Malam itu Marikan memandu acara dengan tenang. Bukan karena Marikan hebat, tapi karena ia merasa ditemani. Marikan merasa ada sosok penulis di belakangnya yang menyemangati lewat tiap paragraf. Marikan benar-benar merasa tak sendiri lagi di atas panggung.
Dan ketika acara selesai, Mang Mirsun mendekatinya dan berkata, "Tadi MC-nya bagus, Dik. Belajar dengan siapa? Bolehlah bagi-bagi ilmunya. Siapa tahu Mamang bisa seperti tadi," katanya merendah.
Dalam satu detik, Marikan berpikir buruk. Sebab---Mang Mirsun dikenal jago MC di kampung sebelah. Ia ingat pesan almarhum Kiai Abdul Salam---guru ngajinya di kampung ; pujian itu senjata paling ampuh untuk membunuh. Kalau kau dipuji masukkan dalam tong sampah. Tapi kalau kritik, masukkan dalam bokor emas.
Tapi, Marikan melihat rona Mang Mirsun tulus, malam itu. Cepat-cepat ia memutar otaknya, untuk tidak su-udzon. Pesan kiai Abdul Salam, tidak tepat diletakkan pada ujaran Mang Mirsun malam itu. Â
"Kok, jadi bengong?! Mang Mirsun heran, melihat Marikan yang menatap aneh. Detik berikutnya Marikan membalik energi negatif itu, membuangnya ke tong sampah. Syetan memang selalu punya pola sendiri menjebak setiap hamba Tuhan yang khilaf. Dalam sekejab, ia bisa mengubah pahala jadi dosa, atau pahala jadi kubangan sampah.Â
Marikan tersenyum. Ia mengajak Mang Karsun ke rumahnya. Marikan memberikan buku itu. "Mang, buku ini silakan dibaca. Tapi jangan buru-buru. Sebab, kata-kata itu seperti benih. Harus disemai, bukan dipaksa tumbuh," ujarnya, pelan.
Pekan berikutnya, Marikan baru tahu, ternyata buku ini dipakai di Sekolah Khatib dan Imam (SKIM) La Roiba Muaraenim.
Bagi Marikan, buku ini harusnya jadi buku rumah tangga. Seperti kitab Yasin atau kalender hijriah yang selalu ada di ruang tamu. Sebab di negeri yang setiap hari ada acara, setiap malam ada pengajian, dan setiap minggu ada tahlilan---kita semua, cepat atau lambat, akan dipanggil untuk bicara.
Dan ketika saat itu tiba, semoga kita punya kata. Bukan untuk memukau, tapi untuk menyinari. Sebab seperti yang ditulis KH. Taufik Hidayat di bagian akhir bukunya: "Setiap kata adalah cahaya. Tapi hanya jika ia ditanam dengan niat yang bersih, dan dirawat dengan adab." Dan itulah yang ingin ditanamkan Marikan hari ini. Kata yang menyala. Kata yang menyemai.**
Â
Muaraenim-Ponpes Laa Roiba, 16 Mei 2025