Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis dan Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaarenim

Jurnalis dan Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaarenim

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyemai Cahaya Kata

7 Juni 2025   11:56 Diperbarui: 7 Juni 2025   11:56 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Cover Buku Menyemai Cahaya Kata (Sumber: PP. La Roiba)

Marikan tak pernah bercita-cita jadi siapa-siapa. Apalagi jadi MC. Apalagi jadi khatib. Imam? Jangankan jadi imam shalat, jadi imam jalan kaki di kampung saja Marikan kerap ditinggal di belakang.                                                                                            

Tapi kata Marikan, hidup itu suka bercanda, dan kadang Tuhan menyisipkan skenario yang tidak kita pilih---tapi kita harus jalani. Tak sesiapa bisa menolak hujan, ketika hujan sudah menyiram bumi. Maka begitulah kisah ini bermula: dari kentongan yang ditabuh malam-malam dan mulut Marikan yang kaku tak bisa mengucap salam.

Waktu itu, langit dusun belum belajar terang. Lampu-lampu minyak tergantung dari tiang bambu, dan malam berbisik lewat angin yang mengeluarkan bau tanah basah.

Marikan datang ke rumah duka sebagai pelayat, lengkap dengan sarung dan aroma minyak kayu putih yang masih menyengat di ujung baju koko. Belum lima menit Marikan duduk, Mang Junai menepuk bahunya.

"Tolong pimpin doa, ya," katanya sambil menyodorkan mikrofon yang lebih mirip batang sabu-sabu daripada alat suci.

Spontan, hati Marikan menciut. Mulutnya mengering. Jantung Marikan lari marathon. Bukan karena Marikan tak hafal doanya, tapi karena ia grogi. Grogi itu seperti setan yang halus sekali. Ia merayap di tengkuk, membuat tangan gemetar, dan kata-kata hilang entah ke mana. Padahal di rumah, hafalan lancar.

Tapi di depan orang banyak, suara sendiri pun terasa asing. Marikan ingat, waktu itu dia hanya mampu berucap, "Bismillahirrahmanirrahim," lalu diam. Orang-orang menyangka Marikan sedang khusyuk. Padahal dia sedang mencari napasnya sendiri, yang seketika berdegub tak beraturan.

Di kampung tempat Marikan tinggal, keahlian bicara bukanlah profesi. Ia adalah semacam "warisan moral" yang tiba-tiba bisa dititipkan ke pundak siapa pun yang kelihatan sedikit-sedikit bisa bicara.

Kamu pernah azan waktu kecil? Wah, kamu pasti bisa jadi MC pernikahan. Kamu sering ngaji? Waduh, cocok jadi khatib Jumat minggu depan. Lha wong dulu kamu waktu anak-anak tampil lomba MTQ? Berarti bisa dong ngisi sambutan pas acara pengajian RT? Beberapa orang mengingat rekam jejak Marikan di masa kecil, waktu masih di Madrasah Wathoniyah.

Sialnya, Marikan sering terlihat "sedikit bisa". Sedikit bisa ngaji, sedikit bisa ngomong, sedikit bisa duduk tenang. Maka sedikit demi sedikit, Marikan digiring untuk bicara di acara-acara yang tak pernah ia daftar. Dari tahlilan, pernikahan, buka puasa bersama, hingga pengajian haul. Marikan adalah MC dadakan. Khatib kepepet. Imam terdesak. Mubaligh ban serep.  Tapi hidup juga punya caranya sendiri untuk menolong orang yang nyaris tenggelam.

Suatu siang, Marikan mampir ke toko buku di kota. Toko kecil, tak lebih besar dari warung kopi biasa. Di rak agama yang mulai berdebu, Marikan menemukan buku : "Menyemai Cahaya Kata". Penulisnya KH. Taufik Hidayat, Pendiri dan Pemimpin Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim.

Nama itu, bagi Marikan tak asing. Sebab nama Kiai Taufik pernah ia dengar disebut-sebut di majelis kampung. Katanya, beliau itu dai kondang yang bisa bikin orang tertawa dan menangis dalam satu ceramah. Kalau khutbah tak pakai teks : tapi kalimatnya meresap di kalbu. Beliau  pakai rasa. Tapi bukan karena gaya stand-up comedy, melainkan karena kejujuran kata-katanya.

Marikan segera membeli buku itu. Dicium baunya (bau minyak sablon, seperti doa yang baru saja dicetak), lalu ia baca di mushola kecil di pinggir Terminal Lematang. Lima halaman pertama, Marikan tertawa. Sepuluh halaman kemudian, Marikan terdiam. Dua puluh halaman berlalu, Marikan seperti menemukan jalan pulang.

Bagi Marikan "Menyemai Cahaya Kata" bukan buku teori. Ia tak bicara soal "struktur pidato" atau "retorika Aristoteles". Ia bukan buku kuliah komunikasi. Ia adalah catatan hidup orang yang pernah grogi, pernah bingung, pernah diseret jadi MC tanpa aba-aba.

Tapi di tangan KH. Taufik Hidayat, semua itu tidak jadi keluhan, melainkan bekal. Ia menulis teks sambutan untuk acara yang paling sering terjadi di kampung: khitanan, pernikahan, haul, pengajian rutin, bahkan pembukaan lomba 17 Agustus. Ia menulis naskah khutbah yang bisa diucap oleh khatib pemula. Ia menulis panduan memimpin doa, lengkap dengan penekanan nada.

Tapi yang paling menggetarkan adalah semangatnya. Ia tidak menulis karena ingin tampil pintar. Ia menulis karena tahu banyak orang diam bukan karena bodoh, tapi karena takut salah. Banyak yang enggan bicara karena belum pernah dibekali. Buku ini seperti saudara tua yang berkata, "Tenang. Aku dulu juga begitu. Mari pelan-pelan."

Marikan mulai membacakan teks-teks dalam buku itu di depan kaca. Tak ada penonton. Hanya cermin dan dirinya. Tapi malam itu aneh. Marikan merasa sedang belajar sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar susunan kata. Marikan sedang belajar berani. Berani menjadi suara. Berani tidak sempurna. Berani bicara bukan karena ingin dihormati, tapi karena ada yang perlu disampaikan.

Lama-lama Marikan menyusun teks-nya sendiri. Ia tiru nadanya, dipelajari alurnya, ia pahami logikanya. Kadang Marikan memodifikasi. Ada kalanya ia tambahkan humor kampung yang hanya dipahami tukang parkir dan ibu warung nasi. Tapi selalu ada satu napas: bahwa setiap kata harus membawa terang, bukan sekadar bunyi.

Suatu sore, ketika langit menampakkan oranye seperti warna kain sajadah yang usang, Marikan kembali dipanggil: "Mas, tolong jadi MC malam ini, ya. Acara Maulid."

Tapi kali ini Marikan tersenyum. Ia sudah punya bekal. Marikan sudah punya catatan kecil dari buku yang ia baca. Rekaman dalam otaknya dibawa ke mana-mana. Nyaris,semua  "petuah" dari buku "Menyemai Cahaya Kata" tersimpan di alam bawah sadarnya.

Tata Shalat Fardu dan dzikirnya, doa-doa keseharian, tata cara mengurus jenazah, sambutan ringan, muqodimah dan contoh teks khutbah, MC dan kalimat pembuka yang tidak menegangkan. Marikan kali itu tak lagi gemetar.

Malam itu Marikan memandu acara dengan tenang. Bukan karena Marikan hebat, tapi karena ia merasa ditemani. Marikan merasa ada sosok penulis di belakangnya yang menyemangati lewat tiap paragraf. Marikan benar-benar merasa tak sendiri lagi di atas panggung.

Dan ketika acara selesai, Mang Mirsun mendekatinya dan berkata, "Tadi MC-nya bagus, Dik. Belajar dengan siapa? Bolehlah bagi-bagi ilmunya. Siapa tahu Mamang bisa seperti tadi," katanya merendah.

Dalam satu detik, Marikan berpikir buruk. Sebab---Mang Mirsun dikenal jago MC di kampung sebelah. Ia ingat pesan almarhum Kiai Abdul Salam---guru ngajinya di kampung ; pujian itu senjata paling ampuh untuk membunuh. Kalau kau dipuji masukkan dalam tong sampah. Tapi kalau kritik, masukkan dalam bokor emas.

Tapi, Marikan melihat rona Mang Mirsun tulus, malam itu. Cepat-cepat ia memutar otaknya, untuk tidak su-udzon. Pesan kiai Abdul Salam, tidak tepat diletakkan pada ujaran Mang Mirsun malam itu.  

"Kok, jadi bengong?! Mang Mirsun heran, melihat Marikan yang menatap aneh. Detik berikutnya Marikan membalik energi negatif itu, membuangnya ke tong sampah. Syetan memang selalu punya pola sendiri menjebak setiap hamba Tuhan yang khilaf. Dalam sekejab, ia bisa mengubah pahala jadi dosa, atau pahala jadi kubangan sampah. 

Marikan tersenyum. Ia mengajak Mang Karsun ke rumahnya. Marikan memberikan buku itu. "Mang, buku ini silakan dibaca. Tapi jangan buru-buru. Sebab, kata-kata itu seperti benih. Harus disemai, bukan dipaksa tumbuh," ujarnya, pelan.

Pekan berikutnya, Marikan baru tahu, ternyata buku ini dipakai di Sekolah Khatib dan Imam (SKIM) La Roiba Muaraenim.

Bagi Marikan, buku ini harusnya jadi buku rumah tangga. Seperti kitab Yasin atau kalender hijriah yang selalu ada di ruang tamu. Sebab di negeri yang setiap hari ada acara, setiap malam ada pengajian, dan setiap minggu ada tahlilan---kita semua, cepat atau lambat, akan dipanggil untuk bicara.

Dan ketika saat itu tiba, semoga kita punya kata. Bukan untuk memukau, tapi untuk menyinari. Sebab seperti yang ditulis KH. Taufik Hidayat di bagian akhir bukunya: "Setiap kata adalah cahaya. Tapi hanya jika ia ditanam dengan niat yang bersih, dan dirawat dengan adab." Dan itulah yang ingin ditanamkan Marikan hari ini. Kata yang menyala. Kata yang menyemai.**

 

Muaraenim-Ponpes Laa Roiba, 16 Mei 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun