Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

ADHD, Dopamin, dan Enam Bulan Api Kreatiditaf

12 September 2025   17:05 Diperbarui: 12 September 2025   12:15 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ADHD, Dopamin, dan Enam Bulan Api Kreativitas

Banyak orang terkejut ketika melihat tumpukan buku yang berhasil saya tulis dan terbitkan dalam waktu singkat. Mereka mengira saya "mesin tulis" yang tak kenal lelah. Faktanya, buku-buku itu bukan lahir dalam enam bulan. Itu adalah akumulasi bertahun-tahun tulisan yang tercecer di ponsel, komputer, bahkan kertas-kertas kecil yang nyaris terlupakan.

Bedanya, enam bulan terakhir hidup saya seperti "terbakar" penuh api kreativitas. Saya akhirnya punya keberanian, fokus, dan energi untuk menyusunnya. Apa pemicunya? Sebuah penemuan lama yang datang kembali: ADHD.

Saya sendiri didiagnosis disleksia dan ADHD sejak usia 9 tahun. Saat itu, sekolah menjadi medan tempur. Guru menganggap saya malas, teman mengejek saya bodoh, sementara orang tua bingung menghadapi anak yang tidak bisa diam dan sulit membaca.

Namun pengalaman seorang penulis luar negeri yang baru sadar dirinya ADHD di usia 49 tahun membuat saya merenung. Ia mengira mengalami gangguan serius, sampai akhirnya menemukan bahwa "otaknya hanya bekerja dengan cara yang berbeda."

Fenomena ini bukan hal langka. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2023) menyebutkan bahwa sekitar 9,8% anak di Amerika Serikat didiagnosis ADHD. Di Indonesia, angka pastinya belum terdata jelas, namun Kementerian Kesehatan memperkirakan prevalensi ADHD anak berkisar 5--7%. Banyak yang lolos dari diagnosis hingga dewasa, hidup dalam kebingungan, bahkan merasa "rusak."

ADHD bukan hanya soal sulit fokus. Dr. Russell Barkley, pakar ADHD dari Amerika, menjelaskan bahwa inti ADHD ada pada fungsi eksekutif otak kemampuan merencanakan, mengatur, dan mengendalikan diri. Salah satu kunci biologisnya ada pada dopamin, zat kimia otak yang berperan dalam motivasi dan penghargaan.

Orang dengan ADHD cenderung memiliki kadar dopamin yang lebih rendah atau berfluktuasi. Itulah sebabnya kami sering kesulitan mengerjakan hal-hal rutin, tetapi bisa hiperfokus saat menemukan sesuatu yang menarik. Bagi saya, itu adalah menulis. Begitu "klik," saya bisa menulis berjam-jam tanpa henti, seakan otak saya terbakar energi.

Saya merasakannya sendiri: ketika akhirnya menerima kondisi ADHD dan disleksia saya, justru lahirlah kejelasan. Tiba-tiba, tulisan-tulisan lama yang berantakan bisa saya susun, edit, dan terbitkan. 

Apakah mudah? Tidak. Masih ada hari-hari kacau, ketika pikiran melompat-lompat seperti bola liar. Namun, dengan kesadaran bahwa otak saya bekerja berbeda, saya belajar "berdamai" dengan pola pikir itu. Saya menggunakan strategi kecil menulis to-do list sederhana, membuat jadwal singkat, membagi pekerjaan besar menjadi potongan kecil.

Dan hasilnya, dalam enam bulan terakhir, lahirlah buku-buku yang sebelumnya hanya mimpi. tahun 2025 ini ada 10 buku diterbitkan oleh penerbit besar di indonesia. 

Kisah ini bukan hanya tentang saya. Ini tentang bagaimana kita, masyarakat, masih sering salah paham. Anak ADHD dianggap nakal, pembangkang, atau malas. Padahal, mereka hanya butuh cara belajar yang sesuai dengan "mesin otaknya."

Psikolog klinis Dr. Edward Hallowell, penulis Driven to Distraction, menyebut ADHD bukan sekadar gangguan, tetapi juga "gift" jika diarahkan dengan benar. Kreativitas, spontanitas, dan kemampuan berpikir di luar kotak adalah kekuatan besar yang lahir dari otak ADHD.

Saya merasakannya sendiri. Diagnosis di usia 9 tahun dulu sempat membuat saya merasa "berbeda." Tapi justru perbedaan itulah yang kini menjadi bensin api kreativitas saya.

ADHD bukan akhir, bukan pula kutukan. Ia bisa menjadi titik awal. Dengan pemahaman, dukungan, dan penerimaan, kita bisa menjadikan perbedaan itu sebagai kekuatan.

"Otakku sibuk sekali. Tapi justru di sanalah nyala api hidupku bermula."Imam Setiawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun