adik laki-lakiku yang teritorinya sudah tak bisa diganggu.

Aku melamun sebentar, memikirkan keanehan ini. 

"Biasanya jangka waktu Eyang nginep tuh lama, lho. Di Pakde aja kemarin sampe 6 bulanan. Lah, kenapa di Onte cuman 2 minggu?"

Tak ada omongan Onte sekeluarga mau pergi atau apa pun yang menjadi alasan Eyang menginap di rumah mereka menjadi terlalu singkat.

***

Eyang Putri tiba tepat di akhir pekan. Tangannya selalu membawa payung tongkat, tak peduli sedang musim hujan atau kemarau, sekalian untuk menopangnya berjalan. Usia Eyang hampir kepala 8, tetapi masih segar bugar.

"Gimana kabarnya, cucu-cucu Eyang?" tanyanya tersenyum. Aku, Rin, dan Fandy menjawab seraya menyalami secara bergantian. Kami melepas rindu.

Malamnya, aku dan Rin mempersilakan Eyang masuk ke kamar kami yang jika kasur bawah sudah digelar nanti, maka tak bisa berjalan karena ada meja dan lemari pakaian menuju pintu, saking sempitnya. Tempat tidur ini single bertingkat. Aku bergabung dengan Rin di atas, sementara Eyang di bawah.

Lampu dimatikan. 

"Ra, Rin ...," panggil Eyang di antara kegelapan. 

"Iya, Eyang?" jawab kami bersamaan, pelan.

"Maaf ya, ngerepotin. Ra sama Rin bobonya jadi dempet-dempetan."

"Gak apa-apa, Eyang," jawabku.

"Abisan, kalo di rumah Onte, kamarnya di atas, capek naik-turun tangga. Sebenernya, di bawah juga ada kamar tamu."

Eyang tiba-tiba berhenti di saat gelombang penasaranku kian membuncah. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menyambung obrolan.

"Aku tahu kok kamar tamunya, gede banget kan, Eyang?" Aku ingat pernah mau sholat di sana, tetapi tak jadi dan akhirnya di kamar Onte.

"Iya, tapi ... di rumah Onte rame, Ra."

"Rame?"

"Tapi diem-diem aja, ya? Jangan kasih tahu Ibu sama Bapak. Rin, juga ya, jangan bilang-bilang?" ujar Eyang.

"Iya, Eyang." Adikku yang berbaring dekat tembok menyahut.

***

Eyang Putri lalu bercerita, di suatu siang yang sepi di ruang tengah, dirinya sedang menjaga Nufa dan Nufi, dua anak lelaki Onte yang paling kecil. Umur mereka memang tak jauh, makanya sering main bareng. Televisi sedang menyiarkan serial kartun si kembar dari Malaysia. Nufa dan Nufi menonton, tetapi sesekali juga bermain aneka mainan yang berhamburan di karpet yang mereka duduki. Sementara Eyang, duduk di sofa, memantau sambil menahan kantuk.

Eyang tanpa sadar ketiduran dalam posisi duduk. Kepalanya menunduk. Tak tahu berapa lama, tetapi sesaat kemudian kesadarannya separuh kembali. Telinganya kini mulai menangkap suara iklan di TV, tetapi tidak dengan suara Nufa dan Nufi. Matanya terbuka dikit. Pandangannya masih kabur. Hingga ....

Eyang melirik ke kiri, menangkap sebuah tangan pucat keriput dengan guratan urat menonjol berwarna hijau daun dan merah samar. Tangan itu berada di atas paha yang mengenakan rok kain jarik batik berwarna cokelat. Atasannya kebaya berwarna antara putih tulang atau memang putih kotor.

Sesosok nenek-nenek.

Tubuh Eyang kaku, padahal ingin beranjak. Bibirnya kelu, tak bisa berteriak. Matanya ingin terbelalak, tetapi tetap sayu tak berubah. Bola matanya masih tertuju pada tangan tua itu. Ketakutan, Eyang mulai membaca ayat Kursi dalam hati meski tak fokus. 

"Ssst ...."

Eyang terhenti di pertengahan ayat ketika sosok nenek tua itu mendekatkan wajahnya ke telinga Eyang yang masih tertunduk. Tangan tua itu bergerak, melingkari dan mencekik leher belakang Eyang. Eyang kaget, tetapi masih bisa bernapas. Namun, jantungnya berdegup dalam kelemahan.

"Yowis, aku lungo---ya udah, aku pergi," kata sosok itu dalam bahasa Jawa seraya melepas cekikannya.

Eyang masih membeku, memperhatikan sosok tua itu bangkit dari sofa, berjalan bungkuk dengan langkah pelan di depannya.

Seperti jerat tali yang terlepas, Eyang akhirnya bisa bergerak dan langsung membuka mata. Beliau menghela napas, istighfar sambil ngos-ngosan. Matanya melirik, tetapi sosok itu sudah menghilang.

Di momen lain, Eyang mendengar suara Nufa dan Nufi sedang lari-larian sambil tertawa.

"Eee, jangan lari-lari, jatuh nanti," tegur Eyang sambil menuang sayur ke piring bernasi.

Hening.

Ketika Eyang melangkah lambat meninggalkan dapur untuk menuju ruang tengah dan berniat makan di sana, suara tawa dan langkah kaki itu muncul lagi. Hingga tiba-tiba, Eyang berhenti saat melihat dua bocah berkulit pucat, berkepala plontos, dan bertelanjang dada melintas tepat di hadapannya. Mereka muncul dari kamar tamu, menyeberang ke arah yang padahal tembok.

Eyang untungnya tidak pingsan. Piring di tangannya saja yang bergetar. Nufa dan Nufi ternyata ada di kamar.

Eyang juga bercerita, ketika mereka akhirnya pindah ke rumah utama karena gangguan di rumah samping yang kian menggila. Mereka hendak pergi di suatu pagi, tetapi Onte kelupaan membawa bekal makanan yang sudah dia siapkan. 

Onte lalu turun dari mobil yang padahal sudah siap dijalankan oleh Om. Onte masuk lagi ke rumah. Namun, saat tangannya meraih rantang di meja makan, sesosok hitam tinggi besar sedang memperhatikannya dari dapur. Onte pura-pura tak lihat sambil mulai baca-baca doa dalam hatinya. Dengan langkah pelan dan tenang, dia beranjak pergi.

Merinding, aku lantas bertanya, "Oh, jadi Onte tahu kalo Eyang mau nginep di sini gara-gara di sana 'rame'?"

"Tau, Ra. Ini katanya mau diruqyah," kata Eyang. "Tapi Eyang dilarang cerita sama Onte. Cuman ya gimana, Eyang kepikiran terus."

***

Beberapa tahun kemudian, Eyang kembali menginap di rumahku setelah di rumah Pakde. Kemudian, saat sedang mengobrol berdua saja denganku di meja makan.

"Ra, Eyang kan nangis."

"Hah, nangis kenapa?!" tanyaku kaget.

"Sebenernya udah lama Eyang ngerasa pohon depan jendela kamar Eyang itu ada bayangan item, laki-laki. Suka muncul malem-malem. Suka liatin Eyang pas sholat tahajud. Eyang suruh Pakde tebang berkali-kali, tapi Bude nggak mau soalnya nanti rumah jadi panas."

"Ya ampun, jadi sekarang rumah Pakde?"

Eyang mengangguk.

***

[Tamat]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun