Malamnya, Ustadz Imron mendongeng. Tentang "Gajah dan Bulu Ayam." Kisah sederhana, tapi dalam. Tentang keseimbangan. Tentang bagaimana iman dan ilmu adalah dua sayap yang membuat manusia bisa terbang---bukan hanya tinggi, tapi juga benar arah.
Itulah pendidikan. Bukan sekadar ceramah panjang. Tapi kisah. Bukan sekadar hafalan. Tapi pengalaman. Karena yang membekas dalam jiwa bukan selalu apa yang dikatakan, tapi apa yang dirasakan bersama.
Mushola: Rumah yang Kita Lupa
Panitia tidak melarang teknologi. Mereka juga pakai HP, kadang update status. Tapi mereka sadar, hidup ini perlu jeda. Perlu sunyi. Perlu ruang yang tak dipenuhi notifikasi. Maka mushola kecil itu menjadi tempat pulang. Tempat yang tidak hanya sakral saat tarawih, tapi juga hangat saat liburan.
"Bukan anti teknologi," kata Pak Jun. "Kita hanya sedang menyelamatkan arah hidup mereka."
Kata-kata itu mengingatkan saya pada satu hal: bahwa mushola---atau masjid---harus kembali menjadi tempat tumbuhnya manusia. Bukan hanya tempat ritual. Tapi habitat spiritual. Tempat anak-anak merasa diterima. Merasa penting. Merasa dimanusiakan. Bukan hanya diomeli karena ribut, tapi juga diajak karena dicintai.
Ketika Air Mata Lebih Mahal dari WiFi
Subuh itu, anak-anak menangis. Bukan karena HP mereka disita. Tapi karena Ustadz Imron mengajak mereka bermuhasabah. Merenungi ibu yang kadang mereka abaikan. Ayah yang mereka anggap biasa saja. Mereka menangis dalam diam. Dalam doa. Dalam peluk sunyi yang lebih sakti dari ribuan emoji crying face.
Mereka pulang bukan hanya bawa snack dan hadiah. Tapi bawa pengalaman. Bawa ruh. Bawa makna. Sesuatu yang tidak akan mereka temukan di reels atau live streaming manapun.
Dan saya percaya, ketika seorang anak tahu perbedaan ruku dan sujud, tahu adab dan doa, tahu bagaimana bersyukur dan memohon---maka dia sudah punya bekal melampaui zaman.