Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lilitan Warisan

12 September 2021   11:56 Diperbarui: 12 September 2021   12:21 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. kompas/didie sw dipublikasikan kompas.com

"Tak perlu kita pikirkan bapak. Lagipula bapak kan bukan bapak kita."

Aku ingin bercerita padamu. Sepekan lalu, aku berduka. Wanita yang paling aku cintai berpulang. Dia berpulang hanya selisih sehari setelah ibunya berpulang. Sarah, wanita yang bersamaku itu telah pergi selamanya, mengikuti ibunya, Ida.

Ya, aku akan menceritakan padamu. Bahwa aku sangat mencintai Sarah. Aku mencintainya saat usianya sudah kepala tiga. Aku mencintainya saat dia berstatus sebagai orangtua tunggal dari tiga anak kecilnya, dua lelaki dan anak terakhir perempuan. Aku mencintainya setelah aku menatap wajahnya untuk kali pertama, enam bulan setelah dia cerai mati dengan suaminya.

Saat aku melihatnya menggendong si kecil sembari mengantarkan dua anak lain ke sekolah, aku melihat itulah wanita luar biasa. Aku tak bisa menyembunyikan rasaku. Aku utarakan dan dia menyambut dengan baik. Tentunya, dia meminta agar aku bisa menerima anak-anaknya.  

Tak masalah bagiku. Aku siap menjadi ayah dari anak-anaknya. Kami kemudian menikah dengan sederhana. Setelah menikah, seperti biasa sebagai lelaki, aku juga ingin mendapatkan keturunan. Kami pun melakukan hubungan layaknya suami istri.

Tapi pada akhirnya aku harus bisa menerima bahwa aku tak memiliki keturunan. Tak ada yang bermasalah denganku dan dengan Sarah. Tapi mungkin memang sudah jalan hidup bahwa kami tak punya keturunan. Tapi, ya sudah, aku menerima dengan sangat lapang setelah sempat frustrasi tak diberi momongan.

Jika pun aku tak memiliki darah daging, aku telah berusaha menjadi ayah terbaik bagi tiga anak Sarah. Aku nafkahi mereka, aku mandikan si kecil kala itu. Aku juga tak pernah menuntut banyak hal dan protes pada Sarah terkait momongan. Sekalipun aku bilang, aku sempat frustrasi, tapi aku masih bisa menerima Sarah.

Bagiku, tak ada wanita yang cocok untukku kecuali Sarah. Hidup bersama di rumah bu Ida, aku pun juga lebih bisa menjaga diri. Setidaknya, aku bersepakat tak berantem dengan Sarah. Jika pun kami marahan, kami punya kesepakatan tak terlihat di depan bu Ida.

***

Belum dua pekan dari kematian Sarah dan ibu, aku merasa sudah tak nyaman. Aku paham bahwa ini bukan rumahku. Tapi, aku juga memberi kontribusi pada pembangunan rumah ini. Mungkin aku terlalu berhitung. Tapi, aku juga berharap bisa tetap ada di rumah ini di masa tua, sekadar untuk tempat berteduh.

Aku tak punya apa-apa lagi. Semua gajiku semasa jadi pegawai swasta, aku dedikasikan untuk rumah, ibu, Sarah, dan anak-anak. Aku hanya punya sedikit tabungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun