Banyak yang menyebutnya egois, tapi bukankah justru karena ia tahu caranya menjaga diri, ia bisa kembali melayani orang lain dengan sepenuh hati?
Banyak orang keliru menafsirkan makna ‘hidup untuk diri sendiri.’ Seakan-akan, ketika kita tak mengikuti harapan orang lain, langsung dianggap durhaka, acuh, bahkan layak dijauhi.
Padahal, hidup yang sehat adalah keseimbangan: ada saatnya berbagi, ada saatnya memelihara diri.
Pernahkah kamu merasa sesak hanya karena terlalu sering mengiyakan? Segala permintaan ia turuti, setiap ajakan pun ia penuhi, walau sebenarnya hatinya menolak.
Lama-lama, tubuh memberikan tanda: sakit, lelah, burnout. Itu tanda alarm bahwa kita butuh berhenti sejenak.
Ironisnya, ketika akhirnya kita berkata “tidak,” reaksi sekitar sering kali keras. Label “egois” adalah bentuk cinta paling tulus kepada diri sendiri.
Mari kita bayangkan seorang ibu. Ia selalu mendahulukan keluarganya. Namun, suatu hari ia memutuskan melanjutkan kuliah lagi, demi cita-cita yang dulu tertunda.
Bagi sejumlah orang, langkahnya dianggap egois karena ia memilih pergi dan meninggalkan anak selama beberapa jam setiap hari.
Tapi siapa yang bisa menyangkal bahwa ibu bahagia akan menciptakan keluarga yang lebih bahagia?
Keegoisan yang sehat adalah fondasi kebahagiaan. Tak ada yang bisa dibagikan ke gelas lain, bila gelas kita sendiri kering tak berisi.
Sama halnya dengan energi: kita tak bisa membahagiakan orang lain jika diri sendiri terus menerus terabaikan.