Apabila tes ulang benar-benar digelar, pertanyaan mendasarnya adalah: akankah pendamping terus terjebak dalam bayangan kegagalan, atau justru mengarahkan fokus pada peluang tampil sebagai local leader—sebagaimana harapan Bapak Kaban BPSDM, Agustomi Masik?
Tes Ulang sebagai Ruang Pembuktian
Tes ulang, bila benar terjadi, bukan semata ujian administratif, tetapi bisa diperlakukan sebagai ruang pembuktian. Pendamping dapat menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang sudah diasah dari kerja lapangan: membangun komunikasi dengan perangkat desa, menggerakkan partisipasi warga, hingga melahirkan inovasi kecil.
Kemampuan sebagai local leader tidak muncul dalam semalam. Ia lahir dari pengalaman panjang menemani musyawarah desa, mengawal dana pembangunan, hingga membantu masyarakat menghadapi masalah sehari-hari. Tes ulang dapat menjadi cermin sejauh mana kapasitas itu berkembang.
Lebih jauh, persiapan menghadapi tes justru bisa menjadi momentum memperdalam kompetensi. Membaca ulang regulasi, menajamkan pemahaman tentang perencanaan desa, dan melatih kemampuan menulis laporan adalah bagian penting. Setiap langkah persiapan menjadi modal, baik hasil tes sesuai harapan maupun belum.
Red Car Theory memberi dorongan agar pendamping memandang tes ini sebagai peluang meneguhkan ketangguhan. Dengan fokus pada apa yang bisa disiapkan, pendamping tidak sekadar menunggu keputusan, tetapi aktif membangun nilai tambah dalam dirinya.
Maka, jika benar terjadi tes ulang, ia bukanlah akhir, melainkan salah satu pintu dari banyak jalan yang bisa terbuka. Pertanyaannya: apakah kita mampu memanfaatkannya untuk melangkah lebih kokoh?
Dari Cemas Menjadi Energi Baru
Akhirnya, jika benar tes ulang menjadi syarat perpanjangan kontrak, kuncinya adalah mengubah cemas menjadi energi. Red Car Theory membantu mengingatkan bahwa fokus pada potensi lebih bermanfaat daripada terjebak pada ketakutan.
Pendamping dapat melatih diri dengan langkah sederhana: menuliskan tiga hal positif setiap hari, melatih berbicara di forum desa, atau membuat catatan refleksi pengalaman mendampingi. Langkah kecil ini menjaga kesadaran tetap terarah pada peluang, bukan bayangan buruk.
Selain itu, penting membangun dukungan kolektif. Komunitas pendamping dapat menjadi ruang saling menguatkan, berbagi strategi menghadapi tes, dan mencegah terjebak dalam lingkaran keluhan. Energi kolektif akan menjaga semangat tetap terpelihara.
Tentu, fokus positif tidak boleh berarti menutup mata dari realitas. Kritik konstruktif terhadap sistem tetap penting, tetapi harus diiringi dengan persiapan matang. Pendamping desa bukan hanya menunggu birokrasi, tetapi juga aktor yang membangun ketangguhan bersama masyarakat.
Dengan keseimbangan itu, ketidakpastian kontrak tidak lagi harus melemahkan. Jika benar terjadi tes ulang, ia bisa menjadi alarm pengingat bahwa kapasitas harus terus ditajamkan. Dari cemas, lahirlah energi baru. Dari ketidakpastian, tumbuhlah ketangguhan.