Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tambang Sengsarakan Rakyat

8 Februari 2025   11:39 Diperbarui: 8 Februari 2025   11:39 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota DPRD Sulteng berdialog dengan pengunjuk rasa, LS ADI (dok. pribadi)

Di tengah panasnya siang lepas Jum'at, 7 Februari 2025, riuh rendah unjuk rasa LS ADI menggema di jalanan, sebagai wujud keresahan mendalam atas praktik pertambangan yang kian meresahkan masyarakat Sulawesi Tengah.

Di tengah arus demonstrasi itu, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulteng, Aristan, tampil dengan penuh keyakinan menyambut setiap aspirasi yang disuarakan oleh para demonstran. "Terimakasih teman-teman LS ADI atas penyampaian aspirasinya melalui aksi unjuk rasa hari ini," ujarnya dengan nada tulus yang mengandung harapan akan perubahan ke depan.

Tak sekadar seruan kosong, pernyataan Aristan mengungkapkan segenap simpati dan dukungan pimpinan DPRD Provinsi Sulteng terhadap tuntutan untuk segera mengusut dan menyelesaikan persoalan pertambangan yang telah menimbulkan berbagai dampak negatif.

Ia menegaskan bahwa momentum ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi ulang seluruh perizinan dan operasi pertambangan yang telah lama memicu kontroversi di kalangan masyarakat.

Dari kawasan industri IMIP di Morowali dan Morowali Utara, hingga operasi tambang PT. CPM di Poboya Palu, dan bahkan area pertambangan di Kawasan Pegunungan Pesisir Teluk Palu, tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas penambangan telah menyisakan luka mendalam bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.

Menurut Aristan, keresahan yang tengah melanda tidak semata-mata berkaitan dengan degradasi lingkungan saja. "Aktivitas pertambangan tidak hanya menimbulkan bencana ekologis seperti banjir yang berulang dan kekeringan sumber air, tetapi juga menimbulkan konflik sosial akibat pengambilan lahan yang selama ini merupakan hak kelola rakyat," tegasnya.

Pernyataan itu mencerminkan kepedulian mendalam DPRD terhadap dampak negatif dari praktik penambangan yang sering kali mengorbankan kesejahteraan masyarakat demi keuntungan ekonomi semata.

Kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, serta berkurangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupan merupakan masalah-masalah yang kian mendesak untuk segera ditangani.

Melihat situasi yang semakin memanas, Aristan mengutarakan niat tegas untuk berkoordinasi dengan rekan-rekan anggota DPRD dan komisi terkait guna merumuskan langkah-langkah kongkrit.

"Saya akan berkoordinasi dengan pimpinan DPRD yang lain dan komisi terkait untuk mengambil langkah serius menindaklanjuti aspirasi masyarakat," ujarnya dengan nada yang penuh keyakinan.

Langkah itu, menurutnya, tak hanya bertujuan untuk menyelesaikan masalah perizinan pertambangan, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintahan.

"DPRD Provinsi Sulteng akan meminta agar Gubernur Sulawesi Tengah dan pihak-pihak terkait seperti Polda Sulteng segera merespon dan mengambil langkah-langkah kongkrit," tambahnya.

Anggota DPRD Sulteng berdialog dengan pengunjuk rasa, LS ADI (dok. pribadi)
Anggota DPRD Sulteng berdialog dengan pengunjuk rasa, LS ADI (dok. pribadi)

Tak dapat dipungkiri, unjuk rasa yang diadakan LS ADI ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Forum reses yang digelar di berbagai titik seperti Balaroa, Petobo, Watusampu, dan Boyaoge telah menjadi wadah bagi warga untuk menyuarakan berbagai persoalan yang selama ini terpendam.

Di tengah obrolan hangat dan tumpang tindih keluhan, dua wilayah mencuat dengan persoalan yang sangat spesifik: Petobo dan Watusampu. Di wilayah Petobo, bekas bencana gempa bumi 2018 masih meninggalkan luka mendalam. Lahan likuifaksi seluas lebih dari 180 hektar masih belum mendapatkan kejelasan status hukumnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran serius mengenai pengelolaan lahan di masa depan.

Warga di sana, yang masih berjuang mempertahankan hak perdata mereka, semakin mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan persoalan tersebut sebelum menjadi masalah yang lebih besar.

Sementara itu, di kelurahan Watusampu, permasalahan datang dari aktivitas pertambangan pasir batu dan kerikil yang telah berlangsung puluhan tahun. Tak sedikit warga yang menderita akibat debu yang menyengat dan merusak kesehatan, terutama karena penyakit ISPA yang kini menyebar luas.

Debu yang dihasilkan dari pengerukan, pemuatan, hingga penggilingan material tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga menghancurkan tanaman pertanian seperti sarikaya dan mangga, yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi masyarakat. Kerusakan infrastruktur jalan umum akibat pengerukan serta aktivitas pemuatan material pun kerap memicu kecelakaan fatal, menambah deretan tragedi yang harus ditangani oleh pemerintah setempat.

Melihat gambaran situasi yang kompleks ini, Aristan pun menyampaikan harapannya agar DPRD Provinsi Sulteng segera membentuk Pansus (Panitia Khusus) guna menyelesaikan permasalahan lahan eks likuifaksi di Petobo serta permasalahan tambang sirtukil di Watusampu dan Buluri.

"Insya Allah setelah masa reses selesai, pada masa persidangan kedua di tahun ini bisa dibentuk Pansus agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan tetap menghormati hak keperdataan warga," tegasnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa langkah yang akan diambil bukan semata-mata retorika, melainkan langkah konkrit yang berlandaskan analisis mendalam terhadap persoalan yang telah mencuat selama ini.

Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Sebelum aksi LS ADI, arus unjuk rasa mengalir melalui demonstrasi dari Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat (AMPERA). Demonstrasi ini menggambarkan keresahan yang sama namun dengan fokus yang berbeda.

AMPERA menyoroti dampak negatif dari aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Citra Palu Mineral (CPM) di wilayah Poboya. Menurut mereka, keberadaan PT. CPM telah membawa limbah pertambangan yang mencemari sungai dan air tanah, dengan potensi pencemaran logam berat seperti merkuri yang mengancam kesehatan masyarakat.

Teknik pemecahan batu menggunakan bahan peledak yang dilakukan oleh perusahaan tersebut juga dipandang sebagai ancaman serius, tidak hanya terhadap keselamatan warga, tetapi juga terhadap ekosistem sekitar.

Dalam kesempatan itu, AMPERA mendesak agar pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh dan menghentikan sementara operasi PT. CPM. Hal ini, menurut pengamat lingkungan dan masyarakat, adalah langkah penting agar dampak negatif yang terus meningkat dapat diminimalisir.

"Jika informasi dari aliansi mahasiswa peduli rakyat benar adanya, seharusnya gubernur segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan operasi tambang tersebut, sambil melakukan evaluasi mendalam terhadap dokumen perizinan dan AMDAL," ujar Aristan.

Pernyataan itu tidak hanya mencerminkan kekhawatiran serius atas adanya praktik penambangan yang merugikan, tetapi juga menegaskan perlunya sinergi antara pemerintah daerah dan pusat dalam menyusun kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sebagai figur yang mewakili kepentingan masyarakat dan pengawas kebijakan publik, Aristan tampak memahami bahwa persoalan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara instan.

Dalam setiap ucapannya, tersirat pemahaman mendalam akan kompleksitas permasalahan yang melibatkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Ia menegaskan bahwa pertambangan yang tak terkendali tidak hanya menghancurkan ekosistem alam, tetapi juga merampas hak-hak fundamental masyarakat atas tanah dan sumber daya alam yang selama ini mereka andalkan untuk bertahan hidup.

Kecemasan tersebut semakin diperparah oleh kurangnya transparansi dalam pendataan pendapatan daerah dan produksi pertambangan, yang berpotensi mengakibatkan kerugian finansial yang tidak terhitung bagi perekonomian lokal.

Dalam konteks ini, upaya evaluasi ulang perizinan dan operasi pertambangan menjadi agenda yang sangat mendesak. Pendekatan yang komprehensif dan berbasis bukti menjadi keharusan agar setiap langkah kebijakan dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.

Aristan dan rekan-rekannya di DPRD harus mampu menunjukkan kepakaran dalam menganalisis data, menelaah dokumen-dokumen perizinan, dan mendengar setiap keluhan warga dengan hati yang tulus. Pendekatan tersebut diharapkan mampu meredam gejolak konflik sosial yang kian meruncing akibat praktik-praktik penambangan yang dianggap tidak adil.

Di balik setiap pernyataan dan langkah konkrit yang diusulkan, tersimpan pula kritik tajam terhadap sistem perizinan yang selama ini dianggap rentan terhadap penyalahgunaan. Banyak pihak menilai bahwa peraturan yang ada belum mampu mengakomodasi dinamika lapangan, sehingga seringkali perusahaan tambang dapat beroperasi tanpa pengawasan yang memadai.

Dalam pandangan ini, reformasi perizinan menjadi salah satu kunci untuk menata kembali tata kelola pertambangan di Sulawesi Tengah. Aristan pun menekankan bahwa sinergi antara DPRD, pemerintah daerah, aparat keamanan, dan masyarakat adalah fondasi utama dalam upaya menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan.

Sementara itu, di tengah kerumitan isu pertambangan dan dampaknya, muncul pula sentimen optimisme dari berbagai kalangan yang berharap akan terwujudnya penataan yang lebih baik. Masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan kini memiliki suara yang lebih lantang dan terorganisir melalui berbagai aksi demonstrasi dan forum reses.

Semangat tersebut bukan hanya mencerminkan ketidakpuasan atas kebijakan yang ada, tetapi juga harapan besar akan perubahan sistemik yang mampu menyelaraskan antara kepentingan pembangunan dengan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat.

Opini kritis yang muncul dari berbagai lapisan masyarakat juga menuntut agar setiap kebijakan yang diambil tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam mencegah bencana ekologis dan sosial.

Pengalaman pahit yang pernah terjadi, seperti banjir berulang dan banjir akibat pengerukan yang merusak jalan umum, harus menjadi pelajaran berharga bagi para pembuat kebijakan.

Evaluasi menyeluruh dan audit independen terhadap dokumen perizinan serta pelaksanaan AMDAL dinilai sebagai langkah strategis untuk menghindari terulangnya tragedi yang sama di masa depan.

Dengan segala kompleksitas permasalahan yang ada, pernyataan Aristan pada hari itu mengandung pesan yang dalam: bahwa transparansi, akuntabilitas, dan keadilan adalah nilai-nilai yang tidak bisa ditawar dalam mengelola sumber daya alam.

Ia menutup pernyataannya dengan optimisme bahwa sinergi antara semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, akan mampu membuka jalan bagi era baru tata kelola pertambangan yang lebih humanis dan berwawasan lingkungan.

"Saya percaya, dengan kerja sama yang solid, kita dapat mengubah tantangan hari ini menjadi peluang untuk masa depan yang lebih baik bagi Sulawesi Tengah," pungkasnya dengan nada penuh harapan.

Keberanian untuk menyuarakan kritik sekaligus menawarkan solusi konkret menjadikan pernyataan tersebut sebagai bukti nyata bahwa pemerintahan yang responsif adalah kunci dalam menghadapi dinamika pembangunan yang cepat namun penuh tantangan.

Kritik tajam terhadap praktik pertambangan yang sempat merusak tatanan sosial dan ekologis kini berubah menjadi seruan untuk perbaikan sistem yang lebih menyeluruh. Di balik setiap kata, tersirat pula pesan moral bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan hak-hak masyarakat dan kelestarian alam.

Aksi unjuk rasa hari itu, yang diwarnai oleh semangat LS ADI dan dukungan aliansi mahasiswa peduli rakyat, memberikan gambaran jelas bahwa perubahan bukanlah impian belaka. Dengan bukti-bukti konkret berupa kerusakan lingkungan, konflik sosial, serta kerugian ekonomi yang dialami masyarakat, para demonstran mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama mengupayakan solusi yang berpihak kepada rakyat.

Di balik sorak-sorai dan teriakan tuntutan, terselip harapan besar bahwa suatu hari nanti, Sulawesi Tengah akan menjadi wilayah yang tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga kaya akan keadilan, transparansi, dan kesejahteraan bersama.

Dalam narasi panjang perjuangan ini, pernyataan Aristan merupakan salah satu babak penting yang menyuarakan tekad untuk mengubah sistem yang selama ini dianggap tidak berpihak kepada masyarakat.

Komentar-komentar kritis yang muncul dari berbagai kalangan menjadi bukti bahwa kepedulian terhadap lingkungan dan hak-hak dasar manusia semakin menggema di ruang publik. Dengan semangat inovatif dan analisis mendalam, langkah-langkah konkrit untuk menata kembali perizinan pertambangan kini telah memasuki babak baru yang menjanjikan.

Akhirnya, apa yang tersisa hanyalah tantangan untuk mewujudkan harapan tersebut menjadi kenyataan. Di tengah kompleksitas birokrasi dan dinamika kepentingan yang saling berbenturan, sinergi antara berbagai pihak harus ditingkatkan agar setiap kebijakan yang dihasilkan mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas.

Harapan dan keberanian para demonstran, disertai dengan langkah tegas pejabat seperti Aristan, harus menjadi motor penggerak perubahan---suatu perubahan yang tidak hanya menyelesaikan persoalan pertambangan, tetapi juga membangun kembali kepercayaan dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun