Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lilitan Warisan

12 September 2021   11:56 Diperbarui: 12 September 2021   12:21 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. kompas/didie sw dipublikasikan kompas.com

Aku merasa sudah tidak nyaman. Sebab, anak-anak tiba-tiba menjadi asing padaku. Aku berusaha tak ikut dalam pembicaraan mereka. Tapi aku mulai dengar dengan tak sengaja bahwa mereka ingin membagi warisan. Rumah dan sawah akan mereka jual.

"Tak perlu kita pikirkan bapak. Lagipula bapak kan bukan bapak kita," begitu kata dari Nina, anak terkecil yang baru saja jadi sarjana.

Aku mendengarnya dengan jelas saat aku ada di samping rumah. Aku jadi menduga bahwa dia memang ingin mengusirku. Aku pusing sekali jadinya. Bukan apa-apa. Aku sudah tak punya apa-apa. Usiaku sudah nyaris kepala enam.

Aku anak tunggal dan bapak-ibu sudah lama meninggal. Aku tak memiliki warisan. Aku mulai digerogoti pikiran. Akan ke mana diriku jika rumah ini dijual. Kepalaku seperti berputar tak ketulungan. Aku mungkin punya pamrih, atas apa yang aku lakukan pada anak-anak.

Aku berharap aku diberi ruang dan tempat untuk sekadar berteduh di usia tua. Tapi aku juga tak bisa bicara seperti itu dengan leluasa karena mereka sudah membuat jarak. Nina, anak yang paling aku urus di masa kecil, justru paling getol ingin meminta jatah sembari "menendangku".

Diskusi tiga anak itu, makin kencang saja. Tino, Nino, dan Nina, berbicara serius soal pembagian warisan. Tino dan Nino yang sudah berumah tangga meminta hak yang lebih banyak karena dia lelaki.

"Mas, aku juga butuh banyak. Aku mau menikah. Kalian sudah punya pekerjaan tetap. Aku belum. Aku butuh modal lebih banyak. Aku mau lebih dari yang mas-mas sampaikan," begitu kata Nina. Perkataan yang terdengar keras di telingaku.

Aku mungkin seperti lelaki yang tak tahu diri. Di tengah pembicaraan warisan tiap hari itu, di tengah aku yang tak disapa lagi, aku masih ada di rumah itu. Tapi jujur saja aku juga bingung mau ke mana. Sudahlah. Aku akan pergi nanti. Sembari terus memikirkan mau seperti apa nantinya.

***

Sudah tiga hari perdebatan dan aku tetap ngedongkrok di rumah itu. Sampai kemudian, dua saudara bu Ida mendatangi rumah, Pak Ali dan Pak Amin. Keduanya saudara bu Ida, mertuaku. Mereka datang selepas Isya bersama anak dan saksi, dengan segala tetek bengek bukti.

Semua di rumah duduk di ruang tamu. Kemudian, pernyataan keluar. "Kami ingin meminta rumah dan sawah, Mas Tono," kata Andi, yang mewakili Pak Ali dan Pak Amin yang sudah tua. Pernyataan Andi membuatku bingung. Bukan hanya aku, anak-anak juga bingung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun