Di rak paling bawah, di kamar yang tak terlalu besar, terselip sebuah buku dengan sampul lusuh: Yang Tak Pernah Selesai. Judulnya aneh, seperti ditulis oleh seseorang yang menyerah separuh jalan. Sampulnya krem, huruf-hurufnya sedikit memudar karena jari yang terlalu sering menyentuhnya tanpa dibaca.
Buku itu milik saya. Dibeli dua tahun lalu di kios buku bekas dekat terminal, di hari hujan yang membuat celana saya basah sampai lutut. Saat itu saya sedang patah hati---dan entah kenapa berpikir bahwa membeli buku bisa menyelamatkan.
Saya hanya membaca sampai halaman dua puluh tiga. Di sana, seorang tokoh sedang duduk di bangku taman, memandangi burung-burung yang tak pernah tinggal di satu tempat terlalu lama.Â
Lalu, entah mengapa, saya berhenti membaca. Bukan karena ceritanya jelek. Tapi karena saya merasa kalimat-kalimatnya terlalu dekat. Terlalu jujur.
Setiap kali saya ingin melanjutkan, ada saja yang mengalihkan. Kadang hanya karena lapar. Kadang karena saya takut melanjutkan---seolah buku itu tahu sesuatu yang belum siap saya hadapi. Maka ia pun teronggok begitu saja, di antara kabel charger, pulpen mati, dan debu yang tenang.
---
Suatu siang, tetangga saya, Mbak Yanti, datang meminta seutas teh celup. Ia melihat buku itu.
"Kamu baca ini?" tanyanya.
Saya mengangguk ragu.
"Bagus," katanya. "Saya suka yang begini. Diam-diam tajam."
Saya hanya tersenyum. Malamnya, saya ambil lagi buku itu. Saya buka halaman dua puluh tiga. Ada bekas lipatan kecil di sudutnya. Kalimat terakhir di halaman itu berbunyi:
"Kadang, orang tak berhenti membaca karena bosan, tapi karena takut menemukan dirinya sendiri di kalimat berikutnya."
Saya terdiam lama.
---
Beberapa minggu kemudian, Mbak Yanti pindah rumah. Kami tak pernah terlalu dekat, tapi saya merasa ada yang hilang dari tangga depan. Ia sempat meninggalkan secarik kertas di bawah pintu.
"Tamatkan bukumu. Dunia selalu berubah, tapi halaman dua puluh empat tetap menunggu."
Malam itu, saya akhirnya membaca lagi. Tak buru-buru. Saya membaca perlahan. Kadang ulangi satu kalimat dua kali. Sampai akhirnya, saya sadar: saya tak lagi sedang mencari akhir cerita, saya hanya sedang belajar menyambung diri saya yang sempat terselip... di antara halaman dua puluh tiga.
Tamat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI