Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dekoding dan Disleksia

27 Maret 2025   09:34 Diperbarui: 27 Maret 2025   09:34 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dekoding dan Disleksia: Memahami Dunia dengan Cara Berbeda

Dunia ini penuh dengan simbol. Setiap hari, kita memecahkan kode-kode tanpa sadar mulai dari membaca tulisan di layar, memahami rambu lalu lintas, hingga menangkap makna dari ekspresi seseorang. Tapi, pernahkah kalian membayangkan jika semua simbol itu terasa asing dan sulit dimengerti? Itulah yang dirasakan oleh penyandang disleksia saat membaca. Huruf-huruf yang bagi kebanyakan orang terlihat jelas, bagi kami bisa berubah menjadi labirin yang membingungkan. Decoding, atau keterampilan memecahkan kode dalam membaca, adalah tantangan terbesar yang harus dihadapi setiap hari.

Sebagai seseorang dengan disleksia dan ADHD, membaca bukan sekadar aktivitas sederhana. Setiap kata terasa seperti teka-teki yang harus kususun ulang di kepalaku. Huruf-huruf bisa bertukar tempat, menghilang, atau bergerak seakan bermain-main denganku. Saat masih kecil, aku sering merasa tertinggal di kelas karena butuh waktu lebih lama untuk memahami sesuatu. Aku harus membaca ulang satu kalimat berkali-kali agar bisa benar-benar mengerti isinya. Bukan karena aku tidak mau belajar, tapi karena otakku memproses informasi dengan cara yang berbeda. Ditambah dengan ADHD, pikiranku sering melompat dari satu hal ke hal lain, membuatku kesulitan untuk fokus dalam waktu lama.

Dulu, aku menganggap diriku "kurang pintar" karena sering kesulitan memahami teks yang bagi teman-temanku tampak mudah. Aku takut dianggap bodoh, malas, atau tidak berusaha cukup keras. Bahkan, ada saat-saat ketika aku bertanya-tanya apakah aku memang ditakdirkan untuk selalu tertinggal. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami bahwa bukan kecerdasanku yang bermasalah, melainkan cara sistem pendidikan mengajarkan sesuatu. Sekolah sering kali hanya berfokus pada satu cara belajar, tanpa mempertimbangkan bahwa setiap anak memiliki cara unik dalam menyerap informasi.

Namun, perjalanan dengan disleksia dan ADHD tidak selalu penuh frustrasi. Seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa cara berpikirku yang unik juga memberikanku kelebihan. Aku lebih mudah memahami konsep melalui gambar dan pengalaman langsung. Imajinasi dan kreativitasku berkembang lebih luas karena otakku terbiasa mencari cara lain untuk memahami dunia. Meskipun lambat dalam membaca, aku justru cepat dalam menangkap pola dan berpikir di luar kebiasaan. Tantangan dalam decoding bukan lagi hambatan, tapi bagian dari caraku memahami dunia dengan cara yang berbeda. Aku belajar bahwa disleksia bukan kelemahan, melainkan cara lain untuk melihat dunia dengan lebih luas dan lebih kreatif.

Disleksia bukanlah sebuah kegagalan, melainkan perjalanan untuk memahami diri sendiri. Setiap orang memiliki cara belajar yang berbeda, dan itu tidak membuat seseorang kurang pintar atau gagal. Bagi kalian yang menghadapi tantangan serupa, ingatlah: "Disleksia bukan tentang tidak bisa membaca, tetapi tentang membaca dengan cara yang berbeda. Dan perbedaan itu adalah kekuatan." Jangan biarkan dunia mendefinisikan kecerdasan kalian hanya berdasarkan kecepatan membaca atau kemampuan akademik. Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah bagaimana kita membaca dunia, tetapi bagaimana kita memahami dan memberikan makna pada kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun