Jakarta yang saat ini masih berstatus Ibu Kota Negara (sepanjang IKN Nusantara belum beroperasi) sejak zaman kolonial sudah terbuka dengan kehadiran pendatang.
Lihat saja demografinya, sebagian besar penghuni dan penggerak ekonomi Jakarta adalah pendatang. Bisa juga dicek daftar konglomerat Indonesia itu semua berasal dari daerah.
Jakarta yang insklusif adalah miniatur Indonesia karena terbukanya menerima pendatang baik sekedar singgah maupun menetap. Walaupun begitu kompetitifnya hidup di Jakarta tak menyurutkan minat orang luar Jakarta untuk bercita-cita memperbaiki "nasibnya".Â
Namun tidak semua warga negara beruntung ketika mengadu nasib ke Jakarta. Konsekwensinya adalah Jakarta harus siap menghadapi problem sosial yang timbul akibat meningkatnya jumlah populasinya sebagai salahsatu kota terpadat di dunia.
Sebenarnya persoalan yang paling mendasar yang dihadapi Jakarta adalah banjir, kemacetan, air bersih, sanitasi dan kesehatan, pendidikan serta keberagaman. Sehingga parameter keberhasilan mengelola Jakarta adalah dengan memberi solusi atas persoalan tersebut.
Untuk masalah banjir, Jakarta sangat rentan karena dilalui oleh 10 sungai diantaranya Ciliwung dan Pesanggrahan.
Prasasti Tugu yang ditemukan pada tahun 1878 di Jakarta Utara menjadi bukti otentik jika banjir di Jakarta sudah ada sejak jaman Kerajaan Tarumanegara.
Prasasti tersebut berisikan pesan jika Raja Purnawarman (395-434 Masehi) pernah menggali Kali Chandrabhaga di sekitar Bekasi dan Kali Gomati atau yang sekarang dikenal sebagai Kali Cakung untuk mengendalikan banjir Jakarta ketika itu bernama Sunda Kelapa.
Purnawarman membangun Pelabuhan Sunda Kelapa setelah melakukan operasi pemberantasan bajak laut, perompak yang mengganggu pelayaran Laut Jawa.
Dalam naskah kuno berbentuk lontar "Sewaka Darma" dan "Sanghyang Siksa Kandang Karesian", disebutkan Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan pelabuhan "internasional" menyaingi Pelabuhan Selat Malaka.Â