"Iya, Eyang." Adikku yang berbaring dekat tembok menyahut.
***
Eyang Putri lalu bercerita, di suatu siang yang sepi di ruang tengah, dirinya sedang menjaga Nufa dan Nufi, dua anak lelaki Onte yang paling kecil. Umur mereka memang tak jauh, makanya sering main bareng. Televisi sedang menyiarkan serial kartun si kembar dari Malaysia. Nufa dan Nufi menonton, tetapi sesekali juga bermain aneka mainan yang berhamburan di karpet yang mereka duduki. Sementara Eyang, duduk di sofa, memantau sambil menahan kantuk.
Eyang tanpa sadar ketiduran dalam posisi duduk. Kepalanya menunduk. Tak tahu berapa lama, tetapi sesaat kemudian kesadarannya separuh kembali. Telinganya kini mulai menangkap suara iklan di TV, tetapi tidak dengan suara Nufa dan Nufi. Matanya terbuka dikit. Pandangannya masih kabur. Hingga ....
Eyang melirik ke kiri, menangkap sebuah tangan pucat keriput dengan guratan urat menonjol berwarna hijau daun dan merah samar. Tangan itu berada di atas paha yang mengenakan rok kain jarik batik berwarna cokelat. Atasannya kebaya berwarna antara putih tulang atau memang putih kotor.
Sesosok nenek-nenek.
Tubuh Eyang kaku, padahal ingin beranjak. Bibirnya kelu, tak bisa berteriak. Matanya ingin terbelalak, tetapi tetap sayu tak berubah. Bola matanya masih tertuju pada tangan tua itu. Ketakutan, Eyang mulai membaca ayat Kursi dalam hati meski tak fokus.Â
"Ssst ...."
Eyang terhenti di pertengahan ayat ketika sosok nenek tua itu mendekatkan wajahnya ke telinga Eyang yang masih tertunduk. Tangan tua itu bergerak, melingkari dan mencekik leher belakang Eyang. Eyang kaget, tetapi masih bisa bernapas. Namun, jantungnya berdegup dalam kelemahan.
"Yowis, aku lungo---ya udah, aku pergi," kata sosok itu dalam bahasa Jawa seraya melepas cekikannya.
Eyang masih membeku, memperhatikan sosok tua itu bangkit dari sofa, berjalan bungkuk dengan langkah pelan di depannya.