Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.
Kutipan Bung Karno itu seakan terus didengungkan setiap Agustus, namun apakah maknanya masih tertanam kuat di benak generasi muda hari ini?
Di tengah gegap gempita lomba 17-an, euforia TikTok bertema kemerdekaan, hingga bendera merah putih berkibar di setiap sudut negeri, ada satu hal yang pelan-pelan mulai menghilang ingatan kolektif tentang sejarah lokal dan para pejuangnya.
Di banyak daerah, makam-makam pahlawan lokal tertutup semak. Sekolah-sekolah hanya mengajarkan sejarah nasional dari buku cetak, tanpa menyentuh perjuangan orang-orang yang gugur di kampung sendiri demi kemerdekaan.
Generasi muda pun tumbuh dengan hafal nama Soekarno, Hatta, Jenderal Sudirman tapi asing terhadap nama-nama seperti Tgk. Chik di Tiro, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, dan ratusan pahlawan lain yang darahnya tumpah di tanah kelahiran mereka.
Tak Lagi Dikenal, Apalagi Dikenang
Seorang guru SMP di Aceh Timur bercerita:"Saya tanya ke murid siapa tokoh pejuang dari daerah kita, banyak yang jawab 'nggak tahu'. Padahal mereka tinggal tidak jauh dari kompleks makam pahlawan."
Hal ini bukan terjadi di satu dua daerah saja. Di Sumatera Barat, nama Tan Malaka yang dahulu sempat dielu-elukan sebagai pemikir revolusioner, justru dihapus dari pelajaran sejarah selama bertahun-tahun karena perbedaan ideologi.
Di Kalimantan, kisah perjuangan Tjilik Riwut tak banyak diketahui pelajar di daerahnya sendiri. Di Nusa Tenggara, kisah heroik para pejuang adat kalah gaung dibanding konten viral.
Lupa karena Tak Pernah Diceritakan?
Masalahnya bukan sekadar "anak muda tak peduli". Sebagian besar memang tidak pernah diperkenalkan dengan narasi sejarah lokal.
Pemerintah lebih fokus pada narasi tunggal sejarah nasional. Media massa pun cenderung mengangkat kisah tokoh-tokoh besar yang berulang.Â