Suatu siang, Marikan mampir ke toko buku di kota. Toko kecil, tak lebih besar dari warung kopi biasa. Di rak agama yang mulai berdebu, Marikan menemukan buku : "Menyemai Cahaya Kata". Penulisnya KH. Taufik Hidayat, Pendiri dan Pemimpin Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim.
Nama itu, bagi Marikan tak asing. Sebab nama Kiai Taufik pernah ia dengar disebut-sebut di majelis kampung. Katanya, beliau itu dai kondang yang bisa bikin orang tertawa dan menangis dalam satu ceramah. Kalau khutbah tak pakai teks : tapi kalimatnya meresap di kalbu. Beliau  pakai rasa. Tapi bukan karena gaya stand-up comedy, melainkan karena kejujuran kata-katanya.
Marikan segera membeli buku itu. Dicium baunya (bau minyak sablon, seperti doa yang baru saja dicetak), lalu ia baca di mushola kecil di pinggir Terminal Lematang. Lima halaman pertama, Marikan tertawa. Sepuluh halaman kemudian, Marikan terdiam. Dua puluh halaman berlalu, Marikan seperti menemukan jalan pulang.
Bagi Marikan "Menyemai Cahaya Kata" bukan buku teori. Ia tak bicara soal "struktur pidato" atau "retorika Aristoteles". Ia bukan buku kuliah komunikasi. Ia adalah catatan hidup orang yang pernah grogi, pernah bingung, pernah diseret jadi MC tanpa aba-aba.
Tapi di tangan KH. Taufik Hidayat, semua itu tidak jadi keluhan, melainkan bekal. Ia menulis teks sambutan untuk acara yang paling sering terjadi di kampung: khitanan, pernikahan, haul, pengajian rutin, bahkan pembukaan lomba 17 Agustus. Ia menulis naskah khutbah yang bisa diucap oleh khatib pemula. Ia menulis panduan memimpin doa, lengkap dengan penekanan nada.
Tapi yang paling menggetarkan adalah semangatnya. Ia tidak menulis karena ingin tampil pintar. Ia menulis karena tahu banyak orang diam bukan karena bodoh, tapi karena takut salah. Banyak yang enggan bicara karena belum pernah dibekali. Buku ini seperti saudara tua yang berkata, "Tenang. Aku dulu juga begitu. Mari pelan-pelan."
Marikan mulai membacakan teks-teks dalam buku itu di depan kaca. Tak ada penonton. Hanya cermin dan dirinya. Tapi malam itu aneh. Marikan merasa sedang belajar sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar susunan kata. Marikan sedang belajar berani. Berani menjadi suara. Berani tidak sempurna. Berani bicara bukan karena ingin dihormati, tapi karena ada yang perlu disampaikan.
Lama-lama Marikan menyusun teks-nya sendiri. Ia tiru nadanya, dipelajari alurnya, ia pahami logikanya. Kadang Marikan memodifikasi. Ada kalanya ia tambahkan humor kampung yang hanya dipahami tukang parkir dan ibu warung nasi. Tapi selalu ada satu napas: bahwa setiap kata harus membawa terang, bukan sekadar bunyi.
Suatu sore, ketika langit menampakkan oranye seperti warna kain sajadah yang usang, Marikan kembali dipanggil: "Mas, tolong jadi MC malam ini, ya. Acara Maulid."
Tapi kali ini Marikan tersenyum. Ia sudah punya bekal. Marikan sudah punya catatan kecil dari buku yang ia baca. Rekaman dalam otaknya dibawa ke mana-mana. Nyaris,semua  "petuah" dari buku "Menyemai Cahaya Kata" tersimpan di alam bawah sadarnya.
Tata Shalat Fardu dan dzikirnya, doa-doa keseharian, tata cara mengurus jenazah, sambutan ringan, muqodimah dan contoh teks khutbah, MC dan kalimat pembuka yang tidak menegangkan. Marikan kali itu tak lagi gemetar.