“Egois.” Kata itu sering terdengar seperti vonis. Seakan-akan, ketika seseorang mendahulukan dirinya sendiri, maka otomatis dia dianggap buruk, tidak peduli pada orang lain, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Padahal, benarkah selalu begitu? Bukankah membatasi diri dari tuntutan orang lain lebih tepat disebut bentuk penghargaan pada diri, bukan keegoisan?
Di sebuah kafe sederhana, seorang teman bercerita lirih. Ia lelah. Bertahun-tahun hidupnya diatur oleh ekspektasi keluarga.
Dari pilihan kuliah, pekerjaan, bahkan pasangan hidup, semua seakan bukan keputusannya. “Aku sering ragu untuk menolak, karena takut disebut egois,” ungkapnya.
Kisahnya bukan satu-satunya. Banyak orang menjalani kehidupan serupa hidup di bawah bayang-bayang penilaian.
Setiap langkah harus mendapat restu banyak pihak, setiap keputusan harus menyenangkan semua orang.
Namun, apa yang tersisa dari diri sendiri bila hidup sepenuhnya didedikasikan untuk memenuhi suara luar?
Bukankah pada akhirnya tubuh yang lelah, hati yang kosong, dan jiwa yang rapuh harus menanggung semuanya sendirian?
Sering kali, kita lupa bahwa ada garis tipis antara egois dan mencintai diri sendiri. Menolak ajakan yang membuat kita tidak nyaman, memilih jalan hidup yang berbeda, atau bahkan mengambil waktu istirahat saat orang lain berharap kita terus bekerja itu bukan keegoisan. Itu namanya menjaga diri.
Lihatlah seorang perawat muda bernama Lila. Ia terus berkutat dengan pasien hampir setiap hari di bangsal rumah sakit.
Di waktu liburnya, ia justru mengambil keputusan untuk menyepi ke pantai sendirian, tanpa mengajak siapa pun. “Aku cuma mau tenang,” katanya.