Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis dan Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaarenim

Jurnalis dan Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaarenim

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Liburan Sekolah Tanpa Gedge : Mushola Kecil, Anak-Anak Besar

13 Juli 2025   00:00 Diperbarui: 12 Juli 2025   08:38 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Ustadz Imron Supriyadi (kiri) dan Ustad M Kahfil El Hakim sedang memberi matei pada "Pesantren Kilat Libur Sekolah" di Mushola Al-Istiqomah 

Ada mushola kecil di Keban Agung, Kec. Lawang Kidul, tepatnya di Komplek Perumahana Bara Lestari 2, Kabupaten Muara Enim. Luasnya hanya 10 x 10. Tapi malam itu, langit menjadi lebih lapang dari biasanya. Anak-anak SD dan SMP berkumpul. Bukan untuk main Free Fire, bukan juga untuk joget TikTok. Mereka bangun malam untuk tahajud. Duduk bersila belajar wudhu. Shalatnya pelan, terbata, tapi tulus.

Itulah Mushola Al-Istiqomah. Nama yang mungkin tidak viral. Tapi malam itu, ia lebih "istiqamah" dari semua trending topic yang lenyap dalam 24 jam.

Di tengah dunia yang penuh 'gedge', anak-anak ini memilih sajadah. Di antara malam-malam panjang yang biasanya habis untuk scroll dan tap, mereka justru memeluk sunyi dan dzikir. Panitia memberi nama kegiatan ini "Liburan Tanpa Gedge"---plesetan dari gadget, yang sepertinya lebih sakti dari guru ngaji dalam mengikat perhatian anak-anak hari ini.

Gedge yang Menggerus Jiwa

Saya kira bukan gadget-nya yang salah. Yang berbahaya adalah saat layar menjadi guru utama, dan iklan jadi kurikulum harian. Kita sedang tumbuh di zaman di mana orang tua kalah karisma dari YouTuber, dan guru ngaji kalah cepat dari algoritma.

Makanya kegiatan kecil ini penting. Bukan karena mushola itu besar, tapi karena niat di dalamnya lebih besar dari semua like dan share yang pernah saya lihat.

Foto : Jun Supriyadi, Ketua Mushola Al-Istiqomah (berdiri di depan/gamis putih) sedang memberi pengarahan (sumber : Dok.Al-Istiqomah)
Foto : Jun Supriyadi, Ketua Mushola Al-Istiqomah (berdiri di depan/gamis putih) sedang memberi pengarahan (sumber : Dok.Al-Istiqomah)

Pak Jun Supriyadi, Ketua Mushola itu, bilang dengan tenang, "Anak-anak sekarang lebih hafal level game daripada nama nabi." Kalimatnya sederhana. Tapi seperti kerikil yang dilempar ke cermin. Retaknya bukan di luar. Tapi di dalam hati kita sendiri yang terlalu sibuk menyalahkan anak-anak, padahal kita sendiri lupa menyiapkan dunia yang bisa mereka tinggali secara ruhani.

Scroll Diganti Sujud

Dua hari itu, mushola menjadi semacam pesantren mini. Shalatnya dilatih satu per satu oleh Ustadz Kahfi dari Ma'had Al-Fath Palembang. Bukan sekadar teori. Tapi mulai dari niat sampai salam. Dari ucapan sampai gerakan. Dari tubuh sampai ruh.

Malamnya, Ustadz Imron mendongeng. Tentang "Gajah dan Bulu Ayam." Kisah sederhana, tapi dalam. Tentang keseimbangan. Tentang bagaimana iman dan ilmu adalah dua sayap yang membuat manusia bisa terbang---bukan hanya tinggi, tapi juga benar arah.

Itulah pendidikan. Bukan sekadar ceramah panjang. Tapi kisah. Bukan sekadar hafalan. Tapi pengalaman. Karena yang membekas dalam jiwa bukan selalu apa yang dikatakan, tapi apa yang dirasakan bersama.

Mushola: Rumah yang Kita Lupa

Panitia tidak melarang teknologi. Mereka juga pakai HP, kadang update status. Tapi mereka sadar, hidup ini perlu jeda. Perlu sunyi. Perlu ruang yang tak dipenuhi notifikasi. Maka mushola kecil itu menjadi tempat pulang. Tempat yang tidak hanya sakral saat tarawih, tapi juga hangat saat liburan.

Foto : Peserta
Foto : Peserta "Pesantren Libur Sekolah" bertema : Liburan Tanpa Gedge di Mushola Al-Istiqomah Tg. Enim , 29-30 Juni 2025 (Sumber: Dok. Al-Istiqomah)

"Bukan anti teknologi," kata Pak Jun. "Kita hanya sedang menyelamatkan arah hidup mereka."

Kata-kata itu mengingatkan saya pada satu hal: bahwa mushola---atau masjid---harus kembali menjadi tempat tumbuhnya manusia. Bukan hanya tempat ritual. Tapi habitat spiritual. Tempat anak-anak merasa diterima. Merasa penting. Merasa dimanusiakan. Bukan hanya diomeli karena ribut, tapi juga diajak karena dicintai.

Ketika Air Mata Lebih Mahal dari WiFi

Subuh itu, anak-anak menangis. Bukan karena HP mereka disita. Tapi karena Ustadz Imron mengajak mereka bermuhasabah. Merenungi ibu yang kadang mereka abaikan. Ayah yang mereka anggap biasa saja. Mereka menangis dalam diam. Dalam doa. Dalam peluk sunyi yang lebih sakti dari ribuan emoji crying face.

Mereka pulang bukan hanya bawa snack dan hadiah. Tapi bawa pengalaman. Bawa ruh. Bawa makna. Sesuatu yang tidak akan mereka temukan di reels atau live streaming manapun.

Dan saya percaya, ketika seorang anak tahu perbedaan ruku dan sujud, tahu adab dan doa, tahu bagaimana bersyukur dan memohon---maka dia sudah punya bekal melampaui zaman.

Jejak di Mushola, Jejak di Hati

Apa yang terjadi di Mushola Al-Istiqomah itu bukan sekadar kegiatan. Ia adalah tanda. Bahwa masih ada orang tua dan guru ngaji yang memilih jalan sunyi. Jalan membangun manusia. Bukan hanya mencetak hafidz, tapi juga merawat hati. Bukan hanya membuat anak pandai, tapi juga membuat mereka peduli.

Jun Supriyadi ingin ini jadi tradisi. Bukan musiman. Bukan cuma ketika liburan. Tapi bulanan. Mingguan. Harian. Karena mushola tidak boleh lagi hanya jadi tempat shalat. Ia harus jadi rumah ruhani. Tempat bertumbuh, bukan hanya bersujud.

Hari itu, mushola kecil menjadi besar. Karena bukan ukurannya yang penting. Tapi karena di dalamnya ada cinta. Ada iman. Ada harapan.

Dan itu lebih dari cukup untuk melawan semua gedge di dunia.

Tanjung Enim, 30 Juni 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun