Mohon tunggu...
I Ketut Guna Artha
I Ketut Guna Artha Mohon Tunggu... Insinyur - Swasta

Orang biasa yang suka kemajuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Transformasi Jakarta Menuju IKN Nusantara

27 Juli 2022   00:51 Diperbarui: 12 Agustus 2022   15:07 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja menyelesaikan pekerjaan persiapan jelang seremoni ritual Kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara (Antara Foto/Hafidz Mubarak A via KOMPAS.com)

Jakarta yang saat ini masih berstatus Ibu Kota Negara (sepanjang IKN Nusantara belum beroperasi) sejak zaman kolonial sudah terbuka dengan kehadiran pendatang.

Lihat saja demografinya, sebagian besar penghuni dan penggerak ekonomi Jakarta adalah pendatang. Bisa juga dicek daftar konglomerat Indonesia itu semua berasal dari daerah.

Jakarta yang insklusif adalah miniatur Indonesia karena terbukanya menerima pendatang baik sekedar singgah maupun menetap. Walaupun begitu kompetitifnya hidup di Jakarta tak menyurutkan minat orang luar Jakarta untuk bercita-cita memperbaiki "nasibnya". 

Namun tidak semua warga negara beruntung ketika mengadu nasib ke Jakarta. Konsekwensinya adalah Jakarta harus siap menghadapi problem sosial yang timbul akibat meningkatnya jumlah populasinya sebagai salahsatu kota terpadat di dunia.

Sebenarnya persoalan yang paling mendasar yang dihadapi Jakarta adalah banjir, kemacetan, air bersih, sanitasi dan kesehatan, pendidikan serta keberagaman. Sehingga parameter keberhasilan mengelola Jakarta adalah dengan memberi solusi atas persoalan tersebut.

Untuk masalah banjir, Jakarta sangat rentan karena dilalui oleh 10 sungai diantaranya Ciliwung dan Pesanggrahan.

Prasasti Tugu yang ditemukan pada tahun 1878 di Jakarta Utara menjadi bukti otentik jika banjir di Jakarta sudah ada sejak jaman Kerajaan Tarumanegara.

Prasasti tersebut berisikan pesan jika Raja Purnawarman (395-434 Masehi) pernah menggali Kali Chandrabhaga di sekitar Bekasi dan Kali Gomati atau yang sekarang dikenal sebagai Kali Cakung untuk mengendalikan banjir Jakarta ketika itu bernama Sunda Kelapa.

Purnawarman membangun Pelabuhan Sunda Kelapa setelah melakukan operasi pemberantasan bajak laut, perompak yang mengganggu pelayaran Laut Jawa.

Dalam naskah kuno berbentuk lontar "Sewaka Darma" dan "Sanghyang Siksa Kandang Karesian", disebutkan Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan "internasional" menyaingi Pelabuhan Selat Malaka. 

Pelabuhan tersebut berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Tarumanagara, lalu diteruskan oleh Kerajaan Hindu Sunda sejak 669 M hingga kembali dipersatukan Sunda dan Galuh oleh Saniaya dan dikenal kemudian menjadi Kerajaan Hindu Pajajaran.

Tak hanya itu dalam sejumlah prasasti Purnawarman juga tercatat pernah melakukan normalisasi Sungai Citarum yang melewati wilayah Bandung, Bandung Barat, Kota Bandung, Cianjur, Purwakarta, Karawang, hingga Bekasi, Setu Gangga di Cirebon, Sungai Cupu di Subang dan Sungai Cimanuk di Indramayu.

Pada tahun 1526, Fatahillah, dari Kesultanan Demak menyerang pelabuhan Sunda Kelapa. Sunda Kelapa berhasil direbut kemudian diganti nama menjadi Jayakarta.

Kemudian pada tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen.

Pada saat kekuasaan VOC Belanda, Jayakarta berganti nama menjadi Batavia dan tercatat pernah mengalami banjir hebat tahun 1621, 1654, 1872, 1893, 1909, 1918 dan tahun 1932.

Belajar dari kehebatan Raja Purnawarman, maka untuk mengendalikan banjir Batavia, Belanda membangun pintu air Katulampa serta Banjir Kanal Barat yang masih berfungsi hingga saat ini.

Pada tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia diubah menjadi Jakarta.

Saat Republik Indonesia baru lahir, Sukarno yang berlatar belakang Insinyur Sipil punya visi besar untuk membangun Jakarta sebagai identitas bangsa dengan membangun Monumen Nasional (Monas), Mesjid Istiqlal, Patung Selamat Datang Bunderan HI pada tahun 1961.

Ketika Bung Karno mengunjungi Uni Soviet pada 1960 terinspirasi untuk membuat Patung Pahlawan yang saat ini dikenal dengan Tugu Tani. 

Menurut Sarwo Edhi patung tersebut dicap Komunis namun dibantah oleh Adam Malik yang menerima instruksi langsung dari Bung Karno bahwa patung tersebut menggambarkan seorang ibu yang rela dan senang melepas para pejuang untuk merebut Irian Barat.

Mengambil momen Asian Games 1962 walaupun kondisi negara melalui berbagai pemberontakan dan krisis ekonomi, Sukarno ingin membuktikan kepada dunia luar, bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan tidak dipandang sebelah mata oleh negara lain.

Maka dibangunlah Stadion Utama Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Wisma Nusantara, dan TVRI pada tanggal 24 Agustus 1962.

Lalu TVRI mengudara perdana dengan tayangan penyelenggaraan Asian Games ke IV di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Bung Karno juga menggagas untuk membangun pusat perbelanjaan di Jakarta yang saat ini menjadi mal tertua di Indonesia untuk mewadahi kegiatan perdagangan produk dalam negeri serta mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia. Maka dibangunlah Gedung Sarinah.

Kemudian dibangun Patung Dirgantara (Tugu Pancoran), Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Gedung DPR/MPR tahun 1965.

Dari sejumlah bangunan monumental tersebut dapat dikatakan bahwa Jakarta yang megah saat ini yang membentang dari Monas hingga Fatmawati dan dari Cawang hingga Grogol merupakan pengembangan kota karya visoner Bung Karno. Karena warisan kota yang dibangun Belanda adalah dari Istana Negara ke Utara hingga Kota Tua.

Setelah kemerdekaan pun Jakarta masih berurusan dengan banjir. Pada tahun 1965, era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir yang kemudian berganti nama menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya tahun 1972.

Pada periode kepemimpinan Gubernur Sutiyoso hingga Fauzi Bowo, DKI Jakarta membangun Banjir Kanal Timur yang diharapkan sebagai pengendali banjir untuk menampung limpasan debit air Kali Ciliwung.

Di era Gubernur Jokowi hingga Ahok dilakukan prioritas pengendalian banjir dengan normalisasi Kali Ciliwung, Pesanggrahan dan seluruh sungai yang ada di Jakarta walaupun dengan konsewkensi menggusur warga yang tinggal di bantaran sungai. Mereka dikompensasi dipindahkankan ke kampung deret dan rumah susun.

Hanya sayang Gubernur Anies tidak melanjutkan pembangunan sodetan untuk mengalirkan limpasan debit Kali Ciliwung ke Banjir Kanal Timur namun dilakukan dengan hanya membuat sumur resapan. Pemahaman pengendalian banjir terjebak dengan istilah "normalisasi" dan "naturalisasi".

Jakarta yang semakin berkembang dan padat oleh kemacetan walaupun telah terbangunnya Tol Dalam Kota, Tol Jagorawi, Tol Cikampek, Tol Tomang era Soeharto membutuhkan tindakan revolusioner untuk mengurai kemacetannya. Maka pada tanggal 21 September 2015 adalah hari bersejarah bagi Indonesia dalam membangun sistem transportasi massal modern.

Melalui PT MRT Jakarta memulai pengeboran bawah tanah di sekitar Bundaran Senayan, Jakarta Selatan, untuk jalur transportasi massal cepat (Mass Rapid Transit/MRT) dengan konsekwensi harus menggusur Stadion Lebakbulus yang diperuntukkan sebagai depo gerbong kereta MRT.

Pengoperasian mesin pengeboran atau tunnel boring machine (TBM) yang diberi nama Antareja ini diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi.

Bukan hanya MRT, Jaringan Tol Lingkar Luar (JORR1 dan JORR2) pun disambung serta proyek Tol yang mangkrak dibangun kembali. Bahkan untuk angkutan massal sedang dalam progress pembangunan Light Rapid Transit (LRT) Jabodebek dan Kereta Cepat Jakarta Bandung untuk menjadikan "Megapolitan" Jakarta sebagai pusat bisnis sebelum pusat pemerintahan dipindah ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur tahun 2024.

Dalam menyambut penyelenggaraan Asian Games 2018 oleh pemerintah pusat, Jakartapun dipercantik dengan renovasi total kawasan Gelora Bung Karno, penataan pedestrian, trotoar, stasiun MRT yang terintegrasi dengan stasiun Busway sepanjang jalan protokol Sudirman-Thamrin sebagai etalase utama Jakarta yang semakin modern.

Prinsipnya urban development itu harus menjawab persoalan kota yang paling mendasar dan ramah untuk semua strata sosial dengan fasum dan fasos yang memenuhi kebutuhan. Sehingga hadirnya infrastruktur yang baik, moda transportasi yang murah, ramah lingkungan dan terintegrasi dengan ruang publik yang menjadikan Jakarta semakin mudah diakses dari manapun luar Jakarta akan melahirkan bertemunya anak-anak muda kreatif.

Yang penting mereka aware dengan budaya bersih, menghargai hak orang lain di ruang publik dan turut serta meniaga fasum dan fasos dengan tidak melakukan vandalisme.

Jika nanti beroperasinya LRT dan Kereta Cepat Jakarta Bandung maka mobilitas orang keluar masuk Jakarta akan semakin padat. LRT bisa membuka lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat, baik selama proyek berlangsung hingga saat telah beroperasi.

LRT dan penambahan panjang koridor MRT hingga Ancol yang masih dalam fase konstruksi diharapkan dapat mengurangi kemacetan secara signifikan, penggunaan BBM oleh kendaraan pribadi, sehingga udara Jakarta menjadi lebih bersih yang berdampak pada kesehatan masyarakat.

LRT juga berpotensi mengembangkan kawasan baru hingga menumbuhkan sentra ekonomi baru sekitar stasiun, semisal dibangunnya hunian vertikal/apartemen.

Meningkatnya mobilitas orang dari luar Jakarta tentunya harapannya tidak menjadi beban sosial dan Jakarta harus tetap ramah untuk semua warga negara, modern, berkelas dunia. Bukan disalahgunakan untuk makin memudahkan mobilisasi orang untuk aksi demo yang tidak jelas.

Predikat Jakarta sebagai miniatur Indonesia, keberagaman harus dipertahankan tanpa mengekploitasi simbul-simbul primordial dan sektarian. Jika itu sampai terjadi maka merupakan sebuah kemunduran peradaban.

Dilain pihak upaya pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota Negara Nusantara, Kalimantan Timur yang dirancang sebagai representasi kota keberagaman dengan desain smart city, green city, forest city harus jauh lebih baik dari Jakarta.

IKN Nusantara nanti dapat menghutankan kembali bekas galian tambang, serta demi menjaga sebagai kota berkelanjutan maka harus konsisten dalam menerapkan sistem zonasi yakni, kawasan inti pemerintahan, hunian, sentra niaga/perkantoran, hutan/ruang terbuka hijau serta kawasan industri.

Dengan perencanaan yang matang maka diharapkan problematika yang pernah dialami dalam pengembangan kota Jakarta tidak terulang terjadi di IKN Nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun