Seperti jerat tali yang terlepas, Eyang akhirnya bisa bergerak dan langsung membuka mata. Beliau menghela napas, istighfar sambil ngos-ngosan. Matanya melirik, tetapi sosok itu sudah menghilang.
Di momen lain, Eyang mendengar suara Nufa dan Nufi sedang lari-larian sambil tertawa.
"Eee, jangan lari-lari, jatuh nanti," tegur Eyang sambil menuang sayur ke piring bernasi.
Hening.
Ketika Eyang melangkah lambat meninggalkan dapur untuk menuju ruang tengah dan berniat makan di sana, suara tawa dan langkah kaki itu muncul lagi. Hingga tiba-tiba, Eyang berhenti saat melihat dua bocah berkulit pucat, berkepala plontos, dan bertelanjang dada melintas tepat di hadapannya. Mereka muncul dari kamar tamu, menyeberang ke arah yang padahal tembok.
Eyang untungnya tidak pingsan. Piring di tangannya saja yang bergetar. Nufa dan Nufi ternyata ada di kamar.
Eyang juga bercerita, ketika mereka akhirnya pindah ke rumah utama karena gangguan di rumah samping yang kian menggila. Mereka hendak pergi di suatu pagi, tetapi Onte kelupaan membawa bekal makanan yang sudah dia siapkan.Â
Onte lalu turun dari mobil yang padahal sudah siap dijalankan oleh Om. Onte masuk lagi ke rumah. Namun, saat tangannya meraih rantang di meja makan, sesosok hitam tinggi besar sedang memperhatikannya dari dapur. Onte pura-pura tak lihat sambil mulai baca-baca doa dalam hatinya. Dengan langkah pelan dan tenang, dia beranjak pergi.
Merinding, aku lantas bertanya, "Oh, jadi Onte tahu kalo Eyang mau nginep di sini gara-gara di sana 'rame'?"
"Tau, Ra. Ini katanya mau diruqyah," kata Eyang. "Tapi Eyang dilarang cerita sama Onte. Cuman ya gimana, Eyang kepikiran terus."
***