Mohon tunggu...
Humaniora

Kasus Mirna dan Investigasinya - The Trial (Continued - Part 3) - Observation and Theory Progressing

8 September 2016   13:29 Diperbarui: 8 September 2016   13:42 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“We approached the case, you remember, with an absolutely blank mind,which is always an advantage. We had formed no theories- We weresimply there to observe and to draw inferences from our observations” 

“Still,it is an error to argue in front of your data. You find yourself insensibly twisting them around to fit your theories“ (Selengkapnya)

Selamat Siang,

Tulisan kali ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya (Part 2), sampai ke sidang lanjutan yang baru saja kita ikuti kemarin (2016-09-07).

Penulis sengaja memulai-nya dengan quote yang sama yang sudah pernah digunakan sebelumnya, karena menurut hemat penulis - mungkin pembaca juga sependapat - apa yang terjadi dalam sidang kemarin (2016-09-07), kita melihat betapa kuatnya usaha untuk menarik statement dari Saksi Ahli (yang ternyata memiliki keahlian sebagai Pathology Forensic dan juga sebagai Toxicology Forensic) untuk memberikan statement yang twisting the fact.

Semenjak tulisan Part 2, ada beberapa sidang yang tercatat:

- Sidang dengan menghadirkan Saksi Ahli Kriminologi Prof Ronny (Sumber) dan Saksi Ahli Psikologis Sosial Dr Sarlito (Sumber

- Sidang dengan menghadirkan Saksi Ahli Kedokteran Forensic, Prof Beng Beng Ong dari Australia (Sumber)

- Sidang yang terakhir diikuti, menghadirkan saksi fakta 2 orang tamu di Kafe Olivier yang duduk didekat meja 54 (Pak Hartanto Sukmono dan Pak Saiful); dan menghadirkan seorang Saksi Ahli Pathology Forensic yang juga Ahli Toxicology Forensic Dr. Djaja Surja Atmadja (Sumber)

Berikut catatan dan komentar penulis:

Mengenai Saksi Ahli Kriminologi UI dan Saksi Ahli Psikologis Sosial

Sebenarnya, penulis sangat menyayangkan kenapa keberadaan seorang Saksi Ahli Kriminologi dan Saksi Ahli Psikologi tidak dilibatkan untuk bersinergi dengan penyidik.

Menurut hemat Penulis, seorang Ahli Kriminologi dan Ahli Psikologi seharusnya bersinergi dengan penyidik dalam hal mencari barang bukti yg solid.

Kalau kita perhatikan baik dalam serial TV ataupun dalam dokumentasi kasus kriminal yang bisa kita lihat di Youtube, fungsi penting seorang Ahli Kriminologi ataupun Ahli Psikologi adalah "mengenal" dan "menggali" dari keterangan saksi maupun tersangka untuk bisa mendapatkan barang bukti.

Contoh dalam Serial TV, Karakter Sherlock Holmes (baik dalam "Sherlock" ataupun "Elementary") bisa mengetahui kalau seseorang berbohong akan sesuatu topik atau statement .. tapi itu digunakan untuk menggali dari saksi maupun tersangka, untuk mendapatkan barang bukti (evidence) dan motif kejahatan yang dilakukan. Atau bagi yang pernah mengikuti "The Mentalist", Patrick Jane menggunakan kemampuan yang sama untuk mengetahui karakter seseorang, mendeteksi kebohongan, tapi tidak semata-mata menyajikan itu sebagai bukti untuk persidangan; Patrick Jane berusaha mendapatkan pengakuan (confession) dari saksi atau tersangka atas kejahatan yang dilakukan.

Dalam dokumentasi kriminal yang benar-benar terjadi, contoh kasus stacey castor (Youtube) bisa kita lihat bagaimana penyidik mendapati keterangan tersangka (stacey castor) mencurigakan dan menggunakan itu untuk mendapatkan evidence yang nyata atau solid; yang bisa digunakan dalam persidangan.

Jadi, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada kedua Saksi Ahli terakhir yang disajikan oleh JPU, keAhlian mereka tidak digunakan pada tempat yang semestinya; semestinya Keahlian kedua pakar ini digunakan saat dalam proses penyidikan untuk menghadirkan barang bukti yang solid.

Perlu diperhatikan bahwa rekaman CCTV adalah sebuah barang bukti ... tapi ini bukti yang sangat lemah karena meskipun terlihat jelas terdakwa memasukkan sesuatu kedalam VIC tersebut, harus bisa dibuktikan bahwa yang dimasukkan itu adalah sianida.

Juga, dari keterangan saksi-saksi dan rekaman yang ada, perubahan warna pada minuman VIC tersebut tidak pernah berubah saat terdakwa masih duduk sendirian di meja 54 tersebut.

Justru perubahan warna pada minuman VIC tampak saat mereka bertiga (Korban, Terdakwa, dan Teman Mereka) sudah duduk bersama-sama di Meja 54 tersebut.

Keterangan Saksi Fakta Pak Hartanto dan Pak Saiful - Tamu di Kafe Olivier pada saat kejadian

Kedua Saksi Fakta ini disajikan di persidangan karena mereka berdua adalah tamu Kafe Olivier yang berada di dekat Meja 54 pada hari kejadian tersebut untuk memberikan kesaksian mereka atas apa yang terjadi dan yang mereka amati.

Kedua saksi ini menarik bagi penulis karena kedua saksi ini menunjukkan bahwa keterangan saksi (saksi fakta) adalah suatu keterangan yang bisa menjadi suatu sebab penyimpangan. Kenapa demikian? Karena keterangan saksi itu sangat mudah berubah, dibawah tekanan, dan kalau rentang waktu antara kejadian (pengalaman) dan recalling-the-memory itu semakin jauh.

Tapi ada beberapa hal yang Saksi yakin dan penulis temukan menarik:

- Saksi merasa "terganggu" karena Terdakwa yang duduk di meja dekat mereka, berbicara dengan cukup keras saat bercakap-cakap menggunakan telepon.

- Saksi melihat bahwa Korban tampak telentang kebelakang (collapsed) tapi TIDAK kejang-kejang (convulsion)

Kenapa ini menarik? Karena secara alami, seseorang akan lebih ingat akan sesuatu yang terjadi disekitarnya kalau kejadian tersebut "tidak sewajarnya". 

Kalau seseorang yang berada dilokasi dengan sangat yakin menyatakan bahwa mengalami kejadian tersebut, maka ini bisa menjadi dasar untuk mempertanyakan ke-akurat-an CCTV tersebut yang tampaknya tidak memiliki "adegan" atau "kejadian" tersebut.

Lalu fakta kedua bahwa Korban tampak tak sadarkan diri (collapsed) tapi tidak kejang-kejang (no convulsion) adalah menarik karena manifestasi keracunan sianida salah satunya adalah kejang-kejang.

Lalu kalau Korban tidak kejang-kejang, bagaimana?

Keterangan Saksi Ahli Kedokteran Forensik (Prof Dr Beng Beng Ong) dan Saksi Ahli Patologi Forensik - Toksikologi Forensik (Dr Djaja Surja Atmadja)

Penulis memilih menulis tentang kedua Saksi Ahli ini dalam satu bagian yang sama untuk memudahkan penulisan semata.

Pertama-tama, penulis ingin mengajak kita semua menelaah, apa sih "keracunan" itu?

Menurut pemahaman penulis, "keracunan" itu tidak semata-mata karena masuknya bahan beracun kedalam tubuh ataupun sekedar kontak dengan tubuh. Seperti yang kita ketahui, ada banyak bahan racun disekitar kita, baik yang sekedar kontak saja, maupun sampai yang masuk kedalam tubuh.

Secara alami pun, ada makanan-makanan yang mengandung sianida (bahan beracun) alami dalam diet kita; baik itu apel, singkong, dll; ada juga dalam kebiasaan kita seperti Rokok, paparan asap pembakaran.

Lalu kenapa kita baik-baik saja? ya itu, karena menurut keterangan Saksi Ahli Dr Djaja, tubuh manusia memiliki kemampuan alami untuk detoksifikasi, untuk menetralisir bahan beracun tersebut; tapi ya ada ambang batasnya.

Oleh karena itu, definisi "keracunan" tidak bisa sedangkal kontak bahan beracun dengan tubuh, ataupun masuknya bahan beracun tersebut kedalam tubuh; makanya definisi keracunan menurut hemat penulis adalah kontak atau masuknya bahan beracun kedalam tubuh dalam jumlah yang cukup besar sehingga tidak bisa dinetralisir secara cepat dan berdampak atas organ atau sistem tubuh yang menggagalkan fungsi organ atau sistem tubuh tersebut.

Atau mungkin yang resminya bisa dilihat disini.

Ini sejalan dengan argumen terakhir Saksi Ahli Dr Djaja dalam kasusu ini kepada Hakim Binsar bahwa seseorang tidak akan langsung mati saat racun masuk kedalam tubuh. seseorang akan mati kalau racun tersebut masuk kedalam tubuh, diserap kedalam sistem peredaran darah, sampai ke Organ-organ tubuh, dan menggagalkan kerja organ-organ tersebut. Oleh karena itu, Saksi Ahli mempertahankan logika dan fakta bahwa kalau benar seseorang meninggal karena meminum Sianida, harus ditemukan Sianida dalam jumlah banyak (lethal dose) didalam lambung, ditemukan Sianida dan Thiocyanate didalam Hati (Liver / Hepar) sebagai bukti bahwa Sianida tersebut sudah masuk dan dicoba dilawan oleh tubuh (tapi gagal karena jumlahnya banyak), ditemukannya Thiocyanate didalam darah dan Urine.

Penulis tidak mau berpikiran sempit bahwa logika "karena korban sudah keburu meninggal lah, makanya tidak ditemukan sianida dan Thiocyanate didalam hati, dan Urine" adalah kesalahan berpikir ... karena ini menunjukkan dimensi baru, dimana kalau mau dibantah bahwa Sianida 0.2mg/liter didalam lambung itu hasil proses alami tubuh (berarti 0.2mg/liter itu "sisa" sianida yg masuk kedalam tubuh) ... ini berarti sianida tersebut masuk saat proses-proses di Hepar/Hati sudah mati. Dengan kata lain, ada yang memasukkan sianida kedalam tubuh setelah korban meninggal.

Jadi dari sini, secara logika, dengan menjunjung tinggi hasi Puslabfor atas pemeriksaan toksikologi dimana tidak ada Sianida di BB IV (cairan lambung yang diambil di hari H jam 19:40WIB), tidak ada Sianida dan Thiocyanate didalam hati, tidak ada Sianida dan Thiocyanate didalam Urine, inferensinya berarti:

- Kalau kita terima 0.2mg/liter sianida dilambung itu adalah hasil alami jasad dalam proses pembusukan (ingat, pengawetan dengan formalin tidaklah menghentikan total proses pembusukan; itu hanya menghambat) maka Korban tidak pernah meminum Sianida.

ATAU

- Kalau kita bantah 0.2mg/liter sianida dilambung itu adalah hasil alami jasad dalam proses pembusukan, maka itu artinya, ada seseorang atau sesuatu yang memasukkan Sianida kedalam lambung setelah proses pencernaan lambung, proses dalam Liver/Hepar/Hati juga terhenti.

Definisi kecurigaan akan keracunan yang diberikan oleh Saksi Ahli dari Kuasa Hukum juga sesuai dengan keterangan Saksi Ahli dari Jaksa Penuntut Hukum dimana:

- perlu dicurigai kalau korban sebelumnya sehat.

- perlu dicurigai kalau korban memiliki kontak dengan bahan beracun tersebut.

- perlu dicurigai kalau ditemukan gejala yang bersesuaian dengan bahan beracun tersebut.

- perlu dicurigai kalau ditemukan bahan beracun yang sama didalam tubuh

Ini yang menjadi permasalahan menurut Saksi Ahli dari Kuasa Hukum karena tidak ditemukannya gejala dan bahan beracun tersebut.

Gejala dan Tanda Keracunan Sianida.

Meski Saksi Ahli Beng Beng Ong mengatakan bahwa gejala-nya bisa tampak bisa tidak, penulis lebih sependapat dengan keterangan Saksi Ahli Dr Djaja karena mempertimbangkan:

- Prof Dr Beng Beng Ong melakukan Otopsi 2500 kali; sementara Dr Djaja sudah melakukan otopsi sekurangnya 200ribu kali.

- Dr Djaja secara spesifik mendalami mengenai Sianida dan apa dampaknya terhadap tubuh yang bisa dilihat dari Mayat/Jenazah

Menurut Dr Djaja, tanda-tandanya khas dan harus/wajib ada pada Korban keracunan Sianida:

- Kulit berubah merah terang karena tingginya saturasi oksigen pada pembuluh vena (karena pernafasan pada tingkat sel / cellular level sudah dihentikan oleh Sianida) - ini berbeda dengan kondisi jenasah korban dimana menurut BAP oleh dokter Ahli Forensik yang melakukan otopsi, Jenazah Korban tampak pucat dengan kebiruan pada bibir dan jari2. Ini ditegaskan oleh Saksi Ahli bahwa ini adalah tanda-tanda Cyanosis pada Korban yang Tidak bisa bernafas.

- Bagian dalam lambung menjadi bengkak dan berwarna merah-terang (juga dampak dari terhentinya pernafasan pada tingkat sel yang sudah dihentikan oleh Sianida), dan dampak korosinya, kalau disentuh, adalah lembut seperti berlendir - ini berbeda dengan kondisi jenasah korban dimana menurut BAP oleh dokter Ahli Forensik yang melakukan otopsi, bagian dalam lambung korban yang dianggap mengalami kontak dengan Sianida justru tampak kehitaman.

- Tercium aroma Bitter Almond yang sebenarnya tidak semua orang bisa cium, tapi kalaupun seandainya tidak tercium oleh dokter yang menangani di UGD RS Abdi Waluyo maupun dokter yang melakukan Otopsi, dokter-dokter tersebut harusnya menunjukkan reaksi dan tanda-tanda seseorang yang terpapar gas sianida dari dalam tubuh korban - ini berbeda dengan fakta bahwa dokter UGD RS Abdi Waluyo tidak melaporkan adanya aroma Bitter Almond maupun menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka yang paling-dekat dengan Korban, terpapar gas Sianida dari dalam tubuh Korban. 

Ditambah, Dr Djaja ini yang melakukan embalming dan beliau juga melakukan observasi atas inisiatif dirinya sendiri karena melihat "kejanggalan prosedur":

Kematian Korban adalah TIDAK WAJAR, Kenapa Dokter UGD RS Abdi Waluyo sudah mengeluarkan Surat Kematian?

Dr Djaja beberapa kali (saat sebelum Embalming) mengedukasi dan mengingatkan kepada pihak kepolisian bahwa ini kematian tidak wajar dan seharusnya ditangani oleh kepolisian untuk diotopsi menyeluruh sebelum dilakukan embalming.

Beliau juga mengingatkan bahwa kalau setelah proses embalming dilakukan dan ternyata ingin ditindaklanjuti oleh kepolisian, maka otopsi setelah embalming tidak akan se-akurat sebelum embalming.

Oleh karena itu, meski keputusan akhirnya tetap menjalankan proses Embalming, Dr Djaja melakukan observasi sendiri sebelum melakukan proses embalming tersebut:

- Jenasah dilihat tampilan luarnya secara menyeluruh; tidak ada bercak warna merah terang.

- Dada/Ulu-Hati jenazah ditekan dan dari mulutnya dicoba dideteksi aroma bitter almond (Dr Djaja bisa mendeteksi); tidak ditemukan aroma bitter almond tersebut.

Visum Et Repertum

Penulis banyak belajar dari persidangan ini ... salah satunya adalah mengenai "siapa yang berhak dan ber-otoritas menentukan sebab kematian dalam kondisi dimana kematian tidak wajar"....ini adalah hak dan otoritas dari Ahli Kedokteran Forensik atau Ahli Patologi Forensik; bukan hak dan otoritas dari Ahli Toksikologi.

Oleh karena itu, kesimpulan didalam Visum Et Repertum yang diberikan di BAP, dikatakan sebab kematian masih menunggu hasil pemeriksaan toksikologi.

Setelah hasil pemeriksaan Toksikologi keluar, Dokter Forensik harus melanjutkan Visum-nya dan memberikan kesimpulan. 

Kalau kita lihat di sini (Youtube) menit 21:31 - 21:40 ... kesimpulan Visum Et Repertum yang dikeluarkan belum menyebutkan Sebab Kematian (padahal Dokter Forensik harus sampai kepada pernyataan "sebab kematian").

Hasil Lab Toksikologi sudah dikeluarkan, seharusnya Visum ini dilanjutkan.

Kalau dalam persidangan, JPU berkeras meminta agar Saksi Ahli "fokus" ... maka seharusnya kita semua juga fokus kepada yang semestinya.

Dari hasil pemeriksaan Lab Toksikologi, Dokter Forensik hanya akan fokus kepada hasil-hasil temuan yang melekat atau didalam Tubuh Korban. Ini Logis. Apapun yang ada diluar tubuh korban, boleh dicantumkan dalam hasil pemeriksaan, tetapi itu tidak berkaitan dengan sebab kematian (karena ini bukan kematian karena benturan atau trauma).

Oleh karena itu, hasil Lab Toksikologi yang perlu diperhatikan sebenarnya adalah:

- BB IV - sampel lambung yang di ambil di RS Abdi Waluyo pada hari H jam 19:40WIB >> ini hasilnya negatif Sianida dan pH = 6 (ini kita bahas nanti)

- Pemeriksaan lambung setelah embalming >> positif sianida dengan jumlah 0.2mg/liter; kalau tidak salah ingat, pH = 6 juga

- Pemeriksaan Hati >> negatif Sianida dan Thiocyanate

- Pemeriksaan Urine >> negatif Thiocyanate

Meskipun hasil pemeriksaan atas kopi (yang katanya berasal dari Kafe Olivier yang saat itu diminum Korban) menunjukkan Positif Sianida (7400-7900 mg/liter) dengan pH 13 ... ini berada diluar tubuh dan tidak ada kaitan erat dengan sebab kematian.

Dari hasil lab toksikologi tersebut, secara logika kita akan bisa menyimpulkan bahwa kematian korban tidak ada kaitannya dengan sianida; meski untuk visum resmi, sebab kematian yang pasti-nya belum bisa ditentukan oleh Dokter Forensik.

Yang terjadi menurut pengamatan penulis, Banyak kita yang twisting fact to suit theory ... ini kesalahan fatal.

Bukti Twisting Fact to Suit Theory ... banyak kita yang mengasumsikan bahwa Korban meminum Kopi bersianida karena Korban meninggal sementara Hani tidak.

Asumsi ini tidak boleh dilakukan karena kita sudah meniadakan sebab kematian yang lain

Dari hasil lab yang menunjukkan negatif-nya temuan sianida didalam tubuh korban, akhirnya dicoba "dijelaskan" kenapa tidak ada.

Ini sangat Absurd; bukannya berusaha mencari barang-bukti (sianida didalam tubuh korban), yang terjadi justru berusaha menerangkan kenapa tidak ada barang-bukti tersebut.

Ini sama saja saya memvonis anda menderita Kanker Stadium IV dengan menjelaskan kenapa tidak-ada tanda-tanda kanker stadium IV ditubuh anda. Logis?

OK lah kalau kita mau anggap bahwa Sianida tersebut menguap dsb dst; bagaimana dengan pH atau derajat keasaman?

pH ini menurut penulis jauh lebih "awet" karena senyawa asam, akan tetap asam kalau tidak di-encerkan atau dinetralisir oleh basa; sebaliknya, senyawa Basa akan tetap Basa tanpa diencerkan atau dinetralisir oleh asam.

Sianida, atau tepatnya Garam Sianida adalah Basa Kuat yang sangat Korosif.

Kalau dalam pH dimana rentangnya itu dari 1-14, pH 7 adalah Netral; dibawah 7 = asam; diatas 7 = basa.

Temuan Lab Toksikologi menunjukkan bahwa dalam Kopi tersebut pH-nya adalah 13 ... ini Basa sangat kuat; nyaris 14.

Kalau larutan basa 20ml tersebut benar-benar masuk terminum oleh Korban, maka pH dalam lambung tidak mungkin 6 (asam). Perlu diingat, kondisi alami didalam lambung adalah asam; jadi kalau kita mau katakan korban terkena dampak sesuatu, maka kondisi alami akan berubah. Dalam hal ini, Lambung yang alaminya adalah Asam, harus berubah menjadi Basa.

Nyatanya? Cairan dalam lambung tetap asam ... ini kondisi Normal. dan pH = 6  ini konsisten ditemukan didalam organ tubuh lain bahkan dalam Urine (kalau penulis tidak salah ingat).

Terlebih lagi, Saksi Ahli mengatakan bahwa reaksi selaput lunak yang terkena asam akan berbeda dengan yang terkena basa.

Asam itu bersifat mengikat air ... sehingga korosi karena asam kuat adalah kering dan seperti berkerak; ini sejalan dengan keterangan Dokter Ahli Forensik (Dr Slamet Purnomo) bahwa bagian dalam lambung Korban itu seperti terkelupas.

Basa kebalikannya, lambung korban akan tampak dan terasa berlendir sebagai dampak korosi dari Basa Kuat.

Bagaimana Dengan Teori yang ada? berubah?

Sampai ke persidangan kali ini, Penulis masih yakin bahwa teori penulis masih valid; justru mungkin menguat.

- Korban tidak mati karena keracunan sianida di Kafe Olivier.

- Korban mati dalam perjalanan dari Klinik di GI ke RS Abdi Waluyo.

Lalu ... apa yang menguat?

- Korban bisa jadi dibunuh dengan cara dibekap (dengan bantal??) dalam mobil dari Klinik GI ke RS Abdi Waluyo (konsisten dengan fakta bahwa Korban meninggal dengan bibir dan jari kebiruan).

- Terdakwa ini dijebak / framed-up - konsisten dengan jalannya penyidikan dan persidangan yang sudah meniadakan sebab kematian lain (menutup kemungkinan sebab kematian lain selain Sianida) dan usaha mengaitkan terdakwa dengan satu-satunya sebab-kematian yang dibangun dari asumsi bahwa korban meminum sianida dalam kopi yang memang lama dalam pengawasan terdakwa.

- munculnya bukti-bukti baru yang memang bisa jadi karena "tersadar" oleh orang-orang yang tidak mengerti penyidikan, tapi juga bisa diartikan (dan harus diwaspadai) sebagain "producing / manufacturing / planting evidence"

- usaha yang keras dalam menjelaskan ketiadaan barang-bukti untuk menegakkan satu-satunya sebab-kematian yang memang lebih gampang dikontrol untuk bisa dikaitkan dengan terdakwa.

Mari kita ikuti, lihat, dan belajar bersama-sama dari kelanjutan persidangan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun